Ringkasan Jawaban:
Pembahasan Lengkap:
Terima kasih Pak Jefri atas pertanyaan yang diajukan. Pengaturan tentang pengkreditan atas Pajak Penghasilan (PPh) yang telah dibayarkan berguna untuk mengurangi PPh terutang Wajib Pajak (WP) sebagaimana diatur dalam Pasal 20 Undang-undang No. 36 Tahun 2008 (UU PPh) s.t.d.t.d. Undang-undang No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), sebagai berikut:
“Pasal 20
(1) Pajak yang diperkirakan akan terutang dalam suatu tahun pajak, dilunasi oleh Wajib Pajak dalam tahun pajak berjalan melalui pemotongan dan pemungutan pajak oleh pihak lain, serta pembayaran pajak oleh Wajib Pajak sendiri.
(2) …
(3) Pelunasan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan angsuran pajak yang boleh dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan, kecuali untuk penghasilan yang pengenaan pajaknya bersifat final” (Pasal 20 UU PPh s.t.d.t.d. UU HPP)
Merujuk pada Pasal 20 ayat (1) dan (3), pelunasan PPh terutang yang telah dipotong/pungut oleh pihak lain dapat menjadi pengurang dalam menghitung PPh Badan terutang di tahun pajak yang sama. Ketentuan tentang PPh yang dipotong/pungut oleh pihak lain, diatur lebih lanjut dalam Pasal 20 PP-94/2010, sebagai berikut:
“Pasal 20
Pajak Penghasilan yang dipotong atau dipungut berdasarkan tarif pemotongan atau pemungutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (5a), Pasal 22 ayat (3), dan Pasal 23 ayat (1a) Undang-Undang Pajak Penghasilan, dapat dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan setelah Wajib Pajak tersebut memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak.” (Pasal 20 PP-94/2010)
Namun, pada billing DJBC yang diterbitkan mencantumkan NPWP TNT (pihak ketiga) tidak sesuai dengan ketentuan tata cara pembuatan bukti pemungutan PPh. Merujuk pada Pasal 4 ayat (2) PER-24/2021, bukti pemungutan paling sedikit memuat salah satunya identitas pihak yang dipungut, penjelasan sebagai berikut:
“Pasal 4
Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi Berformat Standar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:
(1) nomor Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi;
(2) jenis pemotongan/pemungutan PPh;
(3) identitas pihak yang dipotong/dipungut berupa:
- NPWP, Nomor Induk Kependudukan, dan/atau Tax Identification Number, dan
- nama;
(4) ……..” (Pasal 4 ayat (2) PER-24/2021).
Sesuai dengan ketentuan tata cara pembuatan bukti pemungutan sesuai Pasal 4 ayat (2) PER-24/2021, seharusnya NPWP yang dicantumkan dalam billing DJBC adalah NPWP perusahaan Bapak Jefri. Sedangkan, ekspedisi TNT mencantumkan NPWP perusahaan TNT dalam billing DJBC, mengakibatkan Bapak Jefri tidak dapat mengkreditkan PPh atas impor barang.
Terkait dengan Faktur Pajak, jika pihak penerima Faktur Pajak berniat untuk mengkreditkan pajak masukan atas kegiatan impor Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP), maka penerbitan Faktur Pajak harus memenuhi ketentuan formal dan material Faktur Pajak. Ketentuan material dan formal Faktur Pajak sebagai syarat pengkreditan pajak masukan, diatur pada Pasal 9 ayat (2b) dan Pasal 13 ayat (5) Undang-undang No. tentang Pajak Pertambahan Nilai (UU PPN) s.t.d.t.d. UU HPP, sebagai berikut:
“Pasal 9
(2b) Pajak Masukan yang dikreditkan harus menggunakan Faktur Pajak yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) dan ayat (9).” (Pasal 9 UU PPN s.t.d.t.d. UU HPP)
“Pasal 13
(5) Dalam Faktur Pajak harus dicantumkan keterangan tentang penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang paling sedikit memuat:
- Nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak;
- Nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak;
- Jenis barang atau jasa, jumlah Harga Jual atau Penggantian, dan potongan harga;
- Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut;
- Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut;
- Kode, nomor seri, dan tanggal pembuatan Faktur Pajak; dan
- Nama dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak. (Pasal 13 UU PPN s.t.d.t.d UU HPP)
Berdasarkan ketentuan di atas, sepanjang penerbitan Faktur Pajak telah memenuhi ketentuan formal sesuai dengan Pasal 13 ayat (5) UU PPN, maka Pajak Masukan yang telah dibayarkan dapat dikreditkan oleh pihak yang menerima Faktur Pajak. Akan tetapi, pada kondisi yang dialami oleh Bapak Jefri, nama dan NPWP yang tercantum dalam Faktur Pajak adalah pihak TNT sebagai pihak ketiga, maka TNT adalah pihak yang berhak mengkreditkan pajak atas impor BKP atau JKP.
Perusahaan bapak tidak dapat mengkreditkan pajak masukan atas impor BKP/JKP karena nama dan NPWP yang tercantum di dalam dokumen terkait berbeda. Ketentuan ini sesuai dengan Pasal 9 ayat (8) UU PPN s.t.d.t.d. UU HPP, sebagai berikut:
“Pasal 9 ayat (8)
(8) Pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat
diberlakukan bagi pengeluaran untuk: ****)
- …
- ….
- perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) atau ayat (9) atau tidak mencantumkan nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak;
- …” (Pasal 9 ayat (8) UU PPN s.t.d.t.d. UU HPP)
Selanjutnya, jika perusahaan Bapak Jefri sebagai pengguna jasa TNT ingin mengkreditkan PPh 22 impor dan PPN dari kegiatan impor BKP/JKP, penjual harus menerbitkan Faktur Pajak ulang agar mencantumkan nama dan NPWP perusahaan Bapak sebagai identitas pihak pengguna/pembeli.
Demikian jawaban yang dapat kami berikan. Semoga dapat menjawab dengan jelas pertanyaan Bapak Jefri.
Terima kasih.