Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Keuangan telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 24 Tahun 2025 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang Bersifat Volatil pada Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). Regulasi ini hadir di tengah tantangan berat yang dihadapi BMKG, terutama karena adanya pemotongan signifikan anggaran operasional.
Berdasarkan laporan CNBC Indonesia (2025), anggaran BMKG mengalami pengurangan sebesar Rp1,4 triliun dalam APBN 2025 dibandingkan tahun sebelumnya. Pemotongan ini membuat BMKG harus melakukan penghematan terhadap beberapa layanan masyarakat, seperti layanan informasi cuaca untuk penerbangan dan layanan data maritim. Kondisi tersebut mendorong BMKG untuk mencari sumber pendanaan alternatif agar pelayanan publik yang krusial, termasuk peringatan dini gempa bumi dan bencana iklim ekstrem, tetap dapat berjalan optimal.
PMK 24/2025 menggantikan ketentuan sebelumnya, yaitu PMK Nomor 197/PMK.02/2021 dan sebagian PMK Nomor 210/PMK.02/2021 beserta perubahannya. Perubahan ini mengadopsi pendekatan baru dengan menyesuaikan dinamika kebutuhan masyarakat dan perkembangan teknologi di bidang meteorologi, klimatologi, dan geofisika. Salah satu hal mendasar dalam PMK ini adalah penekanan bahwa sumber-sumber penerimaan yang bersifat tidak rutin atau tidak stabil, harus tetap dikelola secara transparan dan akuntabel (Simanjuntak, 2021).
Salah satu sumber PNBP yang diatur adalah royalti atas penjualan produk hasil rekayasa peralatan operasional utama BMKG. Produk-produk tersebut mencakup Automatic Weather Observation System (AWOS), Automatic Weather Station (AWS) Maritim, Automatic Water Level (AWL), Automatic Rain Gauge (ARG), High Volume Air Sampler (HVAS), Automatic Rain Water Sampler (ARWS), Particulate Matter (PM) 2.5 dan PM 10 Monitor, Intensity Meter, hingga Integrated Tsunami Siren System (ITSS). Tarif royalti yang dikenakan ditetapkan sebesar 7% dari harga jual produk tersebut.
Selain itu, layanan modifikasi cuaca juga menjadi sumber PNBP yang signifikan. BMKG sering kali melakukan operasi modifikasi cuaca dalam berbagai situasi, seperti pencegahan kekeringan, pengendalian banjir, hingga mendukung acara nasional besar seperti KTT ASEAN. Tarif atas layanan modifikasi cuaca ini ditetapkan berdasarkan formula tertentu, memperhitungkan komponen biaya bahan, personel, hingga logistik operasional, yang kemudian ditambah dengan biaya overhead (Sunaryo, 2023).
Secara sederhana, tarif jasa operasi modifikasi cuaca dihitung dengan rumus: total biaya bahan, personel, dan logistik dikalikan dengan faktor overhead. Misalnya, dalam satu operasi, biaya bahan mencapai Rp 1,5 miliar, biaya personel Rp 800 juta, dan biaya logistik Rp 200 juta. Dengan overhead 10%, maka tarif total yang dikenakan adalah Rp 2,75 miliar. Formula ini bertujuan menciptakan keadilan harga berdasarkan aktual biaya operasional di lapangan, sekaligus memberikan kontribusi pendapatan negara yang lebih terukur.
Namun, dalam kondisi tertentu, tarif layanan modifikasi cuaca dapat dikenakan 0%, khususnya dalam operasi yang bersifat darurat. Sebagai contoh, pada tahun 2023 terjadi kebakaran hutan besar di Provinsi Riau dan Kalimantan Barat, yang menyebabkan bencana asap parah hingga mengganggu kesehatan masyarakat dan transportasi udara. Pemerintah pusat melalui BNPB kemudian menetapkan status darurat nasional dan memerintahkan BMKG melakukan operasi hujan buatan untuk mengurangi dampak kebakaran tersebut. Karena operasi ini merupakan bagian dari penanganan bencana nasional, maka layanan modifikasi cuaca dilakukan dengan tarif 0%, alias tidak dipungut biaya dari instansi pengguna.
Mengapa PNBP Bersifat Volatil?
Karena pendapatan yang dihasilkan tidak konsisten setiap tahun. Misalnya, permintaan layanan modifikasi cuaca bisa melonjak drastis saat tahun-tahun La Niña atau El Niño yang kuat, namun bisa hampir nihil pada tahun dengan iklim normal (BMKG, 2024). Data BMKG menunjukkan, pada tahun 2022, terdapat lebih dari 32 operasi modifikasi cuaca yang menghasilkan pendapatan sekitar Rp 18,5 miliar. Sebaliknya, pada tahun 2023, operasi serupa hanya berjumlah 15 kegiatan dengan total penerimaan sekitar Rp 9,2 miliar. Fluktuasi yang cukup tajam ini membuat penerimaan dari sektor ini tidak dapat diprediksi secara linear seperti jenis PNBP lainnya.
PMK 24/2025 berfungsi sebagai instrumen untuk memastikan bahwa sekalipun penerimaan bersifat volatil, tata kelolanya tetap disiplin dan pendapatan negara tetap optimal. Dengan pengaturan ini, BMKG tidak hanya bertindak sebagai penyedia layanan publik, tetapi juga sebagai badan usaha berbasis inovasi yang mampu memberikan nilai tambah ekonomis bagi negara.
Dari sisi efisiensi, penerapan PMK 24/2025 membawa beberapa dampak positif. Pertama, adanya kejelasan jenis dan tarif PNBP membuat perencanaan keuangan BMKG menjadi lebih adaptif. Dengan mengetahui kemungkinan sumber dan besarnya pendapatan, BMKG bisa menyusun program kerja dan anggaran tahunan yang lebih fleksibel, mengantisipasi tahun-tahun dengan penerimaan rendah akibat volatilitas.
Secara makro, kebijakan ini selaras dengan reformasi pengelolaan keuangan negara yang berbasis outcome dan value for money, sebagaimana diamanatkan dalam RPJMN 2020–2024 (Bappenas, 2020). Transparansi, akuntabilitas, dan efisiensi menjadi kunci dalam mengelola seluruh sumber daya keuangan negara, termasuk dari PNBP yang sebelumnya dianggap minor.
Namun demikian, penerbitan PMK 24/2025 tidak dapat dilepaskan dari realitas bahwa pemerintah tengah mendorong efisiensi anggaran secara masif, seringkali dengan mengorbankan kualitas layanan publik yang sangat vital. Pemotongan anggaran BMKG hingga Rp1,4 triliun seharusnya menjadi alarm serius, mengingat peran lembaga ini sangat krusial dalam mitigasi bencana dan perubahan iklim.
Mengandalkan skema PNBP yang volatil untuk menjaga keberlanjutan layanan esensial seperti peringatan dini bencana adalah langkah berisiko, terutama di negara rawan bencana seperti Indonesia. Pemerintah seharusnya tidak hanya fokus pada optimalisasi penerimaan, tetapi juga memastikan bahwa kebutuhan dasar BMKG tetap dijamin melalui APBN yang memadai. Tanpa komitmen anggaran yang kuat, transformasi BMKG menjadi lembaga modern, profesional, dan responsif hanya akan menjadi retorika semata yang gagal melindungi keselamatan rakyat Indonesia.
Penulis: Muhammad Rizki Mardhi
Editor: Lambang Wiji Imantoro