Insentif Fiskal untuk Masa Depan Keanekaragaman Hayati

#image_title

Ketika mentari pagi menyusup di antara rimbunnya dedaunan, gemerisik hutan Kalimantan memecah keheningan. Suara kicauan burung dan deru angin yang lembut adalah harmoni alam yang semakin jarang kita dengar di tengah deru pembangunan yang kian merambah hutan.

Sebagai salah satu negara mega-biodiversity terbesar di dunia, Indonesia adalah rumah bagi ribuan spesies flora dan fauna. Namun, bak pedang bermata dua, kekayaan ini terancam oleh eksploitasi manusia yang berlebihan.

“Indonesia adalah surga bagi keanekaragaman hayati,” ujar Rheza Maulana, konservasionis NatGeo Indonesia.  Pernyataan tersebut disampaikan dalam Forum Bumi yang diselenggarakan Yayasan KEHATI dan National Geographic Indonesia pada 5 Desember lalu. “Namun, surga itu kini terancam oleh deforestasi, perubahan iklim, dan perburuan liar. Imbasnya, risiko penurunan populasi hingga kepunahan di alam meningkat,” Imbuhnya.

Menurut laporan MADANI Berkelanjutan, sepanjang Juli hingga Agustus 2024 saja terdapat 200 ribu hektare hutan Indonesia terbakar. Sementara itu, data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat deforestasi sebesar 7,7 juta hektare dalam dekade terakhir. Hutan yang dulunya luas dan menjadi benteng pelindung kehidupan kini berubah menjadi lahan tandus, ladang sawit, atau tambang.

Prof. Satyawan Pudyatmoko dari Kementerian LHK mengingatkan dalam forum tersebut. “Hilangnya keanekaragaman hayati dapat mengancam kesehatan manusia dan jasa ekosistem. Saat ini, sekitar 1 juta spesies tumbuhan dan hewan menghadapi ancaman kepunahan.” Salah satu contohnya adalah orangutan, simbol ikonik dari ekosistem tropis yang kini kehilangan habitat akibat konversi hutan.

Namun, ancaman sebenarnya tidak hanya berasal dari sisi lingkungan. Banyak kebijakan yang tanpa sadar menciptakan perverse incentives, yaitu dorongan kebijakan yang justru mempercepat kerusakan lingkungan.

Jeffrey A. McNeely, ilmuwan yang telah menghabiskan 30 tahun lebih menangani isu konservasi internasional, dalam bukunya Economics and Biological Diversity (1988) menggarisbawahi pentingnya desain kebijakan insentif ekonomi. Tujuan utama insentif tersebut adalah mengarahkan masyarakat dan pemerintah untuk menjaga keanekaragaman hayati.

Peran Kebijakan Fiskal

Dalam rangka menjaga keanekaragaman hayati, pemerintah dapat memberikan insentif ekonomi dalam bentuk insentif langsung maupun tidak langsung. Insentif langsung (direct incentives) diberikan secara langsung dalam bentuk uang tunai maupun barang demi mencapai tujuan tertentu. Misalnya, memperbaiki pengelolaan kawasan lindung.

Sementara itu, dalam indirect incentives tidak ada pemberian dana secara langsung. Dukungan pemerintah diberikan dalam bentuk pemanfaatan kebijakan fiskal, sosial, atau sumber daya dalam rangka mendukung upaya konservasi.

Kebijakan fiskal memiliki peran penting untuk menjaga keanekaragaman hayati kita. Menurut McNeely (1988), insentif ekonomi seperti tax incentives dapat digunakan untuk membumikan gerakan konservasi.

Contohnya, pemerintah dapat memberikan pembebasan pajak kepada perusahaan yang mendukung reforestasi di sekitar kawasan lindung. Cara lainnya yaitu memberikan insentif kepada masyarakat adat yang mengelola hutan agar lestari.

Saat ini, pemerintah Indonesia telah menerapkan beberapa kebijakan fiskal yang mendukung konservasi, khususnya dalam bentuk pajak penghasilan (PPh), pajak pertambahan nilai (PPN), dan Bea Masuk.

Melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78/2019, pemerintah memberikan tax allowance untuk penanaman modal di bidang kehutanan. Fasilitas PPh tersebut berupa pengurangan penghasilan neto sebesar 30% dari jumlah nilai Penanaman Modal, penyusutan dan amortisasi yang dipercepat atas aktiva, hingga kompensasi kerugian yang lebih lama dari 5 tahun.

Berikutnya, melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 198/PMK.010/2019, diberikan pembebasan bea masuk terhadap impor barang untuk keperluan konservasi alam. Fasilitas PPN dan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) tidak dipungut juga diberikan atas impor tersebut. Selain itu, ada PMK Nomor 219/PMK.011/2012 yang mengatur bahwa cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha kehutanan dapat dikurangkan sebagai biaya (deductible) dalam menghitung PPh terutang.

Terakhir, PP Nomor 49/2022 mengatur PPN dibebaskan di antaranya atas impor bibit dan/atau benih dari barang pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, atau perikanan. Kebijakan ini dapat meringankan beban biaya pelaku usaha dengan memberikan insentif ekonomi yang signifikan untuk mendukung produktivitas lahan.

Kendati demikian, langkah-langkah fiskal tersebut masih perlu pengawasan dan implementasi yang lebih tepat guna. Untuk mendorong masyarakat lokal kita agar lebih mendukung upaya konservasi, insentif tidak langsung dalam bentuk insentif fiskal dapat menjadi langkah penting bagi harmonisasi ekonomi dan perlindungan alam.

Implementasi dari pembangunan ekonomi berbasis keanekaragaman hayati dalam konteks kita dapat dilakukan melalui beberapa inovasi berikut. Pertama, pengembangan ekowisata. Desa-desa di sekitar kawasan konservasi dapat dikembangkan menjadi destinasi ekowisata yang memanfaatkan keanekaragaman hayati sekitar. Program ini dapat memberdayakan masyarakat sebagai pemandu wisata, pengelola homestay, atau produsen produk lokal ramah lingkungan.

Bentuk insentif fiskal yang bisa ditawarkan pemerintah misalnya berupa insentif pajak untuk penghasilan yang mereka peroleh dari kegiatan ekowisata tersebut. Pengurangan tarif pajak daerah seperti pajak hotel atau restoran untuk pelaku usaha ekowisata juga menjadi cukup relevan untuk dipertimbangkan. Sementara untuk mendukung infrastruktur wisata seperti pembangunan homestay berbasis bahan lokal ramah lingkungan atau tingkat komponen dalam negeri (TKDN) yang tinggi, pemerintah bisa memberikan subsidi.

Kedua, insentif atas program reforestasi kolektif masyarakat melalui penanaman kembali hutan yang rusak. Insentif yang ditawarkan dapat berupa manfaat langsung dari hasil reforestasi, khususnya panen hasil hutan non-kayu dan non-satwa endemik. Demi keberhasilan program ini, tentunya diperlukan pelatihan terkait teknik reforestasi secara berkelanjutan.

Sementara itu, bentuk insentif fiskalnya dapat berupa pembebasan PPN dan Bea Masuk untuk benih, peralatan untuk reforestasi, atau teknologi lainnya yang mendukung. Sementara dalam jangka panjang, dapat dicanangkan skema insentif berupa pengurangan pajak atas penghasilan yang didapat dari hasil reforestasi tersebut.

Ketiga, dukungan terhadap usaha yang mendukung konservasi. Pemerintah dapat mendorong usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang berfokus pada produk berbasis konservasi seperti kerajinan tangan dari bahan ramah lingkungan atau produk organik. Insentif fiskal dapat diberikan dalam bentuk pembebasan pajak UMKM dengan pertimbangan bahwa usaha mereka bergerak di bidang kegiatan pelestarian lingkungan.

Meskipun langkah-langkah tersebut tampak menjanjikan, namun tantangan terbesarnya adalah pada bagaimana memastikan bahwa insentif tersebut menyasar kelompok yang tepat. Seperti dikemukakan McNeely (1988, hal. 71), “Tax incentives are seldom very useful for small farmers who operate largely outside of the tax system.” Artinya, diperlukan kebijakan yang lebih inklusif dan merata, dengan fokus pada data yang akurat untuk mengidentifikasi kelompok yang disasar.

Dalam hal ini, kuncinya adalah koordinasi yang lebih baik antar kementerian khususnya Kementerian Keuangan, Kementerian Pertanian, dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Kolaborasi antar sektor diperlukan untuk mengintegrasikan data terkait petani kecil, pemilik lahan, dan masyarakat yang akan dilibatkan dalam kegiatan konservasi dan kelak mendapat manfaat dari ekonomi sirkular yang dicanangkan.

Selain itu, pemerintah harus memastikan adanya monitoring dan evaluasi untuk menghindari kebocoran insentif serta menciptakan sistem yang adaptif terhadap kebutuhan masyarakat. Monitoring dapat dilakukan melalui kerja sama dengan lembaga independen, akademisi, dan komunitas setempat yang memahami dinamika di lapangan. Sementara itu, evaluasi berkala juga penting untuk menilai sejauh mana insentif yang diberikan berkontribusi pada pelestarian keanekaragaman hayati serta kesejahteraan masyarakat.

Tanggung Jawab Kolektif

Hutan Indonesia adalah warisan tak ternilai yang harus dijaga. Dengan luas yang menyusut menjadi hanya 94,1 juta hektare pada 2019 (dari 193 juta hektare pada 1950), alarm sudah lama berbunyi. Waktu untuk bertindak semakin mendesak. Artinya, tanggung jawab ini bukan hanya pada pemerintah atau kebijakan fiskal semata. Peran serta setiap individu beserta upaya kolektif masyarakat menjadi kunci untuk melindungi hutan kita.

Tidak dapat dimungkiri, kebijakan fiskal berupa insentif pajak dan subsidi untuk kegiatan konservasi merupakan instrumen yang cukup penting. Namun, tanpa dukungan dari semua pihak, upaya tersebut hanya akan menjadi langkah setengah hati. Kesadaran bersama terkait pentingnya melestarikan hutan harus ditanamkan di setiap lapisan masyarakat, mulai dari para pejabat, aparatur negara, pelaku usaha, hingga orang perorangan di tingkat keluarga.

Selain itu, kita sedang dihadapkan dengan masalah besar sebagai akibat dari ulah kita yang menimbulkan perubahan iklim. Hutan tropis Indonesia, yang merupakan salah satu penyerap karbon terbesar di dunia, akan kehilangan fungsinya akibat konversi lahan yang tidak terkendali. Jika tidak ada langkah konkret yang segera diambil, dampaknya akan meluas.

Bukan sekadar habitat flora dan fauna yang akan rusak, kehidupan manusia juga akan terdampak. Bencana alam, degradasi lahan, dan kelangkaan sumber daya air di berbagai belahan dunia yang terjadi belakangan ini adalah dampak nyata dari tingkah polah manusia.

Upaya perbaikan kolektif membutuhkan tindakan nyata sebagai manifestasi dari rasa kepemilikan kita atas tanggung jawab memakmurkan bumi. Ketika individu, masyarakat, pemerintah, dan pelaku usaha bekerja bersama, potensi untuk melestarikan hutan dan keanekaragaman hayati Indonesia semakin besar. Dari program reforestasi hingga dukungan terhadap desa wisata berbasis konservasi, bahkan sesederhana membuang sampah pada tempatnya, setiap langkah kecil apa pun dapat berkontribusi pada perubahan besar.

Karena itu, mari kita menatap masa depan melalui komitmen untuk menjaga agar suara burung-burung di hutan tetap terdengar, pohon-pohon tetap menjulang, dan puspa serta satwa menjadi saksi dari perjalanan kita melestarikan lingkungan. Karena pada akhirnya, kelestarian hutan bukan hanya tentang alam, tetapi juga menyangkut kelangsungan hidup kita sebagai manusia yang bergantung pada keseimbangan ekosistem untuk bertahan.


Penulis : Ismail Khozen, Manajer Pratama Institute dan Dosen di Departemen Ilmu Administrasi Fiskal Universitas Indonesia

Ismail Khozen
Manager Pratama Institute. Pengajar di Departemen Ilmu Administrasi Fiskal, Universitas Indonesia.
Exit mobile version