Pratama-Kreston Tax Research Center
No Result
View All Result
Rabu, 21 Mei 2025
  • Login
  • Konsultasi
  • Insight
    • Buletin
    • In-depth
  • Analisis
    • Artikel
    • Opini
    • Infografik
  • Publikasi
    • Buku
    • Jurnal
    • Liputan Media
  • Jasa Kami
    • Annual Report
    • Sustainability Report
    • Assurance Sustainability Report
    • Kajian Kebijakan Fiskal
    • Kajian Potensi Pajak dan Retribusi Daerah
    • Penyusunan Naskah Akademik
    • Analisis Ekonomi Makro
    • Survei
      • Survei Objek Pajak Daerah
      • Survey Efektivitas Penyuluhan Pajak Daerah
      • Survei Kepuasan Masyarakat
    • Konsultasi Pajak Komprehensif
  • Tentang Kami
    • Kontak Kami
  • INDONESIA
Pratama-Kreston Tax Research Center
  • Konsultasi
  • Insight
    • Buletin
    • In-depth
  • Analisis
    • Artikel
    • Opini
    • Infografik
  • Publikasi
    • Buku
    • Jurnal
    • Liputan Media
  • Jasa Kami
    • Annual Report
    • Sustainability Report
    • Assurance Sustainability Report
    • Kajian Kebijakan Fiskal
    • Kajian Potensi Pajak dan Retribusi Daerah
    • Penyusunan Naskah Akademik
    • Analisis Ekonomi Makro
    • Survei
      • Survei Objek Pajak Daerah
      • Survey Efektivitas Penyuluhan Pajak Daerah
      • Survei Kepuasan Masyarakat
    • Konsultasi Pajak Komprehensif
  • Tentang Kami
    • Kontak Kami
  • INDONESIA
Pratama-Kreston Tax Research Institute
No Result
View All Result

Joint Program Sebagai Upaya Intensifikasi Wajib Pajak

Muhammad Akbar AditamabyMuhammad Akbar Aditama
19 Maret 2025
in Artikel
Reading Time: 4 mins read
124 10
A A
0
Joint program

Image by freepik

153
SHARES
1.9k
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

Defisit APBN Indonesia pada Januari 2025 yang mencapai Rp23,5 triliun atau setara dengan 0,10% dari PDB menjadi sinyal bahwa penerimaan negara mengalami tekanan berat. Penurunan penerimaan sebesar 28,2% terutama disebabkan oleh turunnya penerimaan pajak, koreksi harga komoditas, serta perubahan metode pengumpulan pajak. Bahkan, hingga Februari 2025, penerimaan pajak merosot 30,1% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, menyebabkan total penerimaan perpajakan turun dari Rp320,51 triliun menjadi Rp240,4 triliun. Jika tren ini terus berlanjut, defisit anggaran berpotensi melebar hingga hampir 3% dari PDB, melampaui target yang telah ditetapkan.

Menghadapi kondisi ini, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) merancang strategi optimalisasi penerimaan negara dengan lebih agresif, termasuk menargetkan lebih dari 2.000 wajib pajak badan melalui skema joint program. Skema ini merupakan kerja sama lintas eselon I di Kemenkeu yang bertujuan untuk meningkatkan kepatuhan pajak dan menutup celah potensi penerimaan yang selama ini belum tergarap maksimal.

Menurut Direktur P2Humas DJP, Dwi Astuti, seluruh wajib pajak yang menjadi sasaran program ini adalah entitas badan usaha, bukan individu. Pendekatan yang digunakan pun tidak sekadar administratif, tetapi melibatkan analisis data mendalam, pemantauan ketat, penagihan yang lebih agresif, serta pemanfaatan intelijen pajak.

Namun, pertanyaannya, apakah strategi ini cukup efektif dalam mengatasi defisit penerimaan negara? Tanpa diiringi reformasi sistemik yang lebih menyeluruh, ada risiko bahwa kebijakan ini hanya menjadi solusi jangka pendek yang menambah beban kepatuhan bagi dunia usaha, alih-alih mendorong pertumbuhan ekonomi yang sehat.

Dampak Joint Program

Di sisi lain, dunia usaha memberikan respons yang beragam terhadap kebijakan pengawasan yang semakin ketat ini. Banyak pelaku bisnis menyambut positif upaya pemerintah yang mengintegrasikan teknologi Big Data dan analisis mendalam dalam memetakan wajib pajak, karena hal ini diyakini dapat menciptakan sistem perpajakan yang lebih transparan dan adil.

Namun, tidak sedikit pula yang mengungkapkan kekhawatiran bahwa pengetatan pengawasan dan regulasi dapat menambah beban administratif serta menimbulkan ketidakpastian dalam perencanaan dan operasi bisnis mereka. Para pengusaha berharap agar implementasi kebijakan ini disertai dengan dialog terbuka dan konsultasi yang berkesinambungan antara pemerintah dan sektor swasta, sehingga setiap kendala teknis atau birokratis dapat segera diatasi dan disesuaikan dengan dinamika pasar.

Sementara itu, wajib pajak, khususnya entitas badan usaha, menuntut agar strategi pengawasan tidak semata-mata bersifat represif, melainkan juga disertai dengan dukungan dan insentif yang mendorong peningkatan kapasitas internal dalam manajemen risiko pajak. Mereka mengharapkan adanya pelatihan, pendampingan teknis, dan penyediaan infrastruktur digital yang memadai agar proses pelaporan dan pencatatan perpajakan dapat berjalan dengan lancar tanpa mengganggu aktivitas usaha.

Dengan adanya mekanisme yang mendukung dan partisipatif, diharapkan kebijakan Joint Program dapat berfungsi sebagai katalisator untuk menciptakan sistem perpajakan yang efisien dan responsif terhadap tantangan era digital, sekaligus mendukung pertumbuhan ekonomi secara menyeluruh.

Konferensi pers APBN Kita edisi Februari mengungkapkan bahwa Kemenkeu telah merumuskan empat inisiatif strategis untuk meningkatkan Revenue Ratio dan mengoptimalkan penerimaan negara melalui kolaborasi sistem, pemanfaatan Big Data, regulasi, dan proses bisnis. Langkah ini mencerminkan keseriusan pemerintah dalam memperbaiki mekanisme penerimaan dengan pendekatan yang sistematis dan berbasis teknologi.

Salah satu langkah yang patut diapresiasi adalah interkonektivitas antar-core system di berbagai kementerian/lembaga dan pemanfaatan Big Data, yang memungkinkan analisis penerimaan dari sektor industri dan SDA lebih akurat sehingga kebocoran dapat diminimalisir. Transformasi Joint Program—dengan basis analisis, pengawasan, pemeriksaan, dan intelijen—juga merupakan upaya positif untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas, meskipun efektivitasnya sangat bergantung pada integritas serta kesiapan sumber daya manusia dan harmonisasi regulasi yang sering terkendala birokrasi.

Selain itu, digitalisasi perpajakan dan intensifikasi transaksi digital, baik domestik maupun internasional, memerlukan infrastruktur memadai dan kepercayaan pelaku usaha; jika tidak, sistem digital ini berpotensi menimbulkan resistensi dan masalah teknis. Intensifikasi penerimaan dari sektor SDA, terutama di industri pertambangan seperti batubara, nikel, timah, dan bauksit yang rawan sengketa terkait pajak dan royalti, harus disertai dengan penguatan regulasi dan audit yang lebih ketat.

Bagaimana Wajib Pajak Menanggapi Joint Program ?

Pendekatan bottom-up yang diusung dalam inisiatif strategis Kemenkeu menunjukkan bahwa kebijakan pajak tidak semata-mata berdasar pada asumsi, melainkan merupakan hasil analisis data mendalam. Berdasarkan Handbook Tata Kelola Inisiatif Strategis Kemenkeu For Dummies (Kemenkeu, 2022) dan melalui proses data matching sesuai Surat Edaran No. SE-05/PJ/2022 tentang Pengawasan Kepatuhan Wajib Pajak.

arget 2.000 wajib pajak badan bukanlah angka sembarangan, angka tersebut merupakan hasil penyelarasan data yang dirancang untuk menutup celah kepatuhan pajak. Namun, di balik optimisme tersebut muncul pertanyaan kritis: apakah pengawasan yang semakin ketat ini mampu menghasilkan peningkatan kepatuhan yang berkelanjutan, atau justru menimbulkan ketidakpastian dan beban administratif bagi dunia usaha?

Lebih jauh, dalam manajemen pajak, informasi merupakan sumber daya utama yang mendasari transaksi sebagai objek pemajakan. Dalam konteks penerapan Joint Program oleh Kemenkeu—khususnya melalui DJP—wajib pajak strategis dituntut untuk menerapkan tax risk management guna mengelola kepatuhan pajak secara sistematis. Salah satu langkah krusial dalam manajemen risiko pajak adalah pelaksanaan tax review atas kewajiban perpajakan yang telah dipenuhi selama periode 2020-2024.

Dengan demikian, perusahaan harus secara kritis mengevaluasi kepatuhan mereka terhadap PPh dan PPN, guna memastikan bahwa pencatatan akuntansi yang tercipta benar-benar akurat dan sesuai dengan kesepakatan para pihak.

Walaupun logika dasar strategi ini tampak sederhana—yakni, bahwa keakuratan pencatatan dan kepatuhan terhadap ketentuan perpajakan merupakan kunci untuk mengoptimalkan penerimaan negara—tetap ada kekhawatiran bahwa pengawasan yang intensif dapat berubah menjadi beban bagi pelaku usaha.

Sejauh mana pemerintah mampu mengimplementasikan inisiatif ini dengan transparansi dan efisiensi, sehingga kebijakan ini tidak hanya berhenti di atas kertas, tetapi juga memberikan dampak nyata dalam meningkatkan kepatuhan pajak dan mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan?

Tags: Defisit APBNIntensifikasi Wajib PajakJoint Program
Share61Tweet38Send
Previous Post

Peran Pajak dalam Urusan Geopolitik

Next Post

Peran Fiskal dalam Menangani Anjloknya IHSG

Muhammad Akbar Aditama

Muhammad Akbar Aditama

Tax Policy Analyst Pratama-Kreston Tax Research Institute

Related Posts

Kantor DJP. Sumber: Metro TV
Analisis

Penerimaan Pajak di Bawah Kepemimpinan Baru

21 Mei 2025
Sumber: Freepik
Analisis

Setelah Retribusi, Saatnya Kualitas Layanan Dibenahi

20 Mei 2025
Artikel

Penerapan ESG dalam Dunia Usaha Indonesia: Meningkatkan Nilai atau Beban Tambahan?

20 Mei 2025
Alert to Greenwashing - concept with text against a woodland and magnifying glass
Artikel

Mengungkap Praktik Greenwashing: Kasus Coca-Cola dan Tantangan Implementasi ESG

20 Mei 2025
Artikel

Membangun Standar Nasional Assurance Keberlanjutan

20 Mei 2025
Artikel

Implementasi Tarif PPN 12% dan Skema Nilai Lain 11/12

19 Mei 2025
Next Post
Ilustrasi turunnya saham

Peran Fiskal dalam Menangani Anjloknya IHSG

bonus demografi Indonesia dan jerat middle income trap

Bonus Demografi dan Jerat Middle-Income Trap

Indonesia Gelap

Penurunan Kepatuhan Pajak, Sinyal Indonesia Gelap ?

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Instansi Anda memerlukan jasa berupa kajian kebijakan fiskal, pajak dan retribusi daerah, penyusunan naskah akademik, ataupun jasa survei?

Atau, Perusahaan Anda membutuhkan pendampingan dalam menyusun Laporan Tahunan (Annual Report) atau Laporan Keberlanjutan (Sustainability Report)?

Konsultasikan kepada ahlinya!

MULAI KONSULTASI

Popular News

  • Jika Suami Tidak Berpenghasilan, Berapa Besarnya PTKP Istri?

    1463 shares
    Share 585 Tweet 366
  • Batas Waktu Pengkreditan Bukti Potong PPh Pasal 23

    931 shares
    Share 372 Tweet 233
  • Apakah Jasa Angkutan Umum Berplat Kuning Dikenai PPN?

    908 shares
    Share 363 Tweet 227
  • Apakah Pembelian Domain Website dikenakan PPh Pasal 23?

    753 shares
    Share 301 Tweet 188
  • Iuran BPJS dikenakan PPh Pasal 21?

    721 shares
    Share 288 Tweet 180
Copyright © 2025 PT Pratama Indomitra Konsultan

Pratama Institute

Logo Pratama Indomitra
  • Antam Office Tower B Lt 8 Jl. TB Simatupang No. 1 Jakarta Selatan Indonesia 12530
  • Phone : (021) 2963 4945
  • [email protected]
  • pratamaindomitra.co.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Konsultasi
  • Insight
    • Buletin
    • In-depth
  • Analisis
    • Artikel
    • Opini
    • Infografik
  • Publikasi
    • Buku
    • Jurnal
    • Liputan Media
  • Jasa Kami
    • Annual Report
    • Sustainability Report
    • Assurance Sustainability Report
    • Kajian Kebijakan Fiskal
    • Kajian Potensi Pajak dan Retribusi Daerah
    • Penyusunan Naskah Akademik
    • Analisis Ekonomi Makro
    • Survei
    • Konsultasi Pajak Komprehensif
  • Tentang Kami
    • Kontak Kami

© 2025 Pratama Institute - All Rights Reserved.