Pratama-Kreston Tax Research Center
No Result
View All Result
Sabtu, 12 Juli 2025
  • Login
  • Konsultasi
  • ESG
  • Insight
    • Buletin
    • In-depth
    • Working Paper
  • Analisis
    • Artikel
    • Opini
    • Infografik
  • Publikasi
    • Buku
    • Jurnal
    • Liputan Media
  • Jasa Kami
    • Annual Report
    • Sustainability Report
    • Assurance Sustainability Report
    • Kajian Kebijakan Fiskal
    • Kajian Potensi Pajak dan Retribusi Daerah
    • Penyusunan Naskah Akademik
    • Analisis Ekonomi Makro
    • Survei
      • Survei Objek Pajak Daerah
      • Survey Efektivitas Penyuluhan Pajak Daerah
      • Survei Kepuasan Masyarakat
    • Konsultasi Pajak Komprehensif
  • Tentang Kami
    • Kontak Kami
  • INDONESIA
Pratama-Kreston Tax Research Center
  • Konsultasi
  • ESG
  • Insight
    • Buletin
    • In-depth
    • Working Paper
  • Analisis
    • Artikel
    • Opini
    • Infografik
  • Publikasi
    • Buku
    • Jurnal
    • Liputan Media
  • Jasa Kami
    • Annual Report
    • Sustainability Report
    • Assurance Sustainability Report
    • Kajian Kebijakan Fiskal
    • Kajian Potensi Pajak dan Retribusi Daerah
    • Penyusunan Naskah Akademik
    • Analisis Ekonomi Makro
    • Survei
      • Survei Objek Pajak Daerah
      • Survey Efektivitas Penyuluhan Pajak Daerah
      • Survei Kepuasan Masyarakat
    • Konsultasi Pajak Komprehensif
  • Tentang Kami
    • Kontak Kami
  • INDONESIA
Pratama-Kreston Tax Research Institute
No Result
View All Result

Laporan Keberlanjutan: Fokus Bisnis yang Abaikan Ekologis

Muhammad Akbar AditamaLambang Wiji ImantorobyMuhammad Akbar AditamaandLambang Wiji Imantoro
5 Desember 2024
in Artikel
Reading Time: 3 mins read
125 9
A A
0
source : freepik

source : freepik

153
SHARES
1.9k
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

Dalam dunia modern, keberlanjutan telah menjadi kata kunci yang sering digunakan oleh perusahaan untuk menunjukkan komitmen mereka terhadap tanggung jawab sosial dan lingkungan. Salah satu kerangka kerja yang paling dikenal untuk mengukur keberlanjutan adalah Triple Bottom Line (TBL), yang mencakup aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan. Namun, dalam penggunaan TBL dalam laporan keberlanjutan perusahaan telah menjadi subjek kritik karena cenderung hanya mementingkan kelangsungan bisnis, tanpa benar-benar menjawab kebutuhan ekologis.

Bahkan bila menilik pada pedoman pelaporan seperti Global Reporting Initiative (GRI) yang menjadi standar global dalam keberlanjutan, maka dapat diasumsikan bahwa GRI lebih sering berfokus pada keterlibatan pemangku kepentingan dan akuntabilitas sosial ketimbang fokus pada penanganan persoalan ekologis yang mendasar.

Pada akhirnya, laporan keberlanjutan sering kali menjadi sekadar dokumen yang meyakinkan pemangku kepentingan, tanpa menawarkan solusi nyata untuk masalah lingkungan yang lebih luas. Padahal, di era krisis iklim semakin terasa nyata, laporan keberlanjutan menjadi salah satu instrumen penting bagi setiap perusahaan/industri, sebagai bentuk komitmen mereka terhadap penanganan persoalan iklim.

Laporan TBL, tak ubahnya hanya berorientasi pada pertumbuhan bisnis, keuntungan, dan keberlanjutan finansial mereka, dengan mengesampingkan isu iklim dan keberlanjutan lingkungan. Argumentasi tersebut semakin dibuktikan dengan sering kali ditemukan sejumlah fakta bahwa banyak perusahaan/industri mengabaikan fakta bahwa proses-proses industri ekstrakti yang mereka lakukan seringkali berdampak merugikan bahkan cenderung merusak lingkungan serta mengorbankan keadilan sosial.

Paradoksnya, praktik pelaporan keberlanjutan yang terkadang mengesampingkan aspek lingkungan ini sering kali digunakan untuk membangun citra perusahaan sebagai entitas yang peduli lingkungan. Padahal, kenyataannya, banyak dari laporan tersebut tidak lebih dari upaya menenangkan kekhawatiran masyarakat sambil terus menjalankan bisnis seperti biasa.

Kendati laporan keberlanjutan menimbulkan sejumlah paradoks, sayangnya masih banyak praktik di lapangan di mana banyak perusahaan yang lagi-lagi hanya menjadikankan pembuatan laporan keberlanjutan sebagai sarana penggugur kewajiban saja.

Meskipun belakangan ini beberapa industri/perusahaan mengupayakan beberapa inisiatif untuk meningkatkan keterlibatan pemangku kepentingan, pendekatan ini dirasa tetap memerlukan sejumlah upaya yang serius dari industri/perusaan dengan memperkuat pandangan bahwa bisnis—bukan ekosistem—harus menjadi fokus utama yang dipertahankan.

Secara mendasar, keberlanjutan adalah konsep yang berfokus pada sistem ekologis, bukan sekadar entitas organisasi. Namun, TBL sering disalahartikan sebagai analog dari keberlanjutan perusahaan. Laporan-laporan ini berfokus pada bagaimana bisnis dapat terus tumbuh dan menghasilkan keuntungan, tetapi jarang mempertimbangkan dampak nyata pada ekosistem. Dengan demikian, TBL sering kali hanya menjadi alat untuk mempromosikan “keberlanjutan perusahaan” yang sebenarnya dirasa lebih condong kepada efisiensi bisnis daripada/ketimbang tanggung jawab terhadap lingkungan.

Dalam praktiknya, laporan berbasis TBL gagal menghadapi kenyataan bahwa beberapa produk, proses, atau bahkan industri mungkin tidak berkelanjutan secara ekologis, bahkan jika dijalankan secara efisien (Milne & Gray, 2013). Sebagai contoh, banyak perusahaan mengklaim telah mengadopsi keberlanjutan hanya karena mereka telah meningkatkan efisiensi energi atau mengurangi limbah. Padahal, efisiensi semacam itu hanya menunda dampak ekologis tanpa berusaha menyentuh ke hal-hal yang dianggap lebih substantif, yaitu mengubah dasar-dasar operasional bisnis yang tidak ramah lingkungan menjadi lebih ramah lingkungan.

Kebutuhan untuk Beralih ke Perspektif Ekologis

Ironisnya, TBL yang dirancang untuk mendorong keberlanjutan justru menjadi hambatan untuk memahami keberlanjutan secara lebih dalam. Kerangka ini menciptakan ilusi bahwa keberlanjutan dapat dicapai melalui pendekatan parsial, tanpa benar-benar mengubah paradigma bisnis yang tidak selaras dengan ekosistem. Alih-alih mempromosikan literasi ekologis, TBL malah memperkuat pandangan bahwa keberlanjutan hanya sebatas efisiensi bisnis.

Sebagai contoh, laporan UNEP/SustainAbility pada tahun 1994 sudah mengakui bahwa beberapa industri, produk, dan proses mungkin tidak akan pernah berkelanjutan secara ekologis, bahkan ketika dijalankan secara efisien. Namun, pengakuan ini sering kali diabaikan dalam perkembangan model pelaporan keberlanjutan yang lebih baru, seperti GRI, yang tetap mempertahankan pendekatan berbasis TBL.

Jika keberlanjutan ingin benar-benar tercapai, maka perusahaan dan institusi harus berani mengambil langkah untuk mendefinisikan ulang pendekatan mereka. Inisiatif seperti GRI perlu kembali pada prinsip awal keberlanjutan yang berfokus pada ekologi, menjauh dari model pelaporan TBL yang tidak kritis, dan mulai mendorong perubahan besar dalam kerangka bisnis yang tidak berkelanjutan. Dalam formatnya saat ini, laporan keberlanjutan berbasis TBL sering kali menjadi alat untuk mempertahankan status quo, daripada mempromosikan perubahan ekologis yang diperlukan.

Pada akhirnya, dalam penerapan TBL yang kritis, perusahaan/industri akan dituntut untuk tak hanya melaporkan dampak lingkungan hanya untuk mengugurkan kewajiban dan pertanggungjawaban mereka terhadap dampak distruktif dari kegiatan mereka terhadap lingkungan, tetapi perusahaan/industri juga harus memiliki kontribusi nyata terhadap perbaikan dampak lingkungan dengan beralih dari industri dengan model bisnis yang tidak ramah lingkungan diubah atau bahkan dihapuskan dan menjadi industri yang ramah terhadap lingkungan.

Dunia bisnis harus menyadari bahwa efisiensi dan keuntungan finansial tidak dapat menggantikan kebutuhan untuk menjaga ekosistem. Perubahan sejati membutuhkan pendekatan yang mendalam, dengan keberlanjutan sebagai prioritas sistemik, bukan sekadar entitas perusahaan. Ini adalah panggilan untuk tidak hanya melaporkan keberlanjutan, tetapi benar-benar mewujudkannya.

Keberlanjutan sejati tidak dapat dicapai hanya dengan memperbaiki proses internal perusahaan atau meningkatkan efisiensi. Sebaliknya, keberlanjutan membutuhkan perubahan mendasar dalam cara bisnis diorganisasikan, dengan fokus pada ekologi sebagai prioritas utama. Alam tidak peduli dengan keberlangsungan bisnis kita; kitalah yang harus menyesuaikan diri dengan batasan-batasan ekologi yang ada.

Tags: GRITriple Bottom Line
Share61Tweet38Send
Previous Post

Amnesty dan Ketimpangan Kebijakan Pajak

Next Post

Catatan Reformasi Perpajakan Indonesia

Muhammad Akbar Aditama

Muhammad Akbar Aditama

Tax Policy Analyst Pratama-Kreston Tax Research Institute

Lambang Wiji Imantoro

Lambang Wiji Imantoro

Related Posts

Artikel

Laporan Keberlanjutan sebagai Pilar Strategi Bisnis Masa Kini

11 Juli 2025
Ke mana larinya uang pajak kita?
Analisis

Ke Mana Larinya Uang Pajak Kita?

10 Juli 2025
pmk-112025
Analisis

Dampak PMK-11/2025 terhadap Penerapan PPN atas Jasa Outsourcing

9 Juli 2025
Padel dan Golf
Artikel

Mengapa Padel Dikenai Pajak Daerah, Sementara Golf Kena PPN

9 Juli 2025
Akuntansi Persediaan
Artikel

Memahami Akuntansi Persediaan: Teknik dan Metode Efektif

8 Juli 2025
Padel kena pajak hiburan?
Analisis

Kenapa Padel Kena Pajak?

7 Juli 2025
Next Post
Ilustrasi reformasi peerpajakan

Catatan Reformasi Perpajakan Indonesia

Transformasi Sustainability Reporting Awards di Indonesia

source : Freepik

Flourishing MSMEs: The Role of Innovation, Creative Compliance, and Tax Incentives

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Instansi Anda memerlukan jasa berupa kajian kebijakan fiskal, pajak dan retribusi daerah, penyusunan naskah akademik, ataupun jasa survei?

Atau, Perusahaan Anda membutuhkan pendampingan dalam menyusun Laporan Tahunan (Annual Report) atau Laporan Keberlanjutan (Sustainability Report)?

Konsultasikan kepada ahlinya!

MULAI KONSULTASI

Popular News

  • Jika Suami Tidak Berpenghasilan, Berapa Besarnya PTKP Istri?

    1473 shares
    Share 589 Tweet 368
  • Batas Waktu Pengkreditan Bukti Potong PPh Pasal 23

    976 shares
    Share 390 Tweet 244
  • Apakah Jasa Angkutan Umum Berplat Kuning Dikenai PPN?

    944 shares
    Share 378 Tweet 236
  • Apakah Pembelian Domain Website dikenakan PPh Pasal 23?

    797 shares
    Share 319 Tweet 199
  • Iuran BPJS dikenakan PPh Pasal 21?

    751 shares
    Share 300 Tweet 188
Copyright © 2025 PT Pratama Indomitra Konsultan

Pratama Institute

Logo Pratama Indomitra
  • Antam Office Tower B Lt 8 Jl. TB Simatupang No. 1 Jakarta Selatan Indonesia 12530
  • Phone : (021) 2963 4945
  • [email protected]
  • pratamaindomitra.co.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Konsultasi
  • ESG
  • Insight
    • Buletin
    • In-depth
    • Working Paper
  • Analisis
    • Artikel
    • Opini
    • Infografik
  • Publikasi
    • Buku
    • Jurnal
    • Liputan Media
  • Jasa Kami
    • Annual Report
    • Sustainability Report
    • Assurance Sustainability Report
    • Kajian Kebijakan Fiskal
    • Kajian Potensi Pajak dan Retribusi Daerah
    • Penyusunan Naskah Akademik
    • Analisis Ekonomi Makro
    • Survei
    • Konsultasi Pajak Komprehensif
  • Tentang Kami
    • Kontak Kami

© 2025 Pratama Institute - All Rights Reserved.