Penulis: Gustofan Mahmud, S.Pd., M.Sc (Economic Policy Analyst of Pratama Institute for Fiscal Policy & Governance Studies)
Permasalahan kapasitas fiskal pemerintah daerah di Indonesia dalam mengumpulkan pendapatan daerah setelah desentralisasi fiskal merupakan hal yang penting untuk dianalisis. Sayangnya, sebagian besar literatur cenderung mengabaikan isu ini.
Selama ini para pengambil kebijakan dan akademisi menilai pemerintah daerah di Indonesia hanya mengandalkan transfer sebagai sumber utama pendapatan daerah tanpa meningkatkan pendapatan daerahnya secara mandiri.
Stigma seperti ini akan menghambat pencapaian tujuan utama penerapan otonomi fiskal di Indonesia, yaitu menciptakan kemandirian keuangan pemerintah daerah. Untungnya, bersama dengan Lewis (2005) dan Lewis dan Smoke (2015), temuan kami menolak pandangan terkait efek disinsentif transfer terhadap upaya memperoleh pendapatan daerah. Oleh karena itu, perlu ditegaskan kembali kepada pemerintah bahwa transfer yang dialokasikan ke daerah dapat menstimulasi penerimaan pajak daerah dengan meningkatkan kapasitas fiskal untuk membiayai belanja pelayanan publik daerah.
Selain itu, mendukung pemerintah daerah secara finansial untuk memenuhi kebutuhan konstituennya sangat penting untuk meningkatkan akuntabilitas pemerintah daerah dan membangun kepercayaan masyarakat. Dalam hal ini, kami menekankan pentingnya peran transfer antar pemerintah untuk meningkatkan kapasitas fiskal pemerintah daerah.
Selain itu, hasil penelitian kami di Indonesia berkontribusi pada diskusi mengenai desain sistem transfer antar pemerintah yang tepat, khususnya di negara-negara berkembang. Alokasi hibah pusat berdasarkan kinerja fiskal sering disebut-sebut sebagai cara efektif untuk memberikan insentif disiplin fiskal yang memadai kepada pemerintah daerah. Asumsi tersirat dari pernyataan tersebut adalah bahwa transfer pemerintah pusat mengurangi upaya pengumpulan pajak pemerintah daerah. Kami menekankan bahwa hal ini tidak terjadi di Indonesia dan transfer antar pemerintah mendorong pendapatan pajak daerah.
Selain itu, berdasarkan temuan kami, kami juga harus menekankan bahwa DAU harus dipertimbangkan secara lebih cermat untuk mengatasi ketidakseimbangan fiskal vertikal di Indonesia.
Selain potensi dampak insentif terhadap pendapatan asli daerah, transfer DAU di Indonesia lebih mudah dilakukan secara transparan dan tidak rentan terhadap diskresi dan manipulasi dibandingkan transfer yang didasarkan pada formula lain yang lebih kompleks. Seperti yang diamati di Ghana (Banful 2011) dan Senegal (Caldeira 2012), kompleksitas formula yang digunakan dalam mekanisme alokasi hibah cenderung meningkatkan risiko penangkapan politik. Terakhir, kami ingin menekankan bahwa penelitian tambahan diperlukan untuk menentukan apakah Indonesia merupakan pengecualian atau apakah temuan kami berlaku untuk negara-negara berkembang secara umum.