Tax Research Institute | 20 Februari 2023
Penulis: Intan Pratiwi (Analis Kebijakan Pajak Pratama-Kreston Tax Research Institute)
Setelah 12 tahun tidak pernah mencapai target penerimaan pajak, pada 2021 lalu pertama kalinya Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) mencapai target penerimaan. Berdasarkan data per 26 Desember 2021, realisasi penerimaan pajak sudah tembus Rp1.231,87 triliun atau 100,19% dari target APBN Rp1.229,6 triliun. Menteri Keuangan menyatakan, target penerimaan pajak 2021 memang diturunkan 3,05% atau sekitar Rp38,9 triliun pada APBN 2021 dari nilai yang direncanakan sebelumnya.
Salah satu problem yang selama ini dihadapi Ditjen Pajak adalah penghindaran pajak (tax avoidance) dan penggelapan pajak (tax evasion). Menurut analisis Tax Justice Network (2020), Indonesia mengalami kerugian akibat tax avoidance hingga US$4,86 miliar per tahun atau sekitar Rp68,7 triliun.
Sementara itu, pemerintah mencatat total potensi pajak yang hilang karena peraturan yang dinilai memberikan celah untuk melakukan tax avoidance mencapai Rp3,8 triliun. Hal ini berdasarkan data hasil identifikasi kasus tax avoidance 2014-2020 yang berkaitan dengan implementasi Pasal 18 UU Pajak Penghasilan (PPh) terkait hubungan istimewa.
Problemnya, ketentuan yang tertuang dalam Pasal 18 UU PPh belum cukup ampuh menyetop praktik tax avoidance. Lantaran ketentuan tersebut hanya mengatur pembatasan pembebanan bunga (thin cap), controlled foreign company (CFC), dan transfer mispricing dan penggunaan special purpose company di negara tax havens.
Bukti lain menurut Menteri Keuangan, banyak perusahaan di Indonesia melakukan praktik double book keeping, yaitu memberikan laporan yang berbeda kepada bank, OJK, dan kantor pajak. Hal ini mengindikasikan, Wajib Pajak memiliki niat untuk melakukan upaya tax avoidance atau tax evasion.
Pandora Papers dan Tax Havens
Pandora Papers, laporan investasi yang dilakukan International Consortium of Investigative Journalists (ICIJ), belum lama ini mengungkap kurang lebih 12 juta dokumen yang berisikan informasi soal akun offshore rahasia yang diduga merupakan akun tempat aset hasil tax evasion. ICIJ memperkirakan total uang yang tersembunyi secara offshore sekitar US$5,6 triliun hingga US$32 triliun atau sekitar Rp7.952 triliun hingga Rp454.400 triliun.
Hitungan Dana Moneter Internasional (IMF), pemanfaatan wilayah tax havens membuat pemerintah dunia mengalami kehilangan potensi pajak hingga US$600 miliar atau sekitar Rp8.400 triliun per tahun.
Negara tax havens adalah wilayah tanpa tarif pajak atau dengan tarif pajak yang rendah. Negara/yurisdiksi tersebut, menjadi ‘biang kerok’ bagi masalah pajak di negara/yurisdiksi lainnya. Hal ini karena negara tax havens menawarkan beberapa keuntungan dengan cara menghindari pajak.
Ketidakberdayaan mengejar pengemplang pajak luar negeri menjadi penyebab Ditjen Pajak merestrukturisasi organisasi untuk mengatasi keterbatasan. Dengan restrukturisasi organisasi ini, diharapkan kapasitas dan kapabilitas Ditjen Pajak untuk menghadapi tantangan dalam administrasi perpajakan internasional semakin meningkat.
Subdirektorat Forensik dan Barang Bukti
Pada 2016, Direktorat Penegakan Hukum membentuk Subdirektorat Forensik dan Barang Bukti sebagai upaya untuk memberantas tax evasion. Targetnya, menganalisis indikasi kejahatan perpajakan. Subdirektorat baru ini diharapkan mampu membantu posisi Ditjen Pajak mengejar praktik tax avoidance atau tax evasion terutama di babak pembuktian dan pengesahan kasus.
Subdirektorat Forensik perlu memanfaatkan peran akuntan forensik untuk memenangkan perkara dalam kasus tax evasion. Peranan akuntansi forensik diharapkan dapat meningkatkan kapasitas Ditjen Pajak dalam mengejar dugaan praktik tax avoidance. Akuntan forensik melakukan praktik investigasi atas kasus Pandora Papers terkait pembuatan perusahaan cangkang di negara-negara tax havens.
Strategi Ditjen Pajak dalam dunia forensik dimulai dengan membentuk Subdirektorat Forensik dan Barang Bukti yang melaksanakan fungsi berkenaan dengan forensik digital perpajakan serta melakukan pengelolaan barang bukti dan tahanan. Hal ini kemudian diatur dalam Surat Edaran Dirjen Pajak No. 36/PJ/2017 tentang Pedoman Forensik Digital untuk Kepentingan Perpajakan.
Forensik digital pada Ditjen Pajak juga bertugas mengaudit dan menegakkan hukum perpajakan. Alur pemeriksaan forensik digital diawali dengan identifikasi dan pengumpulan bukti yang kemudian dilanjutkan dengan investigasi digital hingga mendapatkan bukti untuk persidangan. Ahli forensik digital yang terlibat dalam pemeriksaan juga dapat menjadi saksi ahli di persidangan.
Data OECD tentang Fighting Tax Crime di berbagai negara menyatakan, pemeriksa kejahatan pajak harus mengumpulkan barang bukti dalam bentuk digital secara forensik. Di Italia, jika pemeriksa pajak menemukan indikasi mencurigakan terkait operasi keuangan maka Unit Intelijen Keuangan (UIF) akan menginvestigasi dugaan kasus tersebut.
Badan Pajak Nasional Jepang memiliki penyelidik pajak kriminal yang berbasis di Departemen Investigasi Kriminal. Kemudian, Singapura juga memiliki petugas khusus yang berwenang untuk menyelidiki kejahatan di bidang perpajakan.
Sejarah mencatat, kasus tax avoidance dan tax evasion di dunia pernah diberantas oleh akuntan forensik. Di Kanada (1817), hasil audit akuntansi forensik sudah dijadikan alat pembuktian di pengadilan dalam kasus Meyer v. Sefton yang terkait dengan kebangkrutan sebuah usaha perkebunan. Hal ini menjadi awal mula akuntan forensik menjadi saksi ahli di pengadilan. Ketentuan mengenai saksi ahli di Indonesia diatur di Pasal 1 angka 28 KUHAP.
Pada 1930, Bureau of International Revenue Amerika Serikat (IRS), menunjuk seorang akuntan forensik yaitu Frank J Wilson untuk melakukan investigasi atas dugaan tax avoidance oleh mafia Al Capone. Wilson dan tim melakukan pemeriksaan terhadap dua juta lembar dokumen Al Capone, melakukan interview, melakukan penyamaran dan penyadapan, dan mencari bookkeeper untuk melakukan pemeriksaan buku besar. Akhirnya, terbukti bahwa Al Capone terlibat dalam kasus tax evasion untuk tahun fiskal 1924-1929.
Wilson dan tim menginvestigasi Al Capone selama berbulan-bulan. Hasilnya Al Capone terbukti mempunyai penghasilan di atas PTKP dan harus membayar pajak karena kalah di persidangan. Kasus di atas membuktikan peran akuntan forensik yang mampu mengungkap kasus tax avoidance.
Problem sistematik terkait penerimaan pajak masih menjadi ‘momok’ bagi Ditjen Pajak sehingga keberadaan Subdirektorat Forensik dan Barang Bukti menjadi penting. Era digitalisasi yang semakin canggih berimbas pada pola kejahatan pajak (tax crime) yang juga semakin canggih.
Untuk itu, Ditjen Pajak perlu meng-upgrade para pegawai pajak dengan kemampuan forensik digital agar negara tidak kehilangan potensi penerimaan pajak. Pada kejahatan di bidang keuangan (financial crime), akuntansi forensik dinilai ampuh dalam menginvestigasi dan mendeteksi kecurangan. Oleh karena itu, peran akuntansi forensik pada Subdirektorat Ditjen Pajak yang baru diharapkan mampu mengungkap kasus tax evasion dan tax avoidance sehingga 100% target penerimaan pajak dapat terus tercapai kedepannya.