Penerapan Standar Pengungkapan Keberlanjutan (SPK) yang dirancang Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) dijadwalkan mulai berlaku pada 1 Januari 2027. Tenggat ini memang terlihat ambisius, mengingat masih besarnya disparitas kesiapan antar perusahaan di Indonesia. Namun, jika melihat pola internasional yang menjadi rujukan SPK, yakni IFRS Sustainability Disclosure Standards yang disusun oleh ISSB (International Sustainability Standards Board), maka jadwal tersebut bisa dianggap realistis, selama dirancang sebagai titik awal dari proses transformasi, bukan sebagai garis akhir.
Penyusunan standar internasional oleh ISSB sendiri dimulai pada November 2021 dengan pembentukan lembaga tersebut, disusul rilis exposure draft pada Maret 2022, dan penerbitan resmi IFRS S1 dan S2 pada Juni 2023. Standar ini mulai berlaku global per 1 Januari 2024. Di Indonesia, SPK mulai disusun pada awal 2024 dan draf eksposurnya disahkan pada Desember 2024. Dengan demikian, waktu tiga tahun menuju implementasi penuh pada 2027 mencerminkan tahapan waktu yang kurang lebih sama dengan proses internasional.
Namun penting untuk ditekankan, tanggal 1 Januari 2027 bukanlah akhir, melainkan awal masa transisi. IAI telah merencanakan periode 2027 hingga 2029 sebagai fase evaluasi implementasi (post-implementation review), terutama untuk pengungkapan non-iklim. Ini berarti penerapan SPK dirancang untuk menyesuaikan diri dengan kondisi nyata di lapangan, termasuk keterbatasan sumber daya perusahaan kecil dan menengah.
Karena itu, pendekatan bertahap menjadi sangat penting. Seperti di banyak yurisdiksi lain, pelaporan dapat disesuaikan berdasarkan ukuran perusahaan, kompleksitas operasional, atau tanggung jawab publik. Perusahaan besar yang sudah terbiasa dengan tuntutan investor global mungkin lebih siap, sementara entitas kecil perlu didukung dengan pendekatan yang lebih kontekstual.
Revisi POJK 51/2017
Salah satu hal krusial dalam memastikan keberhasilan implementasi SPK adalah keselarasan dengan kerangka regulasi nasional, khususnya POJK 51/2017 yang saat ini menjadi acuan utama pelaporan keberlanjutan di sektor jasa keuangan. Jika POJK ini tidak segera direvisi, maka akan muncul ketimpangan antara standar nasional dan standar internasional yang diadopsi.
Risikonya cukup signifikan. Pertama, cakupan pelaporan bisa menjadi tidak sinkron. POJK 51 masih terbatas pada aspek lingkungan dan sosial tertentu. Sedangkan SPK mengharuskan pengungkapan yang lebih menyeluruh terkait isu keberlanjutan yang berdampak terhadap kinerja dan nilai perusahaan, termasuk tata kelola dan risiko serta peluang terkait iklim. Kedua, Indonesia bisa tertinggal dalam daya saing global. Ketika yurisdiksi lain mulai menerapkan IFRS S1 dan S2 sebagai standar minimum pelaporan, perusahaan Indonesia yang masih mengacu pada POJK lama bisa dianggap tidak memenuhi ekspektasi pasar internasional. Ketiga, tanpa adanya revisi, landasan hukum untuk praktik assurance atau penjaminan laporan keberlanjutan juga tidak tersedia, padahal kredibilitas pelaporan sangat tergantung pada proses verifikasi independen ini.
Pengembangan SDM
Selain dukungan regulasi, kesiapan sumber daya manusia (SDM) menjadi pilar fundamental dari keberhasilan implementasi SPK. Dalam jangka pendek, pengembangan program sertifikasi dan pelatihan profesional adalah langkah yang krusial. Namun, dalam jangka panjang, solusi ini tidak akan cukup tanpa reformasi kurikulum pendidikan tinggi, khususnya di bidang akuntansi dan bisnis.
Fakta di lapangan menunjukkan masih minimnya perguruan tinggi yang menjadikan pelaporan keberlanjutan dan standar IFRS S1 & S2 sebagai bagian dari kurikulum wajib. Padahal, tantangan dunia usaha telah berubah. Lulusan baru dituntut untuk mampu memahami bagaimana isu-isu ESG (Environmental, Social, Governance) berdampak pada strategi dan risiko bisnis. Dalam konteks ini, peran IAI Kompartemen Akuntan Pendidik (IAI-KAPd) sangat vital. Mereka dapat menjadi katalis dalam mendorong integrasi pelaporan keberlanjutan ke dalam struktur pendidikan formal. Kolaborasi antara akademisi dan asosiasi profesi diperlukan agar pendidikan dan praktik profesional berjalan seiring.
Sementara itu, jalur sertifikasi yang diperkuat dengan modul SPK, IFRS S1 & S2, dan praktik assurance juga penting untuk membekali para profesional yang sudah aktif di industri agar tidak tertinggal dalam kompetensi teknis dan etika yang dibutuhkan.
Tantangan Penerapan & Peran Pemerintah
Tidak bisa dipungkiri, perusahaan kecil menghadapi tantangan paling besar dalam menyusun laporan keberlanjutan, mulai dari keterbatasan SDM, sistem informasi, hingga literasi ESG. Ini bukan hal baru. Ketika IFRS Accounting Standards pertama kali diterapkan secara luas di Indonesia, tantangan serupa juga dialami sektor usaha kecil. Oleh karena itu, negara memang harus hadir, tetapi bukan dengan pendekatan insentif untuk pelaporan semata.
Semisal insentif fiskal, jika ingin diberikan, sebaiknya diarahkan pada kinerja keberlanjutan yang nyata, bukan hanya pada aktivitas pelaporannya. Misalnya, insentif pajak untuk perusahaan yang berhasil menurunkan emisi, meningkatkan efisiensi energi, atau menjalankan program sosial berbasis dampak yang terukur. Di sisi lain, pendekatan non-fiskal seperti edukasi, pelatihan teknis, dan penyediaan panduan yang sederhana dan sesuai sektor industri justru akan lebih efektif dalam membangun kesiapan struktural. Negara juga dapat mendorong penyusunan SPK versi sederhana untuk perusahaan kecil, seperti yang dilakukan di beberapa negara dengan standar pelaporan keberlanjutan yang proportional.
Indikator Keberhasilan
Jika SPK berhasil diterapkan secara luas, maka keberhasilannya dapat dilihat dari beberapa indikator utama. Pertama, meningkatnya jumlah dan kualitas laporan keberlanjutan yang disusun sesuai SPK. Kedua, meningkatnya praktik assurance atas laporan keberlanjutan yang dilakukan oleh pihak independen, yang menunjukkan bahwa laporan tersebut dipercaya dan dapat digunakan oleh investor serta pemangku kepentingan. Ketiga, adanya integrasi antara pelaporan keberlanjutan dan pengambilan keputusan strategis oleh manajemen. Artinya, pelaporan tidak lagi menjadi sekadar formalitas, tetapi menjadi alat navigasi dalam mengelola risiko dan peluang jangka panjang.
Keempat, terbentuknya ekosistem pendukung yang memadai, mulai dari regulasi yang selaras, SDM yang kompeten, hingga tersedianya data sektoral dan pedoman teknis. Kemudian yang terakhir, meningkatnya pengakuan dari pasar dan investor global terhadap laporan keberlanjutan yang diterbitkan oleh entitas Indonesia. Jika kepercayaan ini tumbuh, maka SPK bukan hanya akan menjadi kerangka pelaporan, tapi juga fondasi reputasi dan daya saing Indonesia di panggung global.
Dengan strategi penerapan bertahap, dukungan regulasi yang sinkron, penguatan SDM melalui pendidikan dan sertifikasi, serta insentif berbasis dampak, maka penerapan SPK per 2027 bukan saja realistis, tetapi juga menjadi momentum penting dalam transisi menuju ekonomi berkelanjutan yang lebih kredibel dan kompetitif.
Penulis:
Intan Pratiwi
Accounting Policy Analyst di Pratama Institute for Fiscal & Governance Studies