Setiap awal tahun, masyarakat yang memiliki NPWP mulai mencari kata kunci “SPT PPh (Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan)” dalam mesin pencari. Hal ini wajar karena mereka berkewajiban melaporkan SPT Tahunan PPh yang berakhir 31 Maret bagi Wajib Pajak Orang Pribadi (physical persons) dan 30 April bagi Wajib Pajak Badan (legal persons).
Namun, tidak sedikit Wajib Pajak yang mempertanyakan mengapa mereka masih harus melaporkan SPT, terlebih bagi WP OP yang telah dilakukan pemotongan PPh Pasal 21 oleh pemberi kerja.
Pertanyaan mengenai kewajiban pelaporan SPT PPh berkaitan dengan sistem PPh di Indonesia. Argumen dasar mengapa Wajib Pajak perlu melaporkan SPT Tahunan adalah karena sistem perpajakan Indonesia menganut self assessment sejak tahun 1984. Dalam sistem ini, otoritas pajak memberikan kewenangan kepada setiap Wajib Pajak untuk memungut, menghitung dan melaporkan secara mandiri pajak yang terutang atas penghasilan yang diterima/diperoleh dari dalam maupun luar negeri (worldwide income)
Implikasi dari kepercayaan yang diberikan tersebut adalah diperlukannya SPT Tahunan yang berfungsi sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan pajak serta melaporkannya melalui SPT Tahunan. Kewajiban tersebut sejalan dengan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) yang mengharuskan Wajib Pajak untuk mengisi SPT dengan benar, lengkap dan jelas.
Manfaat atas pelaporan SPT PPh Tahunan lebih banyak dirasakan oleh otoritas pajak sebagai dasar pengawasan kepatuhan formal Wajib Pajak (setor dan lapor SPT tepat waktu). SPT yang telah dilaporkan WP akan menjadi dasar bagi otoritas pajak dalam melakukan pengawasan kepatuhan material. Dari sisi WP, pelaporan SPT PPh Tahunan merupakan cerminan dari kepatuhan mereka dalam memenuhi ketentuan yang telah ditetapkan pemerintah dan wakil WP di DPR.
Sistem Inti Administrasi Perpajakan
Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) sebagai otoritas pajak telah melakukan reformasi perpajakan sejak tahun 2017. Pemerintah telah menerbitkan Keputusan Menteri Keuangan (KMK) No. 360/KMK.03/2017 tentang Program Reformasi Perpajakan, yang berisi lima fokus reformasi perpajakan, yaitu organisasi, sumber daya manusia, sistem informasi dan basis data, proses bisnis, dan peraturan perundang-undangan.
Sumber: DJP (PSIAP dan Penerapan NPWP 16 Digit: Sosialisasi kepada Perbankan dalam perhimpunan Perbanas, Himbara dan Asbanda, 2022)
Pembaruan Sistem Administrasi Perpajakan (PSAP) dan Pembaruan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (PSIAP) menjadi bagian dari fokus sistem informasi dan basis data dan proses bisnis di dalam pilar reformasi. Tujuan dari PSAP ini adalah menciptakan sistem administrasi perpajakan yang lebih efektif dan efisien, serta memiliki fleksibilitas yang tinggi. Sistem berbasis teknologi, informasi, dan komunikasi menggunakan big data analytics. dan setiap Wajib Pajak memiliki taxpayer account. Sistem PSAP ini akan segera dirilis ke publik pada 1 juli 2024.
Pelaksanaan PSAP dan PSIAP memiliki implikasi pada kemudahan bagi Wajib pajak dengan mendapatkan layanan berupa taxpayer account yang berisi data kewajiban perpajakan dan sejenisnya. Sementara itu, Ditjen Pajak sebagai otoritas pajak dapat mengumpulkan data Wajib Pajak dari berbagai pihak baik internal maupun eksternal Ditjen Pajak, termasuk data perbankan khususnya dari bank pemerintah (Himbara) untuk interoperabilitas DJP dengan para pihak terkait.
Sistem kerja PSIAP (prepopulated) mengumpulkan data dan informasi Wajib Pajak dari berbagi pihak dan lawan transaksi yang melaporkan Wajib Pajak melalui skema pemotongan pajak (withholding tax). Kewenangan yang dimiliki oleh Ditjen Pajak ini berlandaskan pada Pasal 35 A UU KUP sebagai suatu bentuk pengawasan kepatuhan Wajib Pajak.
Ketentuan tersebut dilaksanakan dalam rangka pengawasan kepatuhan pelaksanaan kewajiban perpajakan sebagai konsekuensi dari penerapan sistem self assessment. Data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan yang bersumber dari instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain (ILAP) sangat diperlukan oleh Ditjen Pajak untuk memvalidasi kepatuhan mereka.
Tren Kepatuhan Penyampaian SPT Tahunan
Ditjen Pajak dalam Laporan Tahunan DJP 2022 mencatat bahwa tren rasio kepatuhan penyampaian SPT Tahunan terus mengalami peningkatan sejak tahun 2018. Kepatuhan penyampaian SPT Tahunan ini termasuk dalam kepatuhan formal.
Sebagai informasi, rasio kepatuhan formal merupakan perbandingan antara jumlah SPT Tahunan pajak penghasilan (PPh) yang diterima dalam suatu tahun pajak tertentu dibandingkan dengan jumlah wajib pajak terdaftar wajib SPT pada awal tahun.
Rasio kepatuhan Penyampaian SPT PPh Tahunan 2018 – 2022
Uraian | 2018 | 2019 | 2020 | 2021 | 2022 |
Wajib Pajak terdaftar Wajib SPT Tahunan PPh | 17.653.046 | 18,334,683 | 19.006.794 | 19.002.585 | 19.075.197 |
Jumlah SPT Tahunan PPh yang disampaikan | 12.551.444 | 13,394,502 | 14.755.255 | 15.976.387 | 16.556.75 |
Rasio Kepatuhan SPT Tahunan Wajib Pajak | 71,10% | 73.06% | 77,63% | 84,07% | 86,80% |
Sumber : Laporan Tahunan DJP edisi 2018 – 2022
Dari segi kepatuhan pajak formal, tampak bahwa terjadi peningkatan kepatuhan dari tahun ke tahun. Hal ini menunjukkan adanya peningkatan kesadaran wajib pajak di dalam pelaporan SPT Tahunan. Sementara itu, kepatuhan material (berkaitan dengan kesesuaian dalam penyetoran pajak terutang dan pelaporannya agar sesuai kondisi fakta yang sebenarnya) tidak cukup dengan mengacu pada data pelaporan SPT melainkan harus melalui pemeriksaan.
Nah, agar kepatuhan formal dan material sejalan, Sobat Pratama jangan lupa untuk melaporkan SPT Tahunan sebelum batas waktu pelaporannya berakhir (31 Maret) sekaligus melakukan pengisian data-data SPT dengan benar, lengkap dan jelas ya!