Pada tanggal 2 April 2025, Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengumumkan kebijakan tarif impor besar-besaran yang ia sebut sebagai “Hari Pembebasan” (Liberation Day). Dalam pidatonya di Taman Mawar Gedung Putih, Trump menandatangani Executive Order 14257 yang menetapkan tarif dasar 10% untuk hampir semua impor ke AS, kecuali dari Kanada dan Meksiko.
Selain itu, diberlakukan tarif tambahan yang lebih tinggi untuk sekitar 60 negara berdasarkan apa yang disebut sebagai praktik perdagangan tidak adil. Dimana Indonesia masuk kedalam daftar tersebut dengan tarif tambahan sebesar 32%.
Sebelum diterapkannya “tarif Trump” ini, tarif impor Amerika Serikat (AS) terhadap produk-produk dari Indonesia bervariasi tergantung pada jenis barang dan perjanjian perdagangan yang berlaku. Secara umum, Indonesia menikmati tarif yang relatif rendah untuk banyak produk ekspornya ke AS, terutama karena statusnya sebagai negara berkembang dan partisipasinya dalam program Generalized System of Preferences (GSP).
Program GSP memberikan preferensi tarif nol atau rendah untuk berbagai produk dari negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Pada tahun 2023, Indonesia bahkan menjadi penerima manfaat terbesar dari program GSP ini dengan nilai ekspor mencapai USD 3,56 miliar.
Namun, besarnya tarif resiprokal (timbal balik) yang dikenakan AS untuk Indonesia adalah respons terhadap kebijakan perdagangan Indonesia yang dianggap tidak adil oleh pemerintah AS. Penerapan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) di berbagai sektor, rezim perizinan impor yang kompleks, menjadi beberapa kebijakan Indonesia yang menjadi sorotan AS.
Selain itu, tarif tinggi juga dikenakan Indonesia terhadap produk etanol asal AS, yakni sebesar 30%, sementara AS hanya mengenakan tarif 2,5% untuk produk serupa dari Indonesia. Kebijakan seperti kewajiban perusahaan sumber daya alam untuk memindahkan semua pendapatan ekspor ke dalam negeri untuk transaksi senilai USD 250.000 atau lebih juga dinilai tidak adil oleh AS.
Dampak dari kebijakan ini dirasakan oleh sektor-sektor ekspor utama Indonesia, seperti tekstil, alas kaki, dan minyak nabati, yang sangat bergantung pada pasar AS. Penerapan tarif ini berpotensi mengancam kelangsungan industri padat karya di Indonesia dan meningkatkan risiko pemutusan hubungan kerja.
Melihat dampak yang mungkin terjadi, bagaimana strategi pemerintah Indonesia dalam menanggapi kebijakan tarif resiprokal AS ini?
Respon ASEAN
Pemerintah Indonesia bersama negara-negara ASEAN saat ini sedang menjajaki negosiasi dengan Amerika Serikat terkait kebijakan tarif bea masuk resiprokal yang diberlakukan oleh pemerintahan Presiden Donald Trump. Kebijakan tersebut menetapkan tarif bea masuk sebesar 32% hingga 49% untuk enam dari sembilan negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan tarif yang dikenakan kepada Uni Eropa (20%), Jepang (24%), dan India (27%). Meskipun demikian, pelaksanaannya ditunda selama 90 hari guna memberi ruang bagi proses diplomasi.
Alih-alih mengambil langkah retaliasi (memberi tarif balasan), ASEAN memilih untuk mengedepankan pendekatan dialog konstruktif dengan Amerika Serikat. Dalam pernyataan bersama, para menteri ekonomi ASEAN menegaskan komitmen mereka terhadap sistem perdagangan multilateral yang adil dan berbasis aturan. Indonesia sendiri menunjukkan respons proaktif dengan mengirimkan delegasi tingkat tinggi yang dipimpin oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto ke Washington. Delegasi ini membawa penawaran kerja sama yang mencakup peningkatan impor barang-barang dari AS seperti kapas, gandum, minyak, dan gas, serta pelonggaran hambatan non-tarif dan pemangkasan pajak atas produk-produk AS.
Salah satu langkah konkret lainnya adalah revitalisasi Trade and Investment Framework Agreement (TIFA) dengan AS, yang telah berlaku sejak 1996. Pemerintah berupaya melakukan deregulasi terhadap berbagai hambatan Non-Tariff Measures (NTMs) melalui relaksasi TKDN.
Dalam acara Sarasehan Ekonomi di Jakarta pada 8 April 2025, Presiden Prabowo Subianto menekankan pentingnya fleksibilitas dalam penerapan TKDN. Menurutnya, meskipun tujuan awal TKDN adalah untuk mendorong nasionalisme dan memperkuat industri dalam negeri, penerapan yang terlalu kaku dapat menghambat daya saing Indonesia di pasar global.
Strategi Fiskal dari Pemerintah
Dari sisi fiskal, penurunan ekspor berdampak pada berkurangnya penerimaan negara dari bea keluar dan pajak ekspor. Hal ini menambah tekanan terhadap anggaran negara, terutama dalam upaya menjaga defisit fiskal. Chairul Tanjung, pengusaha dan mantan Menteri Koordinator Perekonomian, menyatakan bahwa dampak tidak langsung dari tarif resiprokal AS cukup besar terhadap fiskal pemerintah dan berisiko menyebabkan PHK besar-besaran.
Secara umum, Tarif bea masuk yang dikenakan Indonesia terhadap barang impor dari Amerika Serikat (AS) bervariasi tergantung pada jenis produk dan klasifikasi tarif. Tarif bea masuk Indonesia untuk produk asal AS berkisar antara 5% hingga 10%. Namun, sebagai respons terhadap kebijakan tarif resiprokal sebesar 32% yang diberlakukan oleh AS terhadap produk Indonesia, Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam sarasehan ekonomi bersama presiden RI pada 9 April 2025 berencana menurunkan tarif bea masuk tersebut menjadi 0% hingga 5%.
Selain bea masuk, barang impor dari AS juga dikenakan pajak lainnya, seperti Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 11% dan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 impor yang sebelumnya sebesar 2,5% (dengan NPWP) atau 7,5% (tanpa NPWP). Pemerintah Indonesia juga berencana menurunkan tarif PPh Pasal 22 impor untuk produk-produk tertentu, seperti barang elektronik, ponsel, dan laptop, dari 2,5% menjadi 0,5%.
Langkah-langkah ini diambil sebagai bagian dari strategi pemerintah Indonesia untuk menjaga stabilitas ekonomi dan hubungan dagang dengan AS, serta untuk mengurangi beban yang ditanggung oleh pelaku usaha dalam negeri akibat kebijakan tarif resiprokal yang diterapkan oleh AS.
Penulis: Muhammad Rizqi Mardhi
Editor: Lambang Wiji Imantoro