Apakah Pengusaha kos-kosan dikenakan Pajak Hotel?

image by freepik

Pada tahun 2018, Bapak Prianto Budi Saptono pernah menyampaikan kepada mahasiswa Administrasi Fiskal UI bahwa sebagian besar dari mereka “menginap di hotel” selama empat tahun kuliah. Pernyataan ini tentu memicu kebingungan dan rasa penasaran di antara mahasiswa. Setelah dijelaskan lebih lanjut, ternyata maksud dari pernyataan tersebut adalah bahwa rumah kos, dalam konteks perpajakan, dikenakan Pajak Hotel sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD). Artikel ini akan membahas pengertian rumah kos dalam UU PDRD, perubahan yang diperkenalkan oleh UU HKPD, dan implikasi bagi para pengusaha rumah kos.

UU PDRD mendefinisikan Pajak Hotel sebagai pajak yang dikenakan pada pelayanan yang disediakan oleh hotel, termasuk jasa penunjang dan fasilitas lain yang diberikan. Menariknya, Pasal 1 angka 21 UU PDRD memperluas definisi hotel dengan memasukkan rumah kost dengan jumlah kamar lebih dari sepuluh sebagai bagian dari kategori tersebut. Hal ini menjadikan pengusaha rumah kost dengan kamar lebih dari sepuluh sebagai wajib pajak hotel, sejajar dengan pelaku usaha perhotelan lainnya. Dalam hal ini, rumah kos dianggap menyediakan layanan serupa dengan hotel, seperti tempat tinggal sementara yang dilengkapi fasilitas tertentu.

Definisi ini menuai perhatian karena secara tidak langsung mengaburkan perbedaan antara rumah kost yang biasanya digunakan untuk hunian jangka panjang dengan hotel yang berorientasi pada layanan jangka pendek. Namun, dengan adanya ketentuan ini, pengusaha rumah kos diwajibkan memenuhi kewajiban pajak hotel, termasuk melaporkan penghasilan mereka secara rutin kepada pemerintah daerah.

Seiring berjalannya waktu, UU PDRD digantikan oleh UU No. 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD). UU baru ini menghapus Pajak Hotel dan menggantikannya dengan Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT). Salah satu objek PBJT adalah jasa perhotelan, yang mencakup berbagai jenis tempat tinggal sementara. Namun, tidak seperti UU PDRD yang secara eksplisit menyebut rumah kost sebagai bagian dari definisi hotel, UU HKPD tidak memberikan penjelasan spesifik mengenai rumah kos.

Meskipun demikian, Pasal 53 ayat (1) huruf j UU HKPD menyebutkan bahwa “tempat tinggal pribadi yang difungsikan sebagai hotel” termasuk dalam objek pajak PBJT. Penafsiran ini didukung oleh publikasi Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) DKI Jakarta, yang menyatakan bahwa rumah kos dengan jumlah kamar mulai dari 10 pintu tetap dikenakan PBJT. Hal ini menandakan bahwa meskipun terminologi rumah kos tidak digunakan secara langsung, substansi regulasinya tetap berlaku bagi pengusaha rumah kos.

Implikasi bagi Pengusaha Rumah Kos

Perubahan definisi hotel dalam UU HPKD membawa implikasi yang signifikan. Dalam UU PDRD, batas minimal 10 kamar menjadi pedoman untuk menentukan kewajiban pajak. Namun, dalam UU HKPD, batas ini tidak secara eksplisit disebutkan. Artinya, terdapat potensi perluasan cakupan wajib pajak yang tidak hanya terbatas pada pengusaha rumah kos besar, tetapi juga mencakup pengusaha dengan jumlah kamar lebih sedikit. Pengusaha rumah kos perlu memahami bahwa meskipun terminologi berubah, kewajiban pajak tetap ada.

Perubahan ini juga menuntut kewaspadaan lebih dari pihak pengusaha dalam memahami regulasi baru dan memastikan kepatuhan terhadap PBJT. Selain itu, regulasi ini menggarisbawahi pentingnya kolaborasi antara pemerintah daerah dan pelaku usaha untuk memastikan implementasi pajak yang adil dan sesuai.

Sebagai bagian dari kebijakan perpajakan daerah, rumah kos yang memenuhi kriteria tertentu dikenai Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT). Hal ini menjadi pengganti Pajak Hotel sebagaimana diatur dalam UU PDRD sebelumnya. Dengan demikian, penting bagi masyarakat untuk memahami bahwa kewajiban pajak atas rumah kos bukanlah sesuatu yang baru, melainkan bagian dari upaya pemerintah untuk memperluas basis pajak daerah. Klarifikasi ini diperlukan untuk meluruskan asumsi yang berkembang di masyarakat mengenai aspek perpajakan rumah kos, terutama yang berkaitan dengan penerapan PBJT.

Perhitungan PBJT tidak mensyaratkan batas minimal jumlah kamar, berbeda dengan Pajak Hotel yang sebelumnya hanya berlaku untuk rumah kos dengan lebih dari 10 kamar. Misalnya, jika tarif PBJT ditetapkan sebesar 10% dari pendapatan bruto, maka seorang pengusaha rumah kos dengan pendapatan bruto Rp100 juta per tahun akan dikenai pajak sebesar Rp10 juta. Pengusaha wajib melaporkan dan membayar pajak tersebut secara berkala sesuai dengan aturan yang berlaku di masing-masing daerah.

Informasi mengenai perhitungan PBJT ini penting untuk meluruskan asumsi yang beredar di masyarakat, terutama terkait anggapan bahwa rumah kos kecil tidak dikenai pajak. Dengan memahami mekanisme perhitungan PBJT, pengusaha rumah kos dapat lebih siap memenuhi kewajiban perpajakannya, sekaligus berkontribusi pada peningkatan pendapatan daerah.

Rumah kos telah lama menjadi bagian dari objek Pajak Hotel di bawah UU PDRD, tetapi dengan adanya UU HKPD, pengusaha rumah kos kini menghadapi perubahan kebijakan perpajakan. Meski terminologi “rumah kos” tidak lagi digunakan secara eksplisit, implementasi PBJT menunjukkan bahwa kewajiban pajak tetap berlaku. Perubahan ini menggarisbawahi perlunya pemahaman yang mendalam oleh para pengusaha, terutama dalam menyesuaikan operasional mereka dengan kebijakan pajak yang terus berkembang. Hal ini penting untuk menciptakan sistem perpajakan yang lebih inklusif dan berkelanjutan bagi semua pihak.

Fahri Afianto
Exit mobile version