Pemerintah Indonesia kembali memperkuat skema perlindungan sosial bagi pekerja dengan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 26 Tahun 2025. Peraturan ini merupakan perubahan atas PMK Nomor 148/PMK.02/2021 dan mengatur tata cara penyediaan, pencairan, penggunaan, serta pertanggungjawaban dana awal dan akumulasi iuran dalam Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP). PMK No 26 Tahun 2025 diterbitkan pada 14 April 2025 dan mulai berlaku sejak 17 April 2025, kebijakan ini hadir di tengah kondisi perekonomian nasional yang sedang mengalami pelemahan. Ketenagakerjaan
PMK 26/2025 bertujuan menyempurnakan mekanisme pengelolaan dana JKP agar lebih akuntabel, transparan, dan efisien. Regulasi ini menyentuh aspek-aspek teknis penyediaan dan pengelolaan dana, termasuk prosedur pencairan dan pertanggungjawaban yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan, seperti BPJS Ketenagakerjaan dan Kementerian Keuangan.
Ketika gejolak ekonomi memicu lonjakan pemutusan hubungan kerja (PHK), kehadiran program jaminan semacam ini menjadi semakin krusial. Namun rupanya, di balik niat baik kebijakan ini, tantangan implementasi yang kompleks masih membayangi efektivitas perlindungan bagi pekerja yang terdampak PHK.
Jaminan Sosial Ketenagakerjaan
Data dari Kementerian Ketenagakerjaan mencatat bahwa sepanjang tahun 2022, terdapat 25.114 kasus PHK. Dari jumlah tersebut, hanya sekitar 10.259 pekerja yang berhasil mengakses manfaat JKP, atau sekitar 40,85%. Artinya, lebih dari separuh pekerja yang kehilangan pekerjaan tidak memperoleh manfaat yang seharusnya bisa melindungi mereka dari risiko ekonomi jangka pendek.
Kesenjangan ini terjadi karena berbagai faktor. Salah satu penyebab utama adalah masih banyaknya pekerja yang tidak didaftarkan dalam sistem jaminan sosial ketenagakerjaan oleh pemberi kerja. Pekerja yang tidak memiliki riwayat kepesertaan aktif dalam BPJS Ketenagakerjaan atau tidak memenuhi masa iuran minimum, otomatis tidak memenuhi syarat administratif untuk mendapatkan manfaat JKP.
Isu lainnya adalah keterbatasan akses bagi pekerja kontrak atau yang terikat Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Regulasi dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2025 memang membuka ruang bagi pekerja kontrak untuk mengakses JKP, namun dengan syarat PHK terjadi sebelum kontrak kerja berakhir.
Berdasarkan laporan dari Komnas HAM, banyak perusahaan yang enggan mendaftarkan pekerja kontrak mereka dalam program jaminan sosial karena durasi kerja yang pendek dan fleksibilitas hubungan kerja yang dianggap tidak sejalan dengan mekanisme iuran rutin. Akibatnya, kelompok pekerja ini yang justru paling rentan terhadap PHK menjadi pihak yang paling terpinggirkan dalam skema perlindungan.
Melemahnya Kondisi Ekonomi Indonesia
Kondisi ekonomi Indonesia yang melemah sejak pertengahan 2024 hingga awal 2025 telah memperburuk situasi ketenagakerjaan, terutama di sektor-sektor padat karya seperti tekstil, garmen, dan elektronik. Menurut data dari Kementerian Tenaga Kerja, sepanjang tahun 2024, terdapat 77.965 pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) di seluruh Indonesia. Angka ini menunjukkan adanya tren peningkatan PHK dibandingkan tahun sebelumnya. Selain itu, pada dua bulan pertama tahun 2025, lebih dari 18.000 pekerja kehilangan pekerjaan, dengan sektor padat karya menjadi yang paling terdampak.
Pemerintah sendiri menyadari tantangan ini dan telah melakukan sejumlah penyesuaian. Salah satunya adalah revisi manfaat JKP yang diatur dalam PP Nomor 6 Tahun 2025. Dalam aturan tersebut, pekerja yang terkena PHK berhak mendapatkan manfaat uang tunai sebesar 60% dari upah selama tiga bulan pertama, dan 50% selama tiga bulan berikutnya, serta pelatihan kerja dan akses informasi pasar kerja. Namun, revisi ini belum cukup menjawab persoalan utama: keterbatasan cakupan peserta dan rendahnya tingkat kepatuhan pemberi kerja.
Kurangnya Literasi dan Sumber Informasi
Literasi pekerja terhadap program JKP juga menjadi hambatan serius. Banyak pekerja tidak mengetahui bahwa mereka memiliki hak untuk mengakses manfaat JKP, atau tidak memahami prosedur klaim yang harus mereka tempuh. Proses birokrasi yang masih panjang, keterbatasan akses digital di beberapa wilayah, serta minimnya sosialisasi dari instansi terkait, memperburuk situasi ini. Alhasil, dalam banyak kasus, pekerja yang seharusnya berhak atas manfaat JKP tidak sempat mengaksesnya karena kurangnya informasi atau terlambat dalam mengajukan klaim.
Ke depan, PMK 26/2025 perlu didukung dengan kebijakan lintas sektor yang lebih terintegrasi. Pemerintah perlu memperkuat pengawasan terhadap kepatuhan perusahaan dalam mendaftarkan pekerjanya ke program jaminan sosial. Di saat yang sama, perlu ada sinergi antara Kementerian Ketenagakerjaan, BPJS Ketenagakerjaan, dan pemerintah daerah dalam melakukan edukasi dan pendampingan kepada pekerja yang terdampak PHK. Di era digital seperti saat ini, pengembangan sistem berbasis daring yang mudah diakses dan user-friendly juga akan sangat membantu mempercepat proses klaim manfaat.
Program JKP, bila dikelola dengan baik, dapat menjadi jaring pengaman sosial yang efektif dan sekaligus menjadi sarana transisi pekerja menuju pekerjaan baru. Namun, keberhasilan itu bergantung pada political will dan konsistensi pelaksanaan di lapangan. PMK 26/2025 merupakan langkah maju dalam tata kelola keuangan program JKP, tetapi tidak akan cukup bila tidak diiringi dengan reformasi struktural dalam perlindungan pekerja.
Dalam konteks ekonomi yang belum sepenuhnya pulih, pemerintah harus menjadikan JKP sebagai instrumen strategis dalam menjaga stabilitas sosial dan ekonomi nasional. Menjamin perlindungan bagi pekerja yang kehilangan pekerjaan bukan hanya soal keberpihakan terhadap buruh, tetapi juga soal menjaga daya beli masyarakat, memperkuat konsumsi domestik, dan mencegah peningkatan angka kemiskinan. Hanya dengan pendekatan yang holistik, pemerintah dapat memastikan bahwa tidak ada warga negara yang dibiarkan jatuh tanpa perlindungan di tengah badai ekonomi yang tak menentu.
Penulis: Muhammad Rizqi Mardhi
Editor: Lambang Wiji Imantoro