Apakah Tax Amnesty Pengaruhi Persepsi Keadilan Pajak?

Ilustrasi keadilan pajak

Sumber: Freepik

Belum lama ini, tax amnesty kembali menjadi perbincangan publik. Pasalnya wacana penyelenggaraan tax amnesty jilid 3 kian berhembus kencang usai DPR resmi memasukkan RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11/2016 tentang Pengampunan Pajak ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025.

Wacana tax amnesty beriringan dengan wacana kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% pada 2025 mendatang yang cenderung bersifat regresif dan menyasar seluruh kelompok masyarakat, meskipun kabar terbaru tarif 12% hanya diterapkan pada barang-barang mewah, namun bukan berarti kebijakan kenaikan PPN benar-benar tidak akan diberlakukan.

Kedua wacana tersebut tentunya memantik pertanyaan publik mengenai apakah arah kebijakan pajak di era pemerintahan baru cenderung menguntungkan kelompok elit dan mengorbankan masyarakat menengah-bawah?

Tax Amnesty Jilid 3 Berlebihan?

Dalam penyelenggaran tax amnesty 1, meskipun pemerintah berhasil mengumpulkan dana tebusan Rp114,02 triliun namun angka tersebut masih jauh dari target yang dicanangkan. Selain itu kebijakan tax amnesty juga gagal untuk mendorong pengungkapan harta wajib pajak (WP) secara optimal. Untuk repatriasi angkanya jauh lebih jomplang bahkan tidak sampai 20% dari target yang dicanangkan.

Sebagai informasi penting, dalam tax amnesty 1 (2016-2017), pemerintah berhasil mengumpulkan dana tebusan sebesar Rp114,02 triliun, atau setara 69% dari terget (Rp165 triliun). Selanjutnya Nilai harta deklarasi dalam negeri sebesar Rp3.676 triliun, sedangkan nilai harta deklarasi luar negeri sebesar Rp1.031 triliun. Sayangya nilai ini masih jauh dari target masing-masing deklarasi yang ditetapkan yakni sebesar Rp4000 triliun. Terakhir, repatriasi pajak pada tax amnesty 1 juga terbilang rendah dan jauh dari target. Target repatriasi yang ditetapkan mencapai Rp1.000 triliun, namun realisasinya hanya Rp147 triliun.

Menilik pada sejumlah kegagalan tersebut, apakah tidak terlalu berlebihan jika penyelenggaraannya dilakukan lagi untuk ketiga kalinya? Pemerintah pasti memiliki pertimbangan matang ketika jadi melaksanakan program sebesar tax amnesty. Akan tetapi tujuan dari tax amnesty yang paling bisa dimengerti masyarakat adalah tax amnesty menjadi cara instan untuk meningkatkan penerimaan pajak. Sejumlah program besar yang dicanangan pemerintah tentunya membutuhkan pembiayaan yang tidak sedikit. Satu-satunya instrumen yang paling cepat dan pasti untuk membiayai program-program tersebut adalah pajak. Hal tersebut semakin mengindikasikan penyelenggaraan tax amnesty akan dilakukan untuk ketiga kalinya.

Siapa yang menikmati tax amnesty? Lalu apakah fungsi regulerend yang dalam hal ini diharapkan terjadinya distribusi kekayaan secara merata benar-benar dapat terlaksana? Masyarakat tentu berharap tax amnesty tidak hanya bisa dinikmati oleh kelompok elit saja, melainkan kehadirannya dapat dirasakan oleh kelompok masyarakat medioker yang kian hari persentasenya semakin menyusut.

Namun harapan seringkali bertolak belakang dengan kenyataan. Ketimbang diyakini sebagai sarana distribusi kekayaan/harta dari kelompok elit ke kelompok menengah-bawah, tax amnesty tak ubahnya seperti bentangan karpet merah untuk para pengemplang pajak, mengapa demikian? pengemplang pajak yang mengikuti tax amnesty dengan secara sukarela mendeklarasikan hartanya, mereka akan mendapatkan pengampunan berupa tarif khusus yang bahkan lebih rendah dari tarif normal yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang.

Ketika para pengemplang pajak diberikan fasilitas pengampunan dan insentif tarif tebusan, pemerintah juga tengah bermain api dengan WP yang selama ini patuh dalam mengikuti aturan perpajakan yang berlaku. Banyak WP yang akhirnya mengubah persepsinya tentang kepatuhan pajak, dan akhirnya enggan untuk patuh terhadap ketentuan perpajakan kerena adanya anggapan jika kebijakan tax amnesty akan dilakukan berkali-kali, maka ketika mengemplang pajak negara akan mengampuninya dikemudian hari.

Reputasi Fiskal yang Negatif

Pemberlakuan tax amnesty hinga lebih dari satu kali, seolah mengindikasikan sikap pemerintah yang seolah berkompromi dan mengkui fakta bahwa sistem perpajakan yang ada sangatlah lemah dalam mencegah praktik penghindaran pajak. Kebijakan tersebut juga menunjukan sikap pemerintah yang menyerah terhadap penegakkan hukum dalam menindak para pengemplang pajak.

Pemerintahan yang cenderung berkompromi dengan para pengemplang pajak mengindikasikan reputasi perpajakan yang buruk. Ketika reputasi fiskal buruk, variabel investasi juga dipertaruhkan. Pasalnya investor pasti akan memperhatikan kredibilitas fiskal sebuah negara ketika membuat keputusan investasi. Tax amnsety tentu menjadi langkah mundur dan mengindikasikan ketidakmampuan pemerintah dalam menegakkan hukum secara tegas, dan efek dominonya akan meruntuhkan kepercayaan banyak investor untuk berinvestasi di Indonesia.

Investor tentu akan sangat khawatir jika sewaktu-waktu mereka juga akan menjadi korban dari inkonsistensi kebijakan pemerintah. Hal ini dibuktikan dengan rendahnya angka repatriasi pada penyelenggaraan tax amnesty satu dan dalam program pengungkapan sukarela pada 2022 lalu.

Tidak hanya itu, tax amnesty yang berlebihan memunculkan persepsi bahwa Indonesia tidak memiliki basis pemajakan yang stabil, dan menjadikan tax amnesty sebagai jalan pintas.  Hal tersebut mengisyaratkan kebijakan fiskal Indonesia cenderung tidak memiliki arah yang jelas atau tidak berorientasi pada stabilitas jangka panjang.

Untuk itu masyarakat mediokerlah yang dijadikan sebagai kambing hitam dari kebijakan fiskal yang kompromistis pada kelas elit. Suka atau tidak tax amnesty menjadi angin segar bagi para pengemplang pajak yang mayoritas dihuni oleh kelompok elit. Persepsi ini bukan isapan jempol belaka, karena bukan suatu kebetulan wacana kenaikan PPN berbarengan dengan rencana tax amnesty untuk ketiga kalinya.

Design Kebijakan Pro Elit?

Kenaikan PPN pada 2025 (Meski terjadi penundaan) yang bersamaan dengan wacana tax amnesty jilid 3 memunculkan persepsi bahwa terjadi pengalihan beban fiskal yang dihasilkan oleh perilaku pengemplang pajak kepada masyarakat menengah-bawah. Secara psikologis, kombinasi kebijakan ini menimbulkan rasa ketidakadilan di masyarakat. Para WP dan masyarakat yang selama ini patuh akan merasa dirugikan, sementara pengemplang pajak seolah mendapat “angin surga”.

Tax amnesty yang berlebihan tentu tidak hanya memantik persoalan moral hazard, namun juga memantik ketidakpercayaan masyarakat terhadap pajak yang selama ini diharapkan mampu untuk memberikan keadilan bagi seluruh warga negara tanpa memandang status sosial mereka.

Pemberian tax amnesty pada kelompok elite tentu akan mencederai keadilan pajak karena kebijakannya yang cenderung memberi keuntungan praktis bagi negara dan kaum elite, sementara kelas medioker hanya menjadi penonton dari kebijakan yang membuat subur kaum makmur. Selain itu pemerintah perlu menyadari jika kelas menengah-bawah sangat tertekan dengan pemberlakuan kebijakan pajak yang bersifat regresif seperti menaikan PPN.

Ketika PPN naik, dampaknya akan langsung menyasar harga barang dan jasa, serta memberatkan kelompok mengengah-bawah yang menghabiskan sebagian besar pendapatannya untuk konsumsi. Hal ini kontras dengan kelompok elit yang justru menerima “pengampunan” atas kewajiban pajak yang mereka abaikan.

Ketimbang bergantung pada kebijakan jalan pintas seperti tax amnesty atau mengeluarkan kebijakan perpajakan yang regresif seperti PPN, pemerintah dapat mengupayakan diversifikasi basis perpajakan dengan mengidentifikasi sumber-sumber pajak baru, seperti pajak kekayaan, pajak karbon, atau jenis pajak lainnya guna memperluas penerimaan negara tanpa menekan kelas medioker.

Selanjutnya pemerintah perlu mengalokasikan penerimaan pajak secara lebih adil, dan memastikan anggaran pajak digunakan untuk program yang meningkatkan kesejahteraan masyarakat menengah-bawah, ketimbang membuat program yang mebrikan manfaat praktis hanya pada kelas elit seperti tax amnesty yang juga dapat menjebol anggaran pajak dalam penyelenggaraanya.

Pada akhirnya, kebijakan perpajakan yang adil haruslah berpihak pada kepentingan masyarakat luas, bukan hanya mengakomodasi segelintir elit. Untuk itu, pemerintah perlu menciptakan kebijakan perpajakan yang tidak hanya berorientasi pada penerimaan negara, tetapi juga pada keadilan sosial dan kesejahteraan seluruh kelompok baik kelompok elit maupun kelas medioker.

 

 

 

 

Lambang Wiji Imantoro
Exit mobile version