Pratama-Kreston Tax Research Center
No Result
View All Result
Rabu, 21 Mei 2025
  • Login
  • Konsultasi
  • Insight
    • Buletin
    • In-depth
  • Analisis
    • Artikel
    • Opini
    • Infografik
  • Publikasi
    • Buku
    • Jurnal
    • Liputan Media
  • Jasa Kami
    • Annual Report
    • Sustainability Report
    • Assurance Sustainability Report
    • Kajian Kebijakan Fiskal
    • Kajian Potensi Pajak dan Retribusi Daerah
    • Penyusunan Naskah Akademik
    • Analisis Ekonomi Makro
    • Survei
      • Survei Objek Pajak Daerah
      • Survey Efektivitas Penyuluhan Pajak Daerah
      • Survei Kepuasan Masyarakat
    • Konsultasi Pajak Komprehensif
  • Tentang Kami
    • Kontak Kami
  • INDONESIA
Pratama-Kreston Tax Research Center
  • Konsultasi
  • Insight
    • Buletin
    • In-depth
  • Analisis
    • Artikel
    • Opini
    • Infografik
  • Publikasi
    • Buku
    • Jurnal
    • Liputan Media
  • Jasa Kami
    • Annual Report
    • Sustainability Report
    • Assurance Sustainability Report
    • Kajian Kebijakan Fiskal
    • Kajian Potensi Pajak dan Retribusi Daerah
    • Penyusunan Naskah Akademik
    • Analisis Ekonomi Makro
    • Survei
      • Survei Objek Pajak Daerah
      • Survey Efektivitas Penyuluhan Pajak Daerah
      • Survei Kepuasan Masyarakat
    • Konsultasi Pajak Komprehensif
  • Tentang Kami
    • Kontak Kami
  • INDONESIA
Pratama-Kreston Tax Research Institute
No Result
View All Result

Rekonsiliasi Fiskal Sebagai Data Matching Laporan Komersial dan Fiskal

Muhammad Akbar AditamabyMuhammad Akbar Aditama
25 April 2025
in Artikel
Reading Time: 3 mins read
132 1
A A
0
Rekonsiliasi Fiskal
152
SHARES
1.9k
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

Ditjen Pajak menghimbau para Wajib Pajak Badan untuk segera menyampaikan SPT PPh Badan Tahun Pajak 2024 sebelum tanggal 30 April 2025 sesuai Pasal 175 PMK No. 81 Tahun 2024. Namun, apabila Wajib Pajak Badan membutuhkan waktu tambahan untuk menyelesaikan kewajiban perpajakan, dapat mengajukan perpanjangan pelaporan SPT melalui fitur e-PSPT pada laman DJP Online, sesuai ketentuan Pasal 13 PMK No. 243/PMK.03/2014 yang mengatur pemberitahuan perpanjangan jangka waktu penyampaian SPT Tahunan paling lama dua bulan sejak batas waktu semula.

Sesuai UU KUP dan peraturan turunannya, SPT Tahunan PPh Badan wajib disampaikan paling lama empat bulan setelah akhir tahun pajak, yakni 30 April setiap tahunnya, sehingga Wajib Pajak Badan harus memastikan laporan keuangan dan dokumen pendukung siap sebelum tenggat tersebut untuk menghindari sanksi administratif, salah satu bagian paling penting dalam mengisi SPT PPh Badan adalah penyusunan rekonsiliasi fiskal untuk menentukan penghasilan neto.

Rekonsiliasi fiskal sejatinya bukan sekadar prosedur administrasi belaka, melainkan fondasi utama di mana keadilan dan kepastian hukum dalam perpajakan dibangun. Ketika kita menyebutnya sebagai “data matching” antara biaya yang dikeluarkan perusahaan dan penghasilan yang diperoleh, pada hakikatnya kita menegaskan prinsip dasar bahwa setiap rupiah yang menjadi objek pajak harus dipertanggungjawabkan secara akurat, baik dalam neraca komersial maupun perhitungan fiskal. Sayangnya, perbedaan mendasar antara pendekatan PSAK (Historical Cost Accounting, HCA) yang mendahulukan realisasi transaksi dan pendekatan Fair Value Accounting (FVA) yang mendahulukan nilai wajar pasar membuat rekonsiliasi fiskal kerap menjadi ladang sengketa interpretasi.

Contoh paling gamblang terlihat dalam ketentuan Pasal 4 ayat (1) UU PPh yang telah berlaku sejak 1983 tak pernah bergeser menegaskan bahwa penghasilan adalah “setiap tambahan kemampuan ekonomis … yang dapat dipakai untuk konsumsi atau menambah kekayaan.” Frasa krusial “…diperoleh…” memantik perdebatan: apakah pengakuan penghasilan harus berlandaskan realisasi kas (HCA) seperti yang diamanatkan UU PPh, atau kalkulasi nilai wajar (FVA) ala PSAK/IFRS? Dengan tetap berpegang pada doktrin realisasi, legislator menjaga integrity “ability to pay principle” bahwa pajak hanya berbeban pada penghasilan yang benar-benar terealisasi.

Sekalipun logis, sikap konservatif ini menimbulkan ketidakselarasan dengan laporan keuangan modern. Investor menuntut informasi terkini dan relevan, sehingga PSAK/IFRS memilih FVA demi membantu keputusan ekonomi. Akibatnya, laba komersial dan laba fiskal seringkali “berjalan dua jalur” yang berbeda. Jika tidak dikelola dengan baik, perbedaan timing dan definisi biaya atau pendapatan bisa memicu tax audit berkepanjangan, memperlambat proses bisnis, dan menambah beban psikologis manajemen.

Di sini, konsep “matching principle” muncul sebagai penengah untuk menjelaskan bahwa biaya hanya boleh dikurangkan sepanjang terbukti menghasilkan pendapatan kena pajak. Pasal 6 ayat (1) UU PPh menegaskan allowable deductions sebagai “biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan,” namun sayangnya tidak menguraikan batasannya secara terperinci. Tanpa pedoman teknis yang jelas, interpretasi antara Wajib Pajak dan petugas pajak bisa beragam, pada akhirnya membuka peluang sengketa pajak dikemudian hari.

Pada formulir SPT PPh Badan 1771–II menyediakan kolom terstruktur bagi setiap komponen pengurang penghasilan bruto. Lampiran formulir 1771 II berisi perincian harga pokok penjualan (HPP), biaya usaha secara komersial, dan biaya dari luar usaha. Sehingga, harus memberikan data seperti nominal pembelian bahan atau barang dagangan, biaya transportasi, biaya sewa, persedian awal dan akhir.

Namun, formulir SPT saja tidak cukup, Wajib Pajak sejatinya wajib melakukan data matching internal dengan memastikan setiap jurnal transaksi, bukti potong, dan dokumen pendukung lain sinkron dengan angka pada formulir. Hanya dengan begitu, mekanisme verifikasi oleh petugas pajak dapat berjalan efisien tanpa memunculkan keraguan material.

Pada akhirnya, rekonsiliasi fiskal harus dilihat sebagai instrumen strategis, bukan sekadar kewajiban administrasi. Wajib Pajak Badan yang serius menjalankan data matching sejak awal tidak hanya mengurangi risiko sanksi dan sengketa, tetapi juga menunjukkan komitmen pada good corporate governance. Pemerintah, di pihak lain, perlu melengkapi ketentuan umum dengan pedoman teknis yang terperinci seperti mengurai makna “biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan” agar Wajib Pajak memiliki kepastian lebih besar.

Tags: Data MatchingSPT PPh Badan
Share61Tweet38Send
Previous Post

Menyelaraskan Langkah Peta Jalan SPK IAI dan Roadmap Tool ISSB

Next Post

PMK 26 tahun 2025 dan Tantangan Perlindungan Ketenagakerjaan

Muhammad Akbar Aditama

Muhammad Akbar Aditama

Tax Policy Analyst Pratama-Kreston Tax Research Institute

Related Posts

Kantor DJP. Sumber: Metro TV
Analisis

Penerimaan Pajak di Bawah Kepemimpinan Baru

21 Mei 2025
Sumber: Freepik
Analisis

Setelah Retribusi, Saatnya Kualitas Layanan Dibenahi

20 Mei 2025
Artikel

Penerapan ESG dalam Dunia Usaha Indonesia: Meningkatkan Nilai atau Beban Tambahan?

20 Mei 2025
Alert to Greenwashing - concept with text against a woodland and magnifying glass
Artikel

Mengungkap Praktik Greenwashing: Kasus Coca-Cola dan Tantangan Implementasi ESG

20 Mei 2025
Artikel

Membangun Standar Nasional Assurance Keberlanjutan

20 Mei 2025
Artikel

Implementasi Tarif PPN 12% dan Skema Nilai Lain 11/12

19 Mei 2025
Next Post
Ilustrasi perlambatan pertumbuhan ekonomi

PMK 26 tahun 2025 dan Tantangan Perlindungan Ketenagakerjaan

Ilustrasi PNBP

PMK 24/2025 dan Penguatan Efisiensi BMKG Melalui PNBP

Coretax atau CTAS dan Efek Domino Penurunan Realisasi Penerimaan Pajak

CTAS dan Penurunan Realisasi Penerimaan Pajak

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Instansi Anda memerlukan jasa berupa kajian kebijakan fiskal, pajak dan retribusi daerah, penyusunan naskah akademik, ataupun jasa survei?

Atau, Perusahaan Anda membutuhkan pendampingan dalam menyusun Laporan Tahunan (Annual Report) atau Laporan Keberlanjutan (Sustainability Report)?

Konsultasikan kepada ahlinya!

MULAI KONSULTASI

Popular News

  • Jika Suami Tidak Berpenghasilan, Berapa Besarnya PTKP Istri?

    1463 shares
    Share 585 Tweet 366
  • Batas Waktu Pengkreditan Bukti Potong PPh Pasal 23

    931 shares
    Share 372 Tweet 233
  • Apakah Jasa Angkutan Umum Berplat Kuning Dikenai PPN?

    907 shares
    Share 363 Tweet 227
  • Apakah Pembelian Domain Website dikenakan PPh Pasal 23?

    753 shares
    Share 301 Tweet 188
  • Iuran BPJS dikenakan PPh Pasal 21?

    721 shares
    Share 288 Tweet 180
Copyright © 2025 PT Pratama Indomitra Konsultan

Pratama Institute

Logo Pratama Indomitra
  • Antam Office Tower B Lt 8 Jl. TB Simatupang No. 1 Jakarta Selatan Indonesia 12530
  • Phone : (021) 2963 4945
  • [email protected]
  • pratamaindomitra.co.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Konsultasi
  • Insight
    • Buletin
    • In-depth
  • Analisis
    • Artikel
    • Opini
    • Infografik
  • Publikasi
    • Buku
    • Jurnal
    • Liputan Media
  • Jasa Kami
    • Annual Report
    • Sustainability Report
    • Assurance Sustainability Report
    • Kajian Kebijakan Fiskal
    • Kajian Potensi Pajak dan Retribusi Daerah
    • Penyusunan Naskah Akademik
    • Analisis Ekonomi Makro
    • Survei
    • Konsultasi Pajak Komprehensif
  • Tentang Kami
    • Kontak Kami

© 2025 Pratama Institute - All Rights Reserved.