BBC.com – 28 Februari
Dugaan pegawai Ditjen Pajak, Rafael Alun Trisambodo, melakukan penyamaran laporan kekayaan yang sudah dicurigai sejak lama memunculkan pertanyaan, apakah praktik korupsi di instasi pengumpul penerimaan negara ini masih berlangsung, dan seperti apa modusnya?
Direktur Eksekutif Pratama – Kreston Tax Researcher Institute dan juga konsultan pajak, Prianto Budi Saptono menceritakan bahwa praktik ‘kongkalikong’ antara petugas dan wajib pajak masih terjadi sampai sekarang, khususnya di proses pemeriksaan pajak.
Modus yang terjadi, kata Prianto, oknum petugas akan menawarkan penurunan jumlah wajib pajak atau sebaliknya.
Sementara, mantan pimpinan KPK periode 2015-2019, Saut Situmorang mengatakan, hingga kini dia menduga masih terjadinya praktik korupsi sektor perpajakan.
Hal itu, kata Saut, disebabkan karena pengumpulan pajak di Indonesia menggunakan “sistem target” yang menimbulkan “hengki-pengki” antara petugas dan wajib pajak.
Terkait tudingan tersebut, BBC News Indonesia telah menghubungi – melalui pesan tertulis – Juru Bicara Kementerian Keuangan, Yustinus Prastowo, namun yang bersangkutan belum memberikan jawaban sampai berita ini dituliskan.
Ditjen Pajak, menjadi sorotan publik usai seorang pegawainya Rafael Alun Trisambodo diduga melakukan penyamaran laporan kekayaannya.
Berdasarkan laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) pada Februari 2022, harta Rafael yang berjumlah Rp56 miliar terdiri dari tanah, bangunan dan lainnya, namun tidak ada laporan atas mobil Rubicon dan motor Harley Davidson yang kerap ditunjukan anaknya di media sosial.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, harta milik Rafael sudah dicurigai sejak lama dan mengakui bahwa Inspektorat Jenderal-nya tidak menindaklanjuti temuan itu.
‘Kongkalikong’ masih terjadi hingga sekarang
Direktur Eksekutif Pratama – Kreston Tax Researcher Institute, Prianto Budi Saptono mengungkapkan bahwa praktik ‘kongkalikong’ antara petugas dan wajib pajak masih terjadi hingga sekarang.
“Masih [terjadi sampai sekarang], saya sebagai konsultan juga menyaksikan kongkalikong itu,” kata Prianto kepada wartawan BBC News Indonesia, Senin (27/02).
Prianto mengatakan, oknum petugas akan menawarkan penurunan jumlah (mark down) wajib pajak kepada konsultan maupun langsung ke perusahaan, atau pun sebaliknya.
“Saat mendampingi wajib pajak. Oknum petugas pajak akan tanya ke manajer saya, ‘Pak Pri masih mau tidak? Artinya mau negosiasi tidak. Saya bilang tidak, dan kita bermain di aturan saja,” ujarnya.
“Lalu ada oknum petugas juga yang berhadapan langsung dengan wajib pajak, menawarkan ‘kalau kurang bayar, bisa diturunin, mau tidak direkturnya, itu terjadi tanpa konsultan’,” ujarnya.
Namun berdasarkan pengalamannya, jumlah dugaan kecurangan tersebut telah menurun jauh dibandingkan masa lalu.
Penurunan tersebut, kata Prianto, disebabkan dua hal, pertama karena memang banyak petugas pajak yang kini memiliki integritas atau telah tobat sejak diberikannya remunerasi atau tunjangan kinerja.
Faktor kedua, kecurangan masih marak terjadi tapi dilakukan dengan modus yang semakin rapat dan sulit terdeteksi, ujar Prianto.
‘Target pajak nasional menjadi penyebab’
Mantan pimpinan KPK periode 2015-2019, Saut Situmorang mengatakan, hingga kini dia masih menduga terjadinya praktik korupsi di Direktorat Jenderal Pajak, yang disebabkan karena pengumpulan pajak di Indonesia menggunakan “sistem target”.
“Menteri keuangan memberi target ke semua kepala pajak setiap provinsi hingga turun ke bawah, berapa target masing-masing. Dari target-target itu, muncul isu transaksional, isu korupsinya, isu pemanfaatan jabatan, dan terjadi hengki pengki,” kata Saut kepada wartawan BBC News Indonesia.
“Target itu menjadi penyebab utama yang memunculkan transaksional antara petugas dan wajib pajak. Sri Mulyani harus mengevaluasi banyak hal. Karena selama masih menggunakan sistem target itu, kecurangan masih akan terjadi,” tambah Saut.
Selain itu, Saut juga menyoroti sistem laporan LHKPN yang menurutnya seperti ‘orang bermuka dua’.
“Sebelah kiri kelihatan rapi, ramah, patuh melaporkan kekayaan, tapi di sisi lain mukanya perampok dia karena biasanya hanya sepertiga atau setengah harta yang dilaporkan mereka yang mendapat uang dari korupsi,” ujarnya.
“Jadi jangan setelah orang melaporkan LHKPN terus selesai, karena mereka tidak akan melaporkan maksimal kalau hasil korupsi. LHKPN tanpa penindakan itu tidak efektif,” katanya.
Akhirnya, dengan sistem penagihan pajak yang menggunakan pendekatan target dan sistem LHKPN yang normatif, kata Saut, maka pintu kecurangan terus terjadi, seperti korupsi di sistem perpajakan Indonesia.
Di masa kepemimpinan Saut, KPK menangkap Kasubdit Bukti Permulaan Penegakan Hukum Ditjen Pajak, Handang Soekarno, karena diduga menerima uang Rp1,9 miliar dari Country Director PT EK Prima Ekspor Indonesia (EKP) Ramapanicker Rajamohanan Nair.
Uang tersebut diduga terkait dengan surat tagih pajak PT EKP sebesar Rp78 miliar. Majelis hakim telah menjatuhkan vonis 10 tahun penjara kepada Handang.
Saat diminta tanggapannya oleh BBC News Indonesia – melalui pertanyaan tertulis – terkait tudingan tersebut, Juru Bicara Kementerian Keuangan, Yustinus Prastowo, belum memberikan jawaban sampai berita ini diturunkan.
Apa saja modus-modus dugaan korupsi pajak?
Praktik dugaan korupsi di sektor perpajakan, kata Saut Situmorang, umumnya dilakukan dengan “cara menurunkan jumlah kewajiban membayar pajak” sehingga terjadi “negosiasi dan suap antara pembayar dan petugas pajak”.
Sementara, Prianto menjelaskan praktik dugaan korupsi di mekanisme perpajakan saat ini umumnya terjadi di level pemeriksaan.
Prianto mengatakan, di proses awal, setiap perusahaan atau perorangan akan mengirimkan laporan wajib pajaknya.
Jika ditemukan selisih atau ketidaksesuaian, kantor pelayanan pajak akan mengirimkan surat permintaan penjelasan atas data dan/atau keterangan (SP2DK). Lalu wajib pajak memberikan jawaban lisan atau tertulis atas ketidaksesuaian tersebut.
“Jika tidak selesai maka terjadi dispute di pemeriksaan. Ini cikal bakan sengketa pajak yang berpeluang kongkalikong,” kata Prianto.
Dalam proses pemeriksaan ini, kemudian kata Prianto, oknum petugas menawarkan penurunan pajak, atau sebaliknya, wajib pajak meminta itu.
“Contohnya, ketahuan dari hasil pemeriksaan kurang bayar Rp1 miliar, lalu wajib pajak bilang ‘Waduh Bapak kegedean, Bapak bisa bantu tidak’. Di situ muncul celah hubungan mutualisme,” katanya.
“Ada dua cara yang sering muncul. Pertama; dari Rp1 miliar itu, wajib pajak bayar Rp300 juta ke kas negara, Rp300 ke oknum, dan dia masih menyimpan Rp400 juta.”
“Cara kedua; model all in. Dari Rp1 miliar, wajib pajak kasih Rp400 juta. Terserah oknum pajak yang mengaturnya, mau Rp100 juta ke kas negara dan dia ambil Rp300 juta, atau sebaliknya,” katanya.
“Tercipta hubungan saling menguntungkan antar pihak. Jadi sulit terdeteksi,” katanya.
Sementara itu, Ketua KPK Firli Bahuri pernah mengatakan, praktik korupsi di sektor pajak terjadi dalam bentuk suap menyuap, pemerasan hingga gratifikasi.
Praktik korupsi tersebut dilakukan mulai dari telaah adminstrasi perpajakan, penilaian, pembuatan keputusan besaran pajak, hingga pemeriksaan di pengadilan, kata Firli dalam Hari Antikorupsi Sedunia di Direktorat Jenderal Perpajakan tahun 2021.
‘Korupsi bukan semata butuh, tapi karena keserakahan’
Pegawai Direktorat Jenderal Pajak adalah salah satu aparat sipil negara (ASN) yang memiliki tunjangan kinerja atau tukin terbesar dibandingkan dengan instansi pemerintah lain.
Merujuk Peraturan Presiden Nomor 37 tahun 2015, tunjangan kinerja (tukin) pegawai pajak struktural eselon I yang tertinggi sebesar Rp117.375.000.
Jumlah itu menjadi sekitar Rp56 juta hingga Rp81 juta untuk pejabat eselon II. Sedangkan pejabat eselon III mendapatkan tukin dari sekitar Rp37 juta hingga Rp46 juta.
Di tengah besarnya jumlah tukin, lantas mengapa masih ada oknum pajak yang ditangkap aparat penegak hukum karena diduga melakukan korupsi?
Koordinator Indonesia Corruption Watch, Agus Sunaryanto mengatakan, praktik korupsi terjadi bukan semata karena pelaku membutuhkan uang walau telah mendapatkan tunjangan jabatan yang besar, tapi ada faktor keserakahan yang menjadi pemicu.
“Di kasus-kasus korupsi dengan terpidana politisi DPR, DPRD misalnya, mereka dengan gaji dan tunjangan besar, tapi tetap korupsi. Jadi bukan karena mereka butuh, tapi memang karena keserakahan yang mempengaruhi,” katanya.
Agus menjelaskan, semangat remunerasi adalah untuk menghindarkan aparatur negara yang bekerja di sektor rawan melakukan korupsi.
“Menurut saya pengawasan harus lebih ketat. Kemenkeu bisa melihat area-area yang sangat rawan, dan itu harus diberi pengawasan yang lebih ketat,” ujarnya.
Harta Rafael telah dicurigai sejak lama
Direktorat Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan, menjadi sorotan publik usai seorang pegawainya Rafael Alun Trisambodo (RAT) diduga melakukan penyamaran laporan kekayaannya.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan harta Rp56 miliar milik pejabat Direktorat Jenderal Pajak, Rafael Alun Trisambodo “sudah dicurigai sejak lama”.
Tapi ia menyesalkan “tidak ada tindakan konkret yang dilakukan sejumlah pihak yang dilapori harta itu”.
Sementara itu, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengeklaim sudah lama mendeteksi adanya transaksi mencurigakan pejabat pajak Rafael dan telah menyampaikan hasil analisa itu kepada KPK, Kejaksaan Agung, dan Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan.
Adapun Menteri Koordinator Politik Hukum dan HAM, Mahfud MD meminta KPK membuka pemeriksaan mereka atas temuan PPATK terkait harta Rafael.
“Bila itu terjadi, kalau benar, sekali lagi kalau benar LHKPN, itu tidak masuk akal, supaya diselidiki. Kalau ada tindak pidana, jangan pandang bulu karena kalau sudah mundur, itu ditutup tidak bisa,” ujar Mahfud seperti dilansir dari Kompas TV, Sabtu (25/02).
Rafael Alun sendiri mengaku siap memberikan klarifikasi dan diperiksa Inspektorat Jenderal Kemenkeu terkait dengan laporan harta kekayannya.
Dalam siaran persnya, Kemenkeu menegaskan terus melakukan langkah konsisten untuk menjaga integritas seluruh jajarannya dengan menerapkan tindakan disiplin bagi yang melakukan korupsi dan pelanggaran integritas.
Salah satu langkah pencegahan yang dilakukan, Kemenkeu juga membuka saluran pengaduan Whistleblowing System (WISE). Pada tahun 2020, WISE menerima 128 pengaduan fraud yang ditindaklanjuti dengan memberikan penindakan berupa hukuman disiplin terhadap 71 pegawai.
Tahun 2021, WISE menerima 174 pengaduan fraud yang ditindaklanjuti dengan memberikan hukuman disiplin terhadap 114 pegawai dan tahun 2022, WISE menerima 185 pengaduan fraud yang ditindaklanjuti dengan memberikan hukuman disiplin terhadap 96 pegawai.
Daftar pegawai pajak terjerat korupsi
Sebelumnya, terdapat beberapa oknum pegawai pajak yang terseret kasus korupsi, di antaranya adalah:
- Gayus Tambunan, pegawai pajak yang terlibat kasus makelar mencapai Rp28 miliar dan divonis dengan total 29 tahun penjara.
- Bahasyim Assifie dijatuhi vonis 10 tahun penjara oleh pengadilan negeri karena terbukti melakukan pencucian uang dan korupsi sebesar Rp64 miliar.
- Dhana Widyatmika divonis 10 tahun penjara karena menerima gratifikasi sebesar Rp2,5 miliar, melakukan pemerasan hingga pencucian uang.
- Angin Prayitno Aji yang menjabat direktur di Ditjen Pajak divonis sembilan tahun penjara karena terbukti menerima suap Rp55 miliar. Selain itu dalam kasus ini, terdapat juga pegawai pajak lain yang terlibat, yaitu Dadan Ramdani dan Wawan Ridwan.
- Handang Soekarno yang divonis 10 tahun penjara yang terbukti menerima suap Rp1,9 miliar dari Country Director PT EK Prima Ekspor Indonesia, R Rajamohanan Nair.
Artikel ini telah tayang di bbc.com dengan judul “‘Korupsi bukan semata butuh, tapi karena keserakahan’ – Harta Rafael Alun ‘dicurigai bermasalah’ dan mengapa praktik korupsi diduga ‘masih terjadi’ di Ditjen Pajak?” dengan tautan berikut :