Konsumsi gula berlebih, khususnya melalui minuman berpemanis (sugar-sweetened beverages/SSBs), telah menjadi masalah kesehatan masyarakat yang serius di banyak negara, termasuk Indonesia. Menurut data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2022, diabetes mellitus, yang erat kaitannya dengan konsumsi gula berlebih, menempati urutan ke-9 penyebab kematian global dan menjadi penyebab kematian ketiga di Indonesia (Azam et al., 2023).
Peningkatan prevalensi diabetes ini tidak terjadi tanpa alasan. Kemudahan akses terhadap SSB dan keterjangkauannya menjadi faktor utama yang mendorong peningkatan konsumsi. Selain itu, strategi pemasaran agresif dari industri minuman mempercepat pertumbuhan konsumsi produk ini (Markou et al., 2015; Sulistyo & Firmansyah, 2023). Akibatnya, dampak negatif tidak hanya terasa pada kesehatan individu tetapi juga membebani sistem kesehatan nasional dan menurunkan produktivitas tenaga kerja (Bauer, 2019; Malik & Hu, 2022).
Melihat dampak luas konsumsi SSB, pemerintah Indonesia mulai mempertimbangkan penerapan pajak sebagai salah satu solusi. Langkah ini didorong oleh bukti dari beberapa negara seperti Meksiko, Inggris, dan Amerika Serikat, yang menunjukkan keberhasilan kebijakan Cukai MBDK dalam menurunkan konsumsi gula. Misalnya, di Meksiko, Cukai MBDK yang diterapkan pada tahun 2014 menurunkan konsumsi sebesar 7,3% setiap tahun (Teng et al., 2019). Meski efektivitas kebijakan ini sudah terbukti, Indonesia masih menghadapi tantangan dalam mengadopsi langkah serupa karena belum ada tindakan legislatif yang konkret.
Untuk mengatasi masalah ini, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) menjelaskan bahwa cukai akan dikenakan pada berbagai jenis minuman berpemanis, termasuk yang menggunakan gula, pemanis alami, atau buatan. Objek cukai mencakup produk siap minum seperti minuman botol hingga produk yang perlu diencerkan seperti sirup atau susu kental manis. Pemerintah juga berencana memberikan pengecualian bagi produk tertentu, seperti untuk ekspor, kebutuhan medis, atau produk sederhana yang diatur melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Langkah ini tidak hanya bertujuan untuk mengendalikan konsumsi tetapi juga mendukung pembangunan nasional melalui peningkatan penerimaan negara.
Namun, keberhasilan kebijakan ini tidak hanya bergantung pada implementasi aturan cukai. Menurut Buse (dalam Hagenaars, 2021), ada tiga elemen utama yang menentukan efektivitas kebijakan Cukai Minuman Berpemanis Dalam Kemasan (MBDK): konten, konteks, dan proses. Konten mencakup penargetan produk yang dikenai cukai, penentuan tarif pajak, dan pengalokasian pendapatan pajak untuk program tertentu. Konteks mempertimbangkan dinamika politik, kebutuhan fiskal, dan pengaruh lobi industri. Proses memerlukan agenda setting yang melibatkan LSM, akademisi, dan legislator untuk mengatasi resistensi pihak yang menentang pajak.
Dampak Penerapan Cukai MBDK
Jika kebijakan cukai pada minuman berpemanis (SSB) diterapkan di Indonesia, salah satu dampak yang perlu diantisipasi adalah resistensi dari industri minuman berpemanis. Industri ini kemungkinan besar akan menolak kebijakan tersebut karena beban pajak tambahan, mengingat produk mereka telah dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Penolakan ini dapat muncul dari kekhawatiran bahwa kenaikan harga akibat cukai akan mengurangi volume penjualan. Sebagai perbandingan, implementasi Cukai MBDK di Meksiko juga menghadapi resistensi serupa, di mana industri melancarkan kampanye besar-besaran untuk menggagalkan kebijakan. Namun, meskipun terdapat hambatan, kebijakan tersebut berhasil diterapkan dan berdampak positif pada pengurangan konsumsi (Teng et al., 2019).
Selain itu, elastisitas harga produk SSB menjadi faktor penting dalam menentukan efektivitas kebijakan. Produk dengan elastisitas harga tinggi memungkinkan konsumen beralih ke produk alternatif saat harga SSB meningkat. Dalam hal ini, ketersediaan substitusi yang sehat seperti air mineral, minuman rendah gula, atau minuman dengan pemanis alami memainkan peran kunci. Studi WHO (2022) menunjukkan bahwa keberhasilan pengurangan konsumsi gula sangat bergantung pada kemudahan akses ke produk pengganti yang terjangkau. Tanpa substitusi yang memadai, konsumen dapat tetap memilih SSB meskipun harganya lebih tinggi, sehingga tujuan kebijakan tidak tercapai.
Tantangan berikutnya adalah proses pengawasan pita cukai. Di Indonesia, pengawasan yang menggunakan barcode menghadirkan potensi kerumitan operasional dan risiko penyalahgunaan, seperti penggunaan pita cukai palsu. Negara-negara yang menerapkan kebijakan serupa, seperti Inggris dan Meksiko, menghadapi kendala serupa, yang meningkatkan biaya pengawasan bagi pemerintah (Lee et al., 2020). Untuk mengatasi ini, pemerintah perlu membangun sistem pengawasan berbasis teknologi yang terintegrasi dengan baik untuk memastikan kepatuhan produsen dan distributor.
Kesulitan lainnya terletak pada penetapan tarif cukai yang sesuai untuk berbagai jenis SSB. Tarif yang terlalu rendah mungkin tidak cukup mendorong penurunan konsumsi, sementara tarif yang terlalu tinggi dapat memicu resistensi dari masyarakat dan industri. Pendekatan yang digunakan di negara lain, seperti tarif berbasis kandungan gula per liter di Meksiko atau cukai progresif di Inggris, dapat menjadi referensi dalam merancang kebijakan di Indonesia (Malik et al., 2019). Dalam hal ini, kebijakan yang mempertimbangkan kandungan gula, tingkat konsumsi masyarakat, dan daya beli konsumen perlu dirumuskan secara hati-hati agar dapat mencapai keseimbangan antara efektivitas pengurangan konsumsi dan penerimaan masyarakat
Dampak Regresif
Salah satu kritik utama terhadap Cukai MBDK adalah dampak regresifnya, di mana masyarakat berpenghasilan rendah menanggung beban yang lebih besar dibandingkan kelompok berpenghasilan tinggi. Hal ini terjadi karena kenaikan harga produk SSB sebagai akibat dari cukai akan memberikan tekanan lebih besar pada rumah tangga dengan pendapatan terbatas, yang cenderung mengalokasikan proporsi lebih besar dari penghasilannya untuk kebutuhan dasar, termasuk minuman berpemanis. Studi di Belanda menunjukkan bahwa kenaikan harga akibat pajak dapat secara signifikan memengaruhi konsumsi rumah tangga miskin, di mana penurunan konsumsi lebih besar terjadi di kalangan kelompok berpenghasilan rendah dibandingkan kelompok berpenghasilan tinggi (Djojosoeparto et al., 2020).
Meski demikian, dampak regresif ini dapat diminimalkan jika pendapatan dari Cukai MBDK dialokasikan untuk mendukung program kesehatan masyarakat atau memberikan subsidi untuk makanan sehat. Langkah ini tidak hanya mengurangi beban kelompok berpenghasilan rendah, tetapi juga membantu menciptakan dampak positif jangka panjang yang bersifat progresif.
Penelitian di Brazil memberikan bukti tambahan mengenai efektivitas Cukai MBDK dalam mengurangi konsumsi gula, khususnya dengan mendorong peralihan ke alternatif yang lebih sehat, seperti air putih atau susu rendah kalori. Namun, penelitian juga menunjukkan bahwa efek ini sering kali tidak signifikan secara statistik dalam jangka panjang, terutama karena adanya respons pasar. Produsen cenderung beradaptasi terhadap kebijakan dengan memperkenalkan produk baru, menawarkan promosi, atau menciptakan substitusi yang lebih murah untuk mempertahankan pangsa pasar mereka (Claro, 2011). Fenomena ini mengindikasikan bahwa Cukai MBDK harus disertai kebijakan pendukung lainnya, seperti regulasi ketat pada kandungan gula, promosi produk sehat, dan peningkatan literasi kesehatan masyarakat.
Dalam konteks Indonesia, dampak regresif Cukai MBDK perlu diperhitungkan dengan cermat. Penduduk berpenghasilan rendah yang menjadi konsumen utama SSB murah mungkin terpaksa mencari substitusi yang tidak selalu lebih sehat atau justru mengurangi pengeluaran untuk kebutuhan lain. Oleh karena itu, pemerintah harus merancang kebijakan yang terintegrasi dengan program sosial yang lebih luas, seperti subsidi pada air minum bersih, edukasi tentang pola makan sehat, dan penguatan sistem kesehatan primer untuk mendukung pengurangan beban penyakit terkait gula. Pendekatan ini juga dapat mendorong keberlanjutan kebijakan dalam jangka panjang, terutama dalam mengurangi kesenjangan sosial ekonomi di bidang kesehatan.
Dengan belajar dari pengalaman negara lain, Indonesia dapat mengoptimalkan manfaat kebijakan Cukai MBDK melalui langkah-langkah mitigasi dampak regresif. Perencanaan yang komprehensif, termasuk memperhitungkan respons pasar, memperkuat pengawasan terhadap implementasi pajak, dan memanfaatkan hasil pendapatan pajak untuk kepentingan masyarakat, sangat penting untuk memastikan bahwa kebijakan ini mencapai tujuan utamanya, yaitu meningkatkan kesehatan masyarakat tanpa memberikan beban yang tidak proporsional pada kelompok rentan.
Penerapan Cukai MBDK memiliki potensi besar untuk menurunkan konsumsi gula dan meningkatkan kesehatan masyarakat. Namun, kebijakan ini membutuhkan perencanaan yang matang dan dukungan dari berbagai pihak. Pendapatan pajak harus dialokasikan untuk mendukung program kesehatan, menyediakan alternatif sehat yang terjangkau, dan memperkuat pengawasan terhadap implementasi kebijakan. Jika diterapkan dengan strategi yang tepat, cukai MBDK dapat menjadi alat efektif untuk mengurangi beban kesehatan akibat konsumsi gula berlebih, sekaligus mendukung pembangunan nasional yang berkelanjutan.