Citra Semu Penurunan Pengangguran

Pengangguran Indonesia

Sumber: Freepik

Dalam pidato kenegaraannya yang terakhir, Presiden Joko Widodo menyampaikan selama 10 tahun kepemimpinannya tingkat pengangguran telah ditekan hingga ke titik terendahnya, dari sebelumnya 5,7% menjadi 4,8% di tahun 2024.

Ketika pemerintah meyakinkan publik bahwa Indonesia telah menekan angka penganggurannya, IMF justru menyatakan angka pengangguran Indonesia masih menjadi yang tertinggi di kawasan ASEAN. Dalam laporan IMF berjudul World Economic Outlook April 20224, menyatakan tingkat pengangguran Indonesia mencapai 5,2%. Kendati mengalami penurunan dari tahun sebelumnya (5,3%), Indonesia masih menjadi negara dengan tingkat penangguran tertinggi di ASEAN, di atas Filipina (5,1%), Malaysia (3,52%), Vietnam (2,1%), dan Singapura (1,9%).

Kontras semakin terasa manakala kementerian ketenagakerjaan merilis data jumlah pekerja yang ter-PHK pada periode Januari-Agustus 2024 yang mencapai 46.240 orang, naik lebih dari 50% dari periode yang sama tahun lalu sebanyak 26.400 orang. Beberapa provinsi bahkan mengalami kenaikan kasus PHK hingga 1000% seperti di Jakarta dan Bangka Belitung. Di Jakarta, sejak Januari-Juni 2024 sebanyak 7.469 orang ter-PHK. Jumlah tersebut bertambah 6.786 orang atau 994% atau hampir 1.000% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Berdasarkan realitasnya, apakah penurunan angka pengangguran hanya sebatas citra semu?

Skill Mismatch Apakah Penyebab Pengangguran?

Pasar tenaga kerja Indonesia menghadapi tantangan serius dalam bentuk ketidaksesuaian keterampilan (skill mismatch) baik secara vertikal maupun horizontal. Skill mismatch terjadi ketika keterampilan yang dimiliki oleh angkatan kerja tidak sesuai dengan kebutuhan industri. BPS mencatat tenaga kerja Indonesia masih didominasi oleh lulusan Sekolah Dasar (40%), bandingkanlah dengan lulusan Sarjana yang hanya 9,31%. Selanjutnya, minimnya kualitas tenaga kerja yang memenuhi kualifikasi industri dan akhirnya bekerja tidak sesuai dengan bidang keilmuannya, menambah persoalan skill mismatch secara horizontal.

Persoalan skill mismatch turut menyebabkan mayoritas angkatan kerja terserap ke sektor informal atau ke sektor industri bernilai tambah rendah, dengan gaji di bawah standar minimum, dan tanpa perlindungan sosial. BPS mecatat, sepanjang 2023 dari total angkatan kerja nasional  (146,62 juta), 83,34 juta orang diantaranya (60,12%) terserap ke sektor informal. Kenyataan ini diperteruk dengan laporan World Bank (2023) berjudul Indonesia Economic Prospects, yang menjelaskan selama periode 2019-2022 prevalensi pekerjaan layak dengan standar kelas menengah turun signifikan, dari 14% menjadi 9%.

Minimnya kualitas tenaga kerja yang memenuhi kualifikasi industri akhirnya mempengaruhi produktivitas kerja mereka, yang dalam jangka panjang berpotensi menghambat pertumbuhan sektor-sektor ekonomi yang membutuhkan keterampilan khusus. Akibatnya semakin sedikit pekerja Indonesia yang berkesampatan mendapat pekerjaan dengan upah yang layak.

Meski pemerintah telah berupaya meningkatkan kualitas tenaga kerja melalui program pendidikan vokasi sekaligus giat menyelenggarakan program pelatihan kerja, rupanya program-program tersebut sering kali tidak sinkron dengan kebutuhan riil industri. Alih-alih menurunkan angka pengangguran, pendidikan vokasi justru menjadi penyumbang pengangguran terbesar. BPS mecatat sebanyak 1,8 juta lulusan sekolah vokasi setara SMK, 191 ribu lulusan Diploma, dan 872 ribu lulusan sarjana, menganggur. Kenyataan ini semakin diperteruk oleh kurangnya koordinasi antara pemerintah, institusi pendidikan, dan sektor industri dalam merancang kurikulum yang relevan dan responsif terhadap perubahan dinamika pasar kerja.

Apakah skill mismatch jadi satu-satunya sumber masalah? Ketika skill mismatch dianggap sebagai permasalahan tunggal yang menempatkan kelompok pekerja sebagai pesakitan tunggal, secara tersirat persoalan pengangguran seolah menjadi tanggungjawab masyarakat. Padahal, persoalan pengangguran harusnya menjadi prioritas tanggungjawab negara, bukan justru dianggap sekadar angka statistika tanpa makna. Menagapa?

Intepretasi yang Sempit

Perbedaan antara gambaran utopis pemerintah dengan realita yang ada menimbulkan pertanyaan mendasar. Apakah pemerintah benar-benar telah mampu menekan angka pengangguran hingga ke titik terendahnya? Ataukah pemerintah hanya fokus menurunkan angka pengangguran di atas kertas ketimbang serius mengatasi masalah mendasar yang menyebabkan tingginya pengangguran?

Pemerintah tampaknya keliru memaknai kata pengangguran. Mereka yang dalam seminggu bekerja minimal 1 jam dengan dibayar maupun tidak, dianggap bukan pengangguran. Jika definisi pengangguran disesuaikan dengan ketentuan UU No.13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan yang menyatakan bahwa batas minimum jam kerja dalam satu hari adalah 7 jam atau 35 jam per minggu, maka 31% masyarakat Indonesia masuk kategori pengangguran.

Kekeliruan tersebut membuktikan bahwa pemerintah mengabaikan kelompok pengangguran terselubung (underemployment) dan menganggap underemloyment sebagai kelompok pekerja. Pemerintah juga seolah mengabaikan konsep pekerjaan layak (decent work) dimana jumlah jam kerja, kualitas pekerjaan, termasuk upah dan kondisi kerja, yang padahal keseluruhan faktor tersebut menjadi bagian terpenting bagi pekerja.

Konsekuensi dari interpretasi sempit tersebut adalah munculnya citra semu penurunan pengangguran yang sering diklaim sebagai prestasi besar. Meskipun secara statistik tampaknya menggembirakan, realita sebenarnya begitu getir. Jutaan pekerja terjebak dalam pekerjaan dengan upah di bawah standar minimum, bahkan tidak memperoleh jaminan perlindungan sosial. Mereka yang dianggap bukan pengangguran ini juga menghadapi ketidakpastian ekonomi yang tidak kalah beratnya dengan pengangguran terbuka.

Pemerintah juga perlu menyadari bahwa pengangguran dan underemployment bukan hanya masalah statistik, tetapi juga masalah sosial yang kompleks. Pemerintah seharusnya mengadopsi pendekatan yang lebih dengan melakukan identifikasi mendalam mengenai kualitas pekerjaan yang tersedia, termasuk memperhatikan upah pekerja, stabilitas kerja, serta perlindungan sosial yang mereka dapatkan. Tanpa perbaikan pada aspek-aspek tersebut, klaim penurunan angka pengangguran hanyalah suatu ilusi yang menutupi masalah sesungguhnya.

Pelatihan Berbasis Proyek

Di tengah ketidakpastian ekonomi global dan cepatnya perubahan industri, ketidaksesuaian antara keterampilan pekerja dengan kebutuhan industri semakin memperparah masalah ini. Alih-alih pelatihan umum, pemerintah dapat menggencarkan program pelatihan berbasis proyek yang melibatkan angkatan kerja secara langsung sebagai pihak yang terlibat dalam penyelesaian masalah kongkrit di industri.

Selanjutnya, pengembangan SDM berkualitas yang mampu menjawab tantangan industri, mutlak menjadi kebijakan yang perlu diutamakan. Karenanya, pemerintah perlu membangun kemitraan strategis antara universitas, lembaga penelitian, dan industri untuk menciptakan kurikulum yang lebih relevan dengan kebutuhan pasar dan indsutri. Dengan demikian, angkatan kerja akan memiliki keterampilan yang sesuai dengan tuntutan industri, serta mampu mengurangi kesenjangan antara dunia pendidikan dan dunia kerja.

Ketimbang fokus menurunkan angka pengangguran secara statistik, agaknya pemerintah harus melihat langsung bagaimana realitas sesungguhnya dari banyaknya angkatan kerja yang terlunta-lunta mencari kerja. Saat ini jumlah angkatan kerja Indonesia tengah menyentuh angka tertingginya. BPS mencatat jumlahnya mencapai 142 juta orang, sedikit dari mereka terserap ke sektor formal, dan hampir 8 jutanya berstatus pengangguran. Ketika momentum ini gagal untuk dimaksimalkan, maka Indonesia berisiko menghadapi ledakan pengangguran yang lebih besar, disertai dengan meningkatnya ketidakpuasan sosial dan ketidakstabilan ekonomi. Pemerintah perlu bertindak cepat dan tepat, dengan menggulirkan kebijakan yang benar-benar menyentuh akar permasalahan, bukan hanya berfokus pada angka statistik semata.

 

Artikel ini juga terbit di laman Bisnis Indonesia pada 12 Oktober 2024 dengan tautan https://bisnisindonesia.id/article/citra-semu-penurunan-pengangguran

 

Lambang Wiji Imantoro
Exit mobile version