JAKARTA, KOMPAS – Pemerintah resmi memberlakukan pemotongan pajak penghasilan atas natura dan kenikmatan (fasilitas non-tunai) yang diterima karyawan mulai tahun ini. Kendati demikian, potensi penerimaan negara dari obyek pajak baru tersebut diyakini tidak akan terlalu signifikan.
Pajak atas natura dan kenikmatan lebih ditujukan untuk menutup celah penghindaran pajak (tax avoidance) dari wajib pajak berpendapatan tinggi yang selama ini sering mendapat fasilitas non-tunai (benefit in kind) eksklusif dengan nilai fantastis, ketimbang untuk mendongkrak penerimaan negara.
Direktur Peraturan Perpajakan Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Hestu Yoga Saksama menilai, potensi penerimaan negara dari pajak atas natura tidak akan terlalu besar. Itu karena batas cakupan pengenaan pajak natura sengaja dibatasi untuk kelompok berpendapatan tinggi dengan fasilitas eksklusif, bukan pegawai kebanyakan.
Aturan terkait pajak atas natura itu tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 66 Tahun 2023 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan atas Penghasilan atau Imbalan Sehubungan dengan Pekerjaan atau Jasa yang Diterima atau Diperoleh dalam Bentuk Natura dan/atau Kenikmatan, yang resmi berlaku mulai tahun 2023.
“Memang belum kita hitung, tetapi justru karena batasannya sudah sangat layak, tidak akan banyak potensi penerimaan dari pajak penghasilan (PPh 21) karyawan ini,” kata Yoga dalam konferensi pers di kantor Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan di Jakarta, Kamis (6/7/2023).
Menurut Direktur Jenderal Pajak Kemenkeu Suryo Utomo, tujuan pemerintah menerapkan pajak natura adalah agar perusahaan tidak ragu meningkatkan kesejahteraan karyawan lewat fasilitas non-tunai (benefit in kind), karena pengeluaran perusahaan atas berbagai fasilitas itu kini bisa dibebankan sebagai biaya pengurang pajak bagi perusahaan (deductable).
Di sisi lain, pengenaan pajak atas natura itu juga bisa menutup celah penghindaran pajak karena berbagai fasilitas eksklusif yang diterima pegawai kini menjadi obyek pajak penghasilan. “Soal berapa potensi (penerimaan), totalnya nanti kita lihat lagi di akhir tahun ini. Yang penting, kita kembali ke tujuan awal kenapa kita mendorong pajak natura ini,” ujar Suryo.
Konsekuensi
Peneliti Center of Indonesian Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menilai, potensi penerimaan dari pajak atas natura memang kemungkinan tidak akan besar, meskipun sudah menggunakan asumsi skenario terbaik.
Berdasarkan estimasi kasar CITA, dengan pajak natura, potensi kenaikan penerimaan dari PPh 21 adalah Rp 6,74 triliun. Namun, itu bukan penerimaan bersih negara karena ada konsekuensi setoran PPh badan oleh perusahaan berkurang akibat pemajakan natura yang sifatnya deductable atau sebagai pengurang penghasilan bruto perusahaan.
Fajry menilai, estimasi kasar penerimaan bersih negara setelah adanya pajak natura adalah Rp 2,2 triliun. “Itu pun sudah skenario terbaik. Sebab, untuk wajib pajak yang terdampak signifikan dari aturan ini memang tidak banyak. Kami perkirakan hanya 1,6 persen yaitu kelompok wajib pajak dengan tarif tertinggi atau kelompok kaya,” katanya.
Ia menilai, kebijakan pajak natura memang tidak bertujuan mengejar penerimaan pajak, tetapi mendesain sistem perpajakan yang lebih berkeadilan. “Caranya, dengan menutup celah penghindaran pajak yang bisa dilakukan kelompok berpendapatan tinggi,” ucap Fajry.
Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute Prianto Budi Saptono mengatakan, pajak natura diharapkan bisa menambah penerimaan PPh 21 sehingga bisa mendorong capaian target penerimaan PPh 21 senilai Rp 224,35 triliun sesuai porsi di APBN 2023. Namun, menurutnya, besaran itu tidak akan terlalu signifikan.
“Tujuan utama penerapan pajak natura bukan untuk meningkatkan penerimaan, tapi menutup praktik penghindaran pajak karena selama ini ada perbedaan perlakuan antara imbalan tunai dan imbalan nontunai,” katanya.
Restitusi
Di sisi lain, peraturan pajak natura justru berpotensi mendorong permintaan restitusi pajak (pengembalian atas pembayaran pajak yang berlebih). Hal itu akibat adanya perubahan aturan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2023 dengan PMK Nomor 66 Tahun 2023.
Sebelumnya, dalam PP Nomor 55 Tahun 2023, pemerintah mengharuskan wajib pajak untuk membayar dan melaporkan sendiri potongan PPh 21 atas fasilitas yang diterimanya selama tahun 2022.
Namun, dalam PMK Nomor 66 Tahun 2023, pemerintah mengecualikan pemotongan pajak atas natura yang diterima karyawan sepanjang tahun 2022. Wajib pajak hanya perlu membayar dan melaporkan potongan pajak atas natura yang diterimanya sepanjang Januari-Juni 2023. Sementara, untuk natura yang diterima sejak Juli 2023, akan otomatis dibayar dan dipotong langsung oleh perusahaan.
Dengan demikian, ada potensi wajib pajak mengajukan permohonan restitusi jika sudah terlanjur membayar pajak atas natura selama tahun lalu. Suryo Utomo mengatakan, pemerintah mempersilakan wajib pajak untuk melakukan pembetulan atas laporan surat pemberitahuan pajak (SPT) yang sudah terlanjur disampaikan dan mengklaim kelebihan bayar.
Saat ini, pemerintah masih menghitung data jumlah wajib pajak yang terlanjur membayar pajak natura. “Kalau yang sudah terlanjur bayar, mau diikhlaskan ya boleh. Tetapi, kalau mau diminta balik juga silakan dibetulkan SPT-nya,” kata Suryo.
Artikel ini telah tayang di kompas.id dengan judul “Dampak Pajak Natura ke Penerimaan Diperkirakan Tidak Signifikan” dengan tautan berikut :