Reformasi perpajakan adalah langkah penting yang diambil oleh pemerintah Indonesia untuk mendukung pembangunan nasional, memperbaiki distribusi pendapatan, dan meningkatkan penerimaan negara.
Dalam beberapa tahun terakhir, reformasi pajak telah menjadi salah satu fokus utama pemerintah. Beberapa kebijakan seperti kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 10% menjadi 11% sejak April 2022 dan rencana kenaikan bertahap hingga 12% pada 2025, pemberlakuan tax amnesty, hingga pembuatan sistem pemungutan yang lebih terdigitalisasi melalui core tax telah diupayakan.
Selain itu, berbagai insentif pajak untuk mendukung Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) telah diperkenalkan sebagai bentuk dukungan pemerintah terhadap sektor UMKM yang telah menyumbang lebih dari 60% terhadap PDB Indonesia.
Namun demikian, beberapa kebijakan menimbulkan perdebatan di berbagai kalangan, mulai dari masyarakat umum hingga para ahli ekonomi. Banyak yang mempertanyakan apakah reformasi ini benar-benar berada di jalur yang tepat untuk mencapai tujuan pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan, atau hanya berpihak pada segelintir elit saja?
Untuk menjawab pertanyaan ini, penting untuk mengevaluasi kebijakan tersebut dari berbagai perspektif, termasuk dampaknya terhadap masyarakat, pelaku usaha, dan perekonomian secara keseluruhan.
Kenaikan PPN dan Dampaknya pada Daya Beli Konsumen
Bila menilik pada tujuannya, kenaikan tarif PPN dari 10% menjadi 11% pada April 2022, ditambah rencana kenaikannya secara bertahap hingga 12% pada 2025, adalah langkah yang dirancang untuk memperkuat penerimaan pajak negara. Pemerintah beralasan bahwa peningkatan tarif ini diperlukan untuk mengurangi defisit anggaran yang membengkak akibat pandemi COVID-19, hingga besarnya kebutuhan pembiayaan untuk menjalankan program-program pemerintah. Dengan PPN yang merupakan salah satu pajak konsumsi terbesar, pemerintah berharap dapat meningkatkan pendapatan secara signifikan.
Namun, kenaikan tarif PPN bukan tanpa konsekuensi. Inflasi yang dihasilkan dari kenaikan PPN telah memengaruhi harga kebutuhan pokok, seperti makanan, transportasi, dan barang sehari-hari lainnya. Dampak ini paling dirasakan oleh masyarakat berpenghasilan rendah, yang memiliki proporsi pengeluaran lebih besar untuk kebutuhan dasar dibandingkan kelompok menengah ke atas.
Di tingkat internasional, tarif PPN di Indonesia relatif lebih tinggi dibandingkan negara-negara tetangga di ASEAN. Misalnya, Malaysia menetapkan tarif PPN sebesar 6% hingga 10%, tergantung pada kategori barang. Sementara itu, Vietnam mempertahankan tarif standar 10% dengan pengecualian tertentu untuk barang kebutuhan pokok. Perbandingan ini menunjukkan bahwa kebijakan tarif PPN di Indonesia cenderung lebih berat bagi konsumen domestik, terutama dalam konteks daya beli yang belum sepenuhnya pulih pasca-pandemi.
Insentif Pajak untuk UMKM
Di sisi lain, pemerintah juga berupaya mendukung UMKM melalui kebijakan insentif pajak. Salah satu langkah utama adalah penurunan tarif Pajak Penghasilan (PPh) Final untuk UMKM menjadi 0,5% dari omzet hingga Rp4,8 miliar per tahun. Kebijakan ini dirancang untuk memberikan ruang bagi pelaku usaha kecil agar dapat bertahan dan berkembang, terutama di tengah tekanan ekonomi global.
Namun, implementasi kebijakan ini menghadapi sejumlah tantangan. Hambatan administratif sering kali menjadi penghalang bagi UMKM untuk memanfaatkan insentif tersebut. Rendahnya literasi perpajakan di kalangan pelaku UMKM juga menjadi kendala utama. Selain itu, kebijakan super deduction untuk penelitian dan pengembangan (R&D), meskipun memiliki potensi besar, cenderung lebih menguntungkan perusahaan besar dibandingkan UMKM yang umumnya memiliki kapasitas inovasi lebih terbatas.
Lebih jauh lagi, sektor informal yang mendominasi perekonomian Indonesia sering kali tidak terjangkau oleh kebijakan ini. Sebagai contoh, banyak usaha mikro yang tidak terdaftar secara resmi dan tidak memiliki akses ke fasilitas perpajakan. Hal ini menunjukkan perlunya pendekatan yang lebih inklusif untuk menjangkau seluruh lapisan pelaku usaha.
Inovasi Administrasi Dalam Reformasi Perpajakan
Reformasi perpajakan tidak hanya mencakup kebijakan fiskal, tetapi juga inovasi dalam administrasi pajak. Pemerintah telah memperkenalkan core tax administration system sebagai bagian dari digitalisasi perpajakan. Sistem ini bertujuan untuk menyederhanakan proses administrasi, meningkatkan akurasi data, dan memperbaiki pengawasan.
Penggunaan teknologi seperti big data, blockchain, dan kecerdasan buatan (AI) memungkinkan pemerintah untuk mendeteksi potensi kebocoran pajak dengan lebih efektif. E-filing dan e-billing juga telah menjadi standar dalam pelaporan pajak, memberikan kemudahan bagi wajib pajak untuk memenuhi kewajibannya.
Namun, adopsi teknologi ini juga menghadapi tantangan, terutama dalam hal infrastruktur digital di wilayah terpencil dan kesenjangan literasi teknologi di kalangan masyarakat.
Reformasi Perpajakan untuk Pembangunan yang Berkeadilan
Di balik upaya reformasi ini, muncul pertanyaan penting: apakah kebijakan ini mampu menciptakan sistem perpajakan yang adil dan inklusif? Dalam konteks Indonesia, di mana ketimpangan ekonomi masih menjadi masalah utama, reformasi perpajakan harus dirancang untuk mendukung kelompok rentan. Hal ini termasuk memastikan bahwa beban pajak tidak menjadi penghambat bagi masyarakat berpenghasilan rendah dan UMKM.
Transparansi dalam penggunaan dana pajak juga menjadi faktor penting untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Banyak yang merasa bahwa hasil dari penerimaan pajak belum sepenuhnya dirasakan oleh masyarakat dalam bentuk layanan publik yang berkualitas, seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Oleh karena itu, reformasi perpajakan perlu disertai dengan pengelolaan anggaran yang lebih transparan dan akuntabel.
Keberhasilan reformasi perpajakan tidak hanya ditentukan oleh kebijakan yang dirancang, tetapi juga oleh implementasinya di lapangan. Pemerintah perlu memastikan bahwa setiap kebijakan yang diterapkan memiliki dampak positif yang nyata bagi masyarakat dan pelaku usaha. Program bantuan sosial yang lebih kuat, misalnya, dapat menjadi langkah kompensasi untuk mengurangi dampak kenaikan tarif PPN terhadap kelompok rentan.
Selain itu, edukasi dan pendampingan bagi pelaku UMKM harus menjadi prioritas agar mereka dapat memanfaatkan insentif pajak secara optimal. Penguatan teknologi administrasi pajak perlu disertai dengan kebijakan yang mampu menjangkau sektor informal dan meningkatkan kepatuhan pajak secara menyeluruh.
Dengan pendekatan yang inklusif dan berorientasi pada masyarakat, reformasi perpajakan dapat menjadi katalis bagi pertumbuhan ekonomi yang lebih adil dan berkelanjutan.
Meski tantangan masih ada, langkah-langkah yang telah diambil menunjukkan komitmen pemerintah untuk menciptakan sistem perpajakan yang lebih baik. Pada akhirnya, reformasi perpajakan adalah perjalanan panjang yang memerlukan kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta untuk mencapai tujuan bersama: pembangunan yang berkeadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.