Pada 10 Februari 2025, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Komisi XI DPR RI mengadakan Rapat Dengar Pendapat (RDP) tertutup selama empat jam untuk membahas permasalahan dalam implementasi Core Tax Administration System (CTAS). Rapat ini menghasilkan tuntutan dari DPR agar DJP menyusun roadmap implementasi yang jelas dengan pendekatan mitigasi risiko, dengan tujuan utama mempermudah pelayanan bagi wajib pajak. Permintaan ini muncul akibat berbagai kegagalan teknis, rendahnya adaptasi wajib pajak, serta menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap sistem pajak baru ini.
Sejak soft launching pada Januari 2025, CTAS mengalami berbagai hambatan operasional serius, mulai dari gangguan sistem, kegagalan dalam pelaporan pajak, perhitungan pajak yang tidak akurat, hingga masalah keamanan data. Banyak wajib pajak melaporkan ketidakmampuan mengakses dan mengirimkan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) akibat crash pada server serta ketidaksinkronan data antara sistem lama dan infrastruktur baru. Akibatnya, sebagian wajib pajak korporasi terpaksa kembali ke pelaporan manual, yang mencederai tujuan utama digitalisasi perpajakan. Situasi ini memunculkan pertanyaan serius tentang kesiapan teknis CTAS serta absennya kerangka transisi yang kuat.
Melihat kegagalan yang berulang ini, kebutuhan akan roadmap implementasi yang terstruktur dan bertahap menjadi semakin mendesak. Penerapan CTAS seharusnya dilakukan secara bertahap dan segmentasi, bukan sekaligus, agar otoritas pajak dan wajib pajak memiliki waktu untuk beradaptasi sebelum sistem ini diberlakukan secara penuh. Contoh terbaik dapat dilihat dari Otoritas Pajak Singapura (IRAS) dan Kantor Pajak Australia (ATO), yang menerapkan sistem digitalisasi pajak secara bertahap, memberikan waktu transisi yang cukup, mengedukasi wajib pajak, serta melakukan pengujian sistem sebelum diterapkan sepenuhnya.
Perlunya Roadmap Bertahap dan Sistem yang Stabil
Berdasarkan pengalaman dari negara lain, implementasi sistem pajak digital yang sukses tidak dilakukan secara terburu-buru, tetapi melalui pendekatan bertahap yang memungkinkan pengujian sistem secara optimal. Dalam kasus CTAS, banyak kendala teknis yang membuat sistem ini justru menghambat pelaporan pajak dan kepatuhan wajib pajak. Oleh karena itu, DJP perlu menjalankan uji coba sistem dalam skala kecil terlebih dahulu, misalnya dengan mengimplementasikan CTAS pada wajib pajak korporasi besar sebelum diterapkan ke UMKM dan individu.
Singapura telah membuktikan bahwa sistem pajak digital yang sukses harus melalui uji coba bertahap sebelum penerapan penuh, sehingga setiap kelemahan sistem dapat diperbaiki sebelum berdampak luas. Indonesia perlu meniru pendekatan ini agar sistem CTAS tidak malah membebani wajib pajak. Selain itu, perubahan yang terlalu drastis tanpa mempertimbangkan kesiapan pengguna dapat mengganggu penerimaan pajak.
Baca juga : Efektivitas Regulasi dalam Kebijakan Implementasi CTAS
Pendekatan yang lebih aman adalah menggunakan sistem CTAS secara paralel dengan sistem lama seperti DJP Online dan e-Faktur Desktop dalam masa transisi. Australia menerapkan strategi ini dengan tetap mempertahankan akses ke sistem manual hingga seluruh wajib pajak siap beralih ke sistem digital sepenuhnya. Dengan pendekatan ini, gangguan layanan dapat diminimalkan, dan wajib pajak memiliki waktu untuk beradaptasi dengan sistem baru.
Seiring dengan meningkatnya digitalisasi perpajakan, keamanan data wajib pajak menjadi isu krusial yang tidak boleh diabaikan. Indonesia telah mengalami beberapa kasus kebocoran data dalam beberapa tahun terakhir, yang memperkuat kekhawatiran masyarakat terhadap keamanan sistem pemerintahan digital. Pada 2022, terjadi kebocoran data berskala besar yang mengungkap informasi pajak sensitif, mengindikasikan celah dalam infrastruktur TI pemerintah.
Negara seperti Estonia telah sukses mengamankan sistem pajak digital mereka dengan menerapkan teknologi blockchain, yang memastikan catatan pajak tetap aman dan tidak dapat dimanipulasi. Estonia juga menggunakan pemantauan real-time untuk mendeteksi potensi pelanggaran atau upaya peretasan. Indonesia harus mengadopsi langkah serupa, seperti sistem enkripsi yang kuat dan pengawasan keamanan siber yang lebih ketat, untuk melindungi data wajib pajak.
Selain teknologi dan keamanan, keberhasilan sistem pajak digital sangat bergantung pada tingkat literasi digital wajib pajak. Banyak pelaku usaha dan individu belum terbiasa dengan sistem perpajakan digital, yang mengakibatkan frustrasi dan menurunnya kepatuhan pajak.
Singapura mengatasi masalah ini dengan kampanye edukasi nasional, tutorial interaktif, dan chatbot berbasis AI yang memberikan bantuan real-time kepada wajib pajak. Indonesia perlu menerapkan strategi serupa, seperti pelatihan wajib bagi pelaku usaha, video panduan yang mudah dipahami, serta layanan bantuan pajak daring yang dapat diakses kapan saja.
Selain wajib pajak, petugas pajak juga harus mendapatkan pelatihan intensif agar dapat membantu masyarakat beradaptasi dengan sistem baru ini. Jika edukasi tidak diperkuat, kemungkinan besar CTAS akan semakin menyulitkan masyarakat, bukannya mempermudah mereka dalam memenuhi kewajiban pajaknya.
Kepatuhan Adalah Cerminan Kepercayaan Publik
Selain masalah teknis, tantangan terbesar yang dihadapi Indonesia dalam reformasi pajak adalah defisit kepercayaan masyarakat terhadap administrasi pajak. Berbagai skandal korupsi di lingkungan pajak telah menggerus kepercayaan publik, sehingga kepatuhan pajak lebih dipandang sebagai kewajiban hukum ketimbang tanggung jawab sipil. Menurut Slippery Slope Model of Tax Compliance, kepatuhan pajak tidak hanya bergantung pada penegakan hukum, tetapi juga pada tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
Di negara-negara seperti Swedia dan Kanada, kepatuhan pajak yang tinggi terjadi karena masyarakat percaya bahwa pajak mereka digunakan dengan transparan dan untuk kepentingan publik. Sebaliknya, di Indonesia, banyak kasus penghindaran pajak oleh elit dan kurangnya transparansi dalam alokasi pajak, sehingga membuat wajib pajak enggan untuk patuh. Jika pemerintah ingin wajib pajak menerima CTAS, maka transparansi dalam pengelolaan pajak harus diperbaiki terlebih dahulu.
Sampai saat ini, pemerintah telah menghabiskan Rp1,3 triliun untuk pengembangan CTAS sejak 2021. Namun, setelah empat tahun berjalan, sistem ini masih mengalami banyak kegagalan. Jika situasi ini berlanjut, bukan hanya soal keterlambatan eksekusi, tetapi juga tentang potensi penyalahgunaan anggaran dan salah kelola proyek. Oleh karena itu, DPR harus meminta audit independen untuk menelusuri penggunaan dana Rp1,3 triliun tersebut dan memastikan tidak terjadi pemborosan atau korupsi dalam proyek ini.
Baca juga : Tantangan dan Strategi dalam Meningkatkan Rasio Pajak
Pemerintah juga harus segera merilis roadmap implementasi yang transparan, realistis, dan berbasis kebutuhan wajib pajak, bukan hanya kepentingan administrasi pajak semata. Jika CTAS ingin sukses, kebijakan ini harus melibatkan asosiasi wajib pajak, organisasi bisnis, dan profesional pajak dalam perumusannya, sehingga sistem ini benar-benar dirancang untuk mempermudah, bukan mempersulit.
Pertanyaannya sekarang: Apakah CTAS benar-benar langkah maju dalam modernisasi pajak Indonesia, atau hanya proyek mahal yang gagal? Jika pemerintah gagal memastikan transparansi, akuntabilitas, dan pengalaman wajib pajak yang lebih baik, maka CTAS akan dikenang bukan sebagai revolusi pajak digital, melainkan sebagai kisah kegagalan administrasi yang mahal.