Dalam beberapa tahun terakhir, konsep Environmental, Social, and Governance (ESG) menjadi sorotan dalam praktik bisnis global, termasuk di Indonesia. ESG tidak lagi dipandang sebagai kewajiban etika semata, melainkan telah menjadi salah satu pertimbangan penting dalam pengambilan keputusan investasi dan strategi perusahaan jangka panjang. Namun, apakah penerapan ESG benar-benar berdampak positif terhadap nilai perusahaan di Indonesia?
ESG merupakan pendekatan menyeluruh yang mencakup tiga aspek utama: lingkungan (environmental), sosial (social), dan tata kelola perusahaan (governance). Ketiganya menjadi indikator penting untuk menilai sejauh mana perusahaan bertanggung jawab terhadap lingkungan, memperhatikan kepentingan sosial, serta menjalankan praktik bisnis yang etis dan transparan.
Seiring meningkatnya kesadaran masyarakat dan investor terhadap keberlanjutan, laporan keberlanjutan yang memuat indikator ESG mulai banyak diungkapkan oleh perusahaan di berbagai negara, termasuk Indonesia. Perusahaan yang memiliki skor ESG tinggi diyakini memiliki kemampuan lebih baik dalam mengelola risiko jangka panjang, meningkatkan reputasi, dan menarik minat investor yang berorientasi pada dampak sosial dan lingkungan.
Meski tren ESG di Indonesia menunjukkan peningkatan, kenyataannya pengungkapan dan pelaksanaannya masih tergolong rendah. Dari 713 perusahaan yang tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada tahun 2020, hanya 98 perusahaan (sekitar 13,74%) yang menerbitkan laporan keberlanjutan. Dari penelitian yang dilakukan terhadap 45 perusahaan selama periode 2018–2020, nilai rata-rata ESG hanya mencapai 24,7 persen. Hal ini mencerminkan bahwa mayoritas perusahaan belum sepenuhnya mengintegrasikan prinsip ESG ke dalam model bisnis mereka.
Penelitian yang dilakukan oleh Jeanice dan Sung Suk Kim (2023) bertujuan untuk mengetahui pengaruh penerapan ESG terhadap nilai perusahaan di Indonesia, yang diukur menggunakan dua indikator keuangan, yaitu Return on Equity (ROE) dan Price to Book Value (PBV). Hasil penelitian ini memberikan wawasan penting terkait efektivitas penerapan ESG dalam konteks negara berkembang seperti Indonesia.
Penelitian tersebut mengungkap hasil yang cukup mengejutkan. Dalam model empiris pertama, ditemukan bahwa ESG memiliki pengaruh negatif dan signifikan terhadap ROE. Artinya, perusahaan yang memiliki skor ESG lebih tinggi justru menunjukkan tingkat pengembalian ekuitas yang lebih rendah. Sedangkan dalam model empiris kedua, ESG tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap PBV.
Fakta ini mengindikasikan bahwa penerapan ESG di Indonesia belum mampu berkontribusi secara langsung terhadap peningkatan nilai pasar perusahaan. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh beberapa faktor, seperti masih rendahnya apresiasi masyarakat terhadap praktik keberlanjutan, dominasi konsumen yang sensitif terhadap harga, serta tingginya biaya implementasi program ESG yang belum sebanding dengan keuntungan jangka pendek yang diperoleh.
Penelitian tersebut juga menyoroti adanya perbedaan konteks antara negara maju dan negara berkembang. Di negara-negara maju, praktik ESG lebih diapresiasi oleh publik dan investor, sehingga memberikan insentif yang lebih besar bagi perusahaan untuk menjalankan tanggung jawab sosial dan lingkungan secara serius. Sementara itu, di negara berkembang seperti Indonesia, ESG belum dianggap sebagai faktor utama dalam pengambilan keputusan bisnis dan investasi.
Sebagian besar konsumen di Indonesia masih memprioritaskan harga dan kualitas produk dibandingkan rekam jejak perusahaan dalam menjalankan tanggung jawab sosialnya. Hal ini menjadikan ESG lebih sebagai beban tambahan dibandingkan keuntungan kompetitif. Jika biaya yang dikeluarkan untuk ESG lebih besar dari manfaat yang dirasakan dalam jangka pendek, maka profitabilitas perusahaan pun bisa terdampak negatif.
Walaupun hasil penelitian menunjukkan bahwa ESG belum berdampak positif terhadap nilai perusahaan, bukan berarti penerapan ESG menjadi sia-sia. Sebaliknya, hasil ini justru menekankan pentingnya perbaikan dan penguatan strategi ESG agar benar-benar selaras dengan tujuan bisnis jangka panjang.
Perusahaan tetap perlu meningkatkan kualitas pelaporan keberlanjutan dan menyelaraskannya dengan kebutuhan pemangku kepentingan. Pemerintah juga diharapkan dapat memberikan insentif dan regulasi yang mendorong praktik ESG secara lebih luas dan efektif, baik di sektor finansial maupun nonfinansial.
Lebih dari itu, edukasi publik mengenai pentingnya keberlanjutan dan tanggung jawab sosial perusahaan perlu ditingkatkan agar tercipta permintaan pasar yang mendukung praktik ESG. Ketika konsumen, investor, dan masyarakat umum mulai menghargai dan menuntut tanggung jawab sosial dari perusahaan, maka ESG akan menjadi investasi jangka panjang yang menguntungkan, bukan sekadar beban.
Penerapan ESG di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan, mulai dari rendahnya tingkat pengungkapan, apresiasi publik yang minim, hingga dampak finansial yang belum signifikan. Penelitian oleh Jeanice dan Sung Suk Kim menunjukkan bahwa ESG belum mampu meningkatkan nilai perusahaan secara langsung dalam konteks Indonesia. Namun, ini bukan alasan untuk meninggalkan ESG, melainkan dorongan untuk memperbaikinya.
Perusahaan perlu menjadikan ESG sebagai bagian integral dari strategi bisnis yang tidak hanya untuk memenuhi tuntutan formal, tetapi juga sebagai upaya nyata dalam membangun kepercayaan publik, menjaga keberlanjutan lingkungan, dan memperkuat posisi kompetitif dalam jangka panjang.