Dalam beberapa tahun terakhir, kelas menengah Indonesia berada dalam pusaran tekanan ekonomi yang tidak ringan. Kenaikan harga kebutuhan pokok seperti bahan pangan, energi, dan transportasi telah mereduksi ruang belanja masyarakat, khususnya mereka yang berada di antara garis rentan dan mapan yakni kelas menengah.
Di saat bersamaan, beban pajak yang harus mereka tanggung belum banyak mengalami penyesuaian yang mencerminkan kondisi aktual di lapangan. Hal ini menimbulkan pertanyaan serius: apakah struktur perpajakan Indonesia, khususnya Pajak Penghasilan (PPh) orang pribadi dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), masih proporsional terhadap kemampuan riil masyarakat?
Struktur Pajak Kelas Menengah
Struktur PPh orang pribadi Indonesia menggunakan sistem progresif, dengan tarif yang meningkat seiring naiknya penghasilan. Per tahun 2023, individu dengan penghasilan hingga Rp50 juta dikenakan tarif 5 persen, penghasilan antara Rp50 juta hingga Rp250 juta dikenai tarif 15 persen, lalu naik menjadi 25 persen untuk penghasilan hingga Rp500 juta. Di atas Rp500 juta hingga Rp5 miliar tarifnya mencapai 30 persen, dan bagi mereka yang berpenghasilan lebih dari Rp5 miliar, tarif mencapai 35 persen.
Di atas kertas, sistem ini tampak adil karena memberikan beban lebih besar kepada mereka yang berpenghasilan lebih tinggi. Namun, jika kita telisik lebih dalam, kelas menengah justru menjadi kelompok yang paling rentan terjepit oleh sistem ini. Pendapatan mereka tidak cukup tinggi untuk merasakan insentif atau kelonggaran pajak, tapi cukup besar untuk dikenai tarif yang memberatkan, apalagi ketika dikombinasikan dengan beban hidup yang terus meningkat.
Isu krusial lainnya adalah stagnasi batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Pemerintah terakhir kali menaikkan batas PTKP pada tahun 2016, yaitu sebesar Rp54 juta per tahun untuk wajib pajak orang pribadi lajang. Sejak saat itu, inflasi terus meningkat, namun PTKP tidak mengalami penyesuaian berarti.
Artinya, dalam kondisi daya beli yang tertekan oleh harga-harga kebutuhan pokok yang naik, masyarakat kelas menengah harus tetap membayar pajak seolah tidak terjadi perubahan situasi ekonomi. Ketika inflasi tahun 2022 tercatat mencapai 5,5 persen dan pada 2023 sempat menyentuh 3,5 persen, maka stagnasi PTKP telah menggerus nilai riil pendapatan masyarakat secara signifikan.
Hal lain yang tak bisa dilepaskan dari diskusi ini adalah PPN. Pajak konsumsi ini bersifat regresif—artinya, dalam proporsi terhadap pendapatan, masyarakat berpenghasilan lebih rendah justru membayar lebih banyak pajak dibanding yang kaya. Dengan kenaikan tarif PPN dari 10 persen menjadi 11 persen pada tahun 2022, dan rencana kenaikan lebih lanjut menjadi 12 persen dalam beberapa waktu ke depan, beban ini akan semakin berat.
Kelas menengah, yang belanjanya masih sangat tergantung pada pengeluaran kebutuhan dasar, tentu menjadi korban paling terdampak. Ketika masyarakat harus membayar lebih untuk makanan, listrik, transportasi, hingga pendidikan anak, PPN ikut menggerus setiap rupiah dari pendapatan yang sudah pas-pasan.
Di tengah tekanan ekonomi ini, pendapatan kelas menengah juga tidak mengalami pertumbuhan yang signifikan. Data BPS menunjukkan bahwa upah riil pekerja, terutama di sektor formal perkotaan, stagnan selama beberapa kuartal terakhir. Dengan kata lain, pendapatan nominal yang diterima sebagian besar tidak mengalami pertumbuhan berarti, bahkan cenderung menurun setelah disesuaikan dengan inflasi.
Sebagai contoh, rata-rata upah riil buruh di Indonesia pada awal 2024 berada di kisaran Rp2,6 juta per bulan—hanya sedikit lebih tinggi dibanding tahun-tahun sebelumnya, dan itu pun tidak mengimbangi laju kenaikan harga barang dan jasa. Sementara itu, konsumsi rumah tangga yang merupakan motor utama perekonomian Indonesia mulai menunjukkan pelemahan, dengan pertumbuhan hanya 4,47 persen pada kuartal IV 2023, lebih rendah dibanding kuartal sebelumnya.
Pertanyaan mendasar kemudian muncul: apakah beban pajak ini mencerminkan asas keadilan yang menjadi prinsip utama dalam sistem perpajakan modern? Dalam praktiknya, kelas menengah tidak hanya menanggung PPh dan PPN, tapi juga pajak-pajak lain seperti Pajak Kendaraan Bermotor, Bea Materai, dan berbagai pungutan daerah.
Namun mereka tidak memiliki kapasitas finansial dan legal untuk melakukan penghindaran pajak seperti yang dilakukan korporasi besar atau individu superkaya. Di sisi lain, mereka juga tidak cukup miskin untuk mendapatkan bantuan sosial atau insentif fiskal yang selama ini dirancang untuk kelompok rentan. Maka, kelas menengah menjadi kelompok “tertangkap sistem”, terjebak dalam kewajiban namun luput dari perhatian.
Padahal, peran kelas menengah dalam perekonomian sangat strategis. Mereka merupakan motor konsumsi, tulang punggung penerimaan pajak, sekaligus sumber stabilitas sosial dan politik. Jika kelompok ini terus didera beban fiskal tanpa pertimbangan kapasitas riil, maka risiko demoralisasi fiskal akan semakin besar. Orang enggan membayar pajak karena merasa sistemnya tidak adil. Efek jangka panjangnya bukan hanya pada penerimaan negara, tetapi juga terhadap legitimasi kebijakan fiskal secara keseluruhan.
Merancang Ulang Sistem Perpajakan
Diperlukan reformasi menyeluruh untuk menyesuaikan sistem perpajakan dengan realitas sosial ekonomi saat ini. Penyesuaian PTKP perlu dipertimbangkan ulang secara berkala, mengikuti laju inflasi tahunan. Pemerintah juga bisa mengevaluasi kembali tarif PPN untuk barang-barang kebutuhan pokok, dengan opsi menurunkan tarif bagi kelompok barang tertentu yang menjadi konsumsi dominan kelas menengah dan bawah. Selain itu, sistem insentif fiskal bisa diperluas bukan hanya untuk pelaku usaha besar atau start-up teknologi, tetapi juga untuk rumah tangga kelas menengah yang mengeluarkan biaya besar untuk pendidikan, kesehatan, atau perumahan.
Sistem perpajakan yang adil bukan hanya soal meningkatkan penerimaan negara, tapi juga membangun kepercayaan publik. Ketika masyarakat merasa bahwa kontribusinya diapresiasi dan dibalas dengan layanan publik yang layak serta beban yang proporsional, maka kepatuhan sukarela akan meningkat. Sebaliknya, jika masyarakat merasa dipajaki secara tidak adil di tengah tekanan hidup yang meningkat, maka risiko perlawanan pasif seperti penghindaran pajak akan semakin besar.
Di tengah iklim ekonomi yang masih tidak menentu, pemerintah harus mengambil langkah afirmatif untuk menjaga daya beli dan semangat partisipasi fiskal kelas menengah. Mereka bukan hanya pembayar pajak, tetapi juga penjaga stabilitas sosial yang jika dikecewakan, akan menggerus fondasi ekonomi itu sendiri.