Kompas | 7 Juli 2023
Lambang Wiji Imantoro (Tax Policy Analyst di Pratama Institute for Fiscal Policy and Governance Studies)
Populasi kalangan superkaya (”crazy rich”) di Indonesia terus bertambah setiap tahun. Namun, walaupun perekonomian Indonesia terus bertumbuh, tidak demikian halnya dengan pertumbuhan setoran pajak kelompok ”crazy rich”.
Dalam rilis laporan berjudul ”The Wealth Report Segment Wealth Sizing Model” terbitan Knight Frank Global belum lama ini, Indonesia menempati urutan tiga teratas di kawasan Asia untuk urusan peningkatan jumlah ultrahigh net worth individual (UHNWI) tercepat. Menurut Knight Frank Global, UHNWI atau crazy rich adalah orang pribadi yang memiliki kekayaan minimal mencapai 30 juta dollar AS atau Rp 447,1 miliar.
Dalam laporan itu, bersama Malaysia dan Singapura, Indonesia menjadi negara dengan pertumbuhan UHNWI tercepat di Asia, yaitu 7-9 persen. Knight Frank Global juga memprediksikan jumlah crazy rich di Indonesia menjadi 651 orang atau tumbuh 17,1 persen pada 2027.
Sepanjang 2022, kelompok wajib pajak orang pribadi (WP OP) yang masuk kategori kelompok crazy rich di Indonesia terus bertambah hingga mencapai 556 orang yang angkanya meningkat dari tahun sebelumnya.
Kontribusi pajak minim
Bagaimana kontribusi WP OP crazy rich untuk penerimaan pajak? Pertumbuhan setoran pajak dari kelompok crazy rich berbanding terbalik dengan perekonomian Indonesia yang terus bertumbuh. Direktur Pratama Kreston Tax Research Institute Prianto Budi Saptono menyatakan, jumlah UHNWI masih sangat kecil, belum sebanding dengan jumlah WP OP lain.
Berdasarkan Laporan Tahunan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) 2022, dari total WP yang terdaftar (66,35 juta), jumlah UHNWI hanya 556 orang. Sisanya 61,53 juta atau 92,74 persen merupakan WP OP biasa. Artinya, jumlah UHNWI hanya setara dengan 0,0009 persen dari keseluruhan WP OP.
Kinerja penerimaan pajak sampai akhir Mei 2023 menunjukkan bahwa penerimaan pajak dari UHNWI yang datanya dihitung dan dihimpun dari penerimaan Pajak Penghasilan (PPh 21) dan PPh OP menunjukkan kontribusi dari kelompok UHNWI terhadap penerimaan pajak hanya 0,00011 persen dari total target penerimaan pajak.
Meski jumlah crazy rich diprediksi naik pada 2027, berdasarkan hitung-hitungan sederhana, jumlah kontribusi penerimaan pajak dari kelompok UHNWI hanya 0,00013 persen pada 2027.
Menuntut pajak berkeadilan
Jika kriteria Knight Frank Global menyatakan crazy rich ialah segolongan orang yang memiliki kekayaan sekitar Rp 447 miliar, jumlah crazy rich di Indonesia tergolong sangat sedikit.
Langkah awal yang dapat dilakukan oleh pemerintah ialah dengan menambah tarif PPh baru. Sampai saat ini, tarif tertinggi PPh yang dikenakan pada WP OP masih di angka 35 persen untuk golongan WP OP berpenghasilan di atas Rp 5 miliar.
Untuk itu, kriteria paling rasional agar UHNWI bisa dipajaki dengan mudah dan kontribusinya terhadap penerimaan pajak berdampak signifikan adalah dengan mengenakan tarif pajak yang lebih tinggi pada kalangan crazy rich yang memperoleh penghasilan kena pajak di atas Rp 5 miliar.
Data yang disunting dari wisevoter.com berjudul ”Highest Taxed Countries” menempatkan Indonesia pada urutan 150 dari 172 negara. Tax burden Indonesia hanya 9,47 persen, bandingkan dengan Denmark yang tax burden-nya mencapai 46 persen dengan tarif PPh tertingginya mencapai 56 persen.
Tax burden adalah jumlah semua beban pajak atau dampak pajak terhadap total penghasilan yang diperoleh WP dan dianggap dapat mengurangi kuantitas kekayaan WP.
Cara yang umum untuk mengukur tax burden adalah dengan menggunakan persentase pajak terhadap pendapatan. Misalnya, jika pendapatan tahunan Rp 50 juta dan harus membayar pajak Rp 5 juta, beban pajak mereka adalah 10 persen dari pendapatan mereka.
Tax burden yang tinggi inheren dengan kesejahteraan. Legatum Institute mencatat bahwa daftar tujuh negara dengan indeks kemakmuran tertinggi di dunia dihuni oleh negara dengan tax burden tinggi, di antaranya Denmark, Swedia, dan Norwegia. Padahal, mereka bukanlah negara-negara dengan produk domestik bruto (PDB) bernilai tambah sumber daya alam tinggi seperti negara Timur Tengah, apalagi Indonesia.
Bagaimana jika tarif PPh yang lebih tinggi diterapkan di Indonesia? Tentu masih belum lekang di ingatan, berapa banyak UHNWI yang terseret dalam kasus Panama Papers hingga Pandora Papers? Tidak hanya menyeret UHNWI, kasus ini juga menyeret para pejabat publik kita yang kekayaannya sudah bisa dikategorikan sebagai UHNWI.
Sebagai catatan, kasus ini terjadi tahun 2016, jauh sebelum Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) disahkan. Saat itu tarif tertinggi PPh masih 30 persen.
Penghindaran pajak ”crazy rich”
Dari kasus Panama Papers dan Pandora Papers dapat disimpulkan bahwa masih banyak UHNWI, bahkan pejabat negara, yang ogah membayar pajak.
Wajarlah jika ketimpangan begitu terasa di Indonesia. Disparitas distribusi pendapatan yang tinggi kian hari kian terlihat nyata. Laporan Deutsche Welle menempatkan Indonesia di urutan keempat negara dengan indeks ketimpangan tertinggi di dunia. Menurut mereka, setengah aset di Indonesia dikuasai hanya oleh 1 persen orang terkaya dengan kesenjangan mencapai 49 persen.
Padahal, pajak ini menjadi instrumen penting untuk mencapai keadilan sosial. Oleh karena itu, diperlukan inisiatif semacam penerapan pajak yang lebih tinggi kepada kalangan UHNWI.
Pajak yang dipungut wajib dialokasikan untuk keperluan pembiayaan program-program sosial, layanan kesehatan, pemerataan pendidikan, perlindungan sosial, atau untuk membiayai pembangunan infrastruktur yang inheren dengan tujuan menciptakan pemerataan dan stabilitas ekonomi jangka panjang.
Semuanya perlu dilakukan untuk memastikan setiap anggota masyarakat memiliki kesempatan yang sama dalam mengakses kehidupan yang layak tanpa pengecualian. Ketika para UHNWI dikenai tarif pajak yang lebih tinggi, kekayaan mereka dapat dialihkan dan didistribusikan kembali pada golongan masyarakat pra-sejahtera.
Namun, kebijakan ini bukan tanpa celah. Pajak yang tinggi, terutama jika diterapkan pada golongan UHNWI, dapat menghambat laju investasi dan perekonomian. Sudah jadi rahasia umum jika banyak perusahaan besar dimiliki oleh para crazy rich. Mayoritas saham di sektor publik juga dimiliki crazy rich. Namun, bukankah meniadakan kesenjangan dan mewujudkan ekonomi berkeadilan merupakan tanggung jawab kolaboratif antara pemerintah dan individu?
Dalam sistem pajak yang adil, tarif pajak biasanya meningkat seiring dengan tingkat pendapatan atau kekayaan individu. Jika tarif pajak untuk orang kaya masih ringan, bahkan jika mereka memiliki akses yang lebih besar ke skema penghindaran pajak yang legal, ini bisa memperburuk ketimpangan sosial.
Ketika orang kaya dikenai pajak yang lebih rendah dari yang seharusnya, mereka memiliki lebih banyak sumber daya untuk mempertahankan dan meningkatkan kekayaan mereka. Sementara golongan miskin dan menengah harus menanggung akibat dari pajak yang tinggi dan mereka pastilah golongan yang tak memiliki sumber daya untuk melakukan penghindaran pajak secara legal.
Penting bagi pemerintah untuk menciptakan instrumen kebijakan yang berorientasi pada keadilan dan keseimbangan. Mengimplementasikan kebijakan pajak yang bijaksana dan proporsional akan membantu meminimalkan ketimpangan sosial. Dengan komitmen membayar pajak secara proporsional, semua orang pasti bisa mendapatkan akses kehidupan yang layak tanpa pengecualian, apalagi memandang status sosial.
Wahai para crazy rich, bantulah utopia mereka menjadi nyata!