Ringkasan Jawaban
Pembahasan Lengkap
Terima kasih Bapak Richard atas pertanyaannya. Merujuk pada Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 (“PP-94/2010”), dijelaskan bahwa apabila penghasilan tidak dikenakan PPh final, maka penghasilan tersebut dikenakan PPh berdasarkan tarif Pasal 17 UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan s.t.d.t.d. UU No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (“UU PPh”).
“Pasal 19
Dalam hal penghasilan tidak dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan Peraturan Pemerintah tersendiri, atas penghasilan tersebut dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 Undang-Undang Pajak Penghasilan.”
– Pasal 19 PP-94/2010
Artinya, apabila transaksi yang terjadi merupakan transaksi yang dikenakan PPh final, maka pengenaan pajaknya dilakukan berdasarkan Peraturan Pemerintah yang mengatur pengenaan PPh final tersebut. Dalam hal ini, apabila transaksi yang dilakukan merupakan bagian dari transaksi jasa kontrsuksi, maka otomatis akan dikenakan PPh final sesuai dengan Pasal 4 ayat (2) UU PPh sbb.:
“Pasal 4
(2) Penghasilan di bawah ini dapat dikenai pajak bersifat final:
d. penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estat, dan persewaan tanah dan/atau bangunan;”
– Pasal 4 ayat (2) UU PPh
Akan tetapi, tidak semua penghasilan yang berkaitan dengan jasa konstruksi dikenakan PPh final. Penghasilan jasa konstruksi yang dikenakan PPh bersifat final ketentuannya diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2008 s.t.d.t.d. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2022 (“PP-9/2022”). Berdasarkan PP-9/2022, jasa konstruksi merupakan layanan jasa konsultansi konstruksi dan/atau pekerjaan konstruksi.
Sesuai Pasal 2 PP-9/2022, jasa konstruksi yang dikenakan PPh final merupakan usaha jasa konstruksi yang memiliki kualifikasi sebagai berikut :
- klasifikasi usaha jasa konsultansi konstruksi untuk sifat umum;
- klasifikasi usaha jasa konsultansi konstruksi untuk sifat spesialis;
- klasifikasi usaha pekerjaan konstruksi untuk sifat umum;
- klasifikasi usaha pekerjaan konstruksi untuk sifat spesialis; dan
- klasifikasi usaha pekerjaan konstruksi terintegrasi
Usaha Jasa Konstruksi sebagaimana dimaksud pada klasifikasi di atas dilakukan melalui kegiatan berupa layanan:
- konsultansi konstruksi;
- pekerjaan konstruksi; dan
- pekerjaan konstruksi terintegrasi.
Usaha jasa konstruksi dikenakan PPh final pada jasa konstruksi yang memiliki Sertifikat Badan Usaha (SBU), sertifikat kompetensi atau tidak memiliki SBU dan sertifikat kompetensi usaha jasa konstruksi. Sebagaimana dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 3 ayat (1) huruf a, sebagai berikut :
SBU adalah tanda bukti pengakuan terhadap klasifikasi dan kualifikasi atas kemampuan usaha Jasa Konstruksi termasuk hasil penyetaraan kemampuan Jasa Konstruksi asing yang dikeluarkan oleh:
-
- lembaga sertifikasi badan usaha yang dibentuk oleh asosiasi badan usaha yang terakreditasi oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, dan dicatat oleh lembaga pengembangan jasa konstruksi;
- lembaga sertifikasi badan usaha yang telah diakreditasi oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral; atau
- menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral.
sertifikat kompetensi kerja untuk usaha orang perseorangan” adalah tanda bukti pengakuan kompetensi tenaga kerja konstruksi yang dikeluarkan oleh lembaga sertifikasi profesi dan dicatat oleh lembaga pengembangan jasa konstruksi.
Penjelasan Pasal 3 ayat (1) huruf a PP-9/2022
Meskipun demikian, pengenaan PPh final terhadap Penyedia Jasa yang tidak memiliki sertifikat tidak meniadakan kewajiban untuk memiliki sertifikat.
Lalu bagaimana perusahaan jasa konstruksi yang tidak memiliki SBU?
Penghasilan berkaitan dengan jasa konstruksi yang tidak memiliki SBU akan dikenakan PPh Pasal 23 sebesar 2%. Hal ini diatur dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c UU PPh sbb.:
“Pasal 23
(1) Atas penghasilan tersebut di bawah ini dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan:
c. sebesar 2% (dua persen) dari jumlah bruto atas:
1. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang telah dikenai Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2); dan
2. imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.
– Pasal 23 ayat (1) huruf c UU PPh
Dalam kasus Bapak Richard, diketahui bahwa vendor yang melakukan jasa konstruksi tidak memiliki SBU dan SIUJK sehingga pemotongan PPh Pasal 23 atas penghasilan tersebut dinilai sudah tepat. Akan tetapi, nantinya masih dimungkinkan dapat menimbulkan sengketa pajak di kemudian hari apabila DJP mengkategorikan transaksi tersebut sebagai transaksi usaha jasa konstruksi yang dikenakan PPh final Pasal 4 ayat (2). Dengan demikian, Wajib Pajak harus dapat membuktikan bahwa transaksi jasa konstruksi tersebut merupakan transaksi dari vendor yang tidak memiliki SBU sehingga tidak dapat dikategorikan sebagai usaha jasa konstruksi yang dikenakan PPh final.