Pada 18 November 2024, Badan Legislasi (Baleg) DPR bersama Menteri Hukum dan Panitia Perancang Undang-Undang DPD mengadakan rapat kerja (raker) yang menghasilkan kesepakatan penting. Dalam rapat tersebut, disepakati bahwa Rancangan Undang-Undang tentang perubahan atas Undang-Undang No. 11 Tahun 2016 mengenai Pengampunan Pajak (RUU Tax Amnesty) akan dimasukkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas 2025. Keputusan ini menandai langkah awal menuju pembahasan kebijakan pajak yang dinilai krusial untuk mengatasi berbagai tantangan perpajakan di Indonesia.
Sebagai usulan prioritas dari Komisi XI DPR, tanggung jawab untuk menyusun naskah akademik dan draf RUU Tax Amnesty pun berada di tangan komisi tersebut. Pemilihan RUU ini sebagai prioritas bukan tanpa alasan. Komisi XI menilai bahwa tingkat kepatuhan Wajib Pajak (WP) yang masih rendah membutuhkan intervensi kebijakan.
Dengan memberikan kesempatan bagi WP yang belum patuh untuk menebus kesalahan mereka, kebijakan ini diharapkan mampu meningkatkan kepatuhan pajak sekaligus memperbaiki sistem perpajakan secara keseluruhan. Selain itu, seperti yang diungkapkan Wakil Ketua Komisi XI DPR Fauzi Amro, program tax amnesty juga menjadi strategi untuk memenuhi kebutuhan anggaran negara guna mendukung visi dan misi Presiden Prabowo Subianto.
Konsep Tax Amnesty
Pengampunan pajak merupakan kebijakan yang dirancang untuk memberikan kesempatan kepada wajib pajak (WP) yang memiliki tunggakan pajak agar dapat menyelesaikan kewajiban mereka tanpa menghadapi sanksi pidana atau perdata.
Menurut Parle dan Hirlinger (1986), kebijakan ini memberikan satu kali kesempatan kepada WP untuk “membersihkan” akun mereka dengan melunasi pajak yang tertunggak beserta bunganya. Sebagai kebijakan yang fokus pada penyelesaian masa lalu, pengampunan pajak memungkinkan individu atau perusahaan untuk melaporkan aset yang sebelumnya tidak terdaftar, sekaligus mengurangi potensi ancaman hukuman hukum (Alm & Beck, 1993).
Tujuan utama dari kebijakan pengampunan pajak, sebagaimana disampaikan Ross (1986), adalah untuk meningkatkan kepatuhan pajak di masa depan. Program ini dirancang untuk mendorong WP agar lebih patuh terhadap peraturan perpajakan setelah periode pengampunan berakhir.
Penelitian Dubin, Graetz, dan Wilde (1992) menunjukkan bahwa efektivitas kebijakan ini bergantung pada mekanisme penegakan hukum yang kuat. Dengan mengintegrasikan pengawasan dan edukasi kepada WP, pemerintah dapat menciptakan sistem perpajakan yang lebih akuntabel sekaligus memperkuat kesadaran masyarakat terhadap pentingnya kepatuhan pajak.
Dalam penerapan pengampunan pajak, terdapat tiga elemen utama yang menjadi fokus, yaitu pengungkapan (disclosure), penebusan (redemption), dan pembebasan (relief). Pengungkapan melibatkan pernyataan WP untuk melaporkan seluruh aset, baik yang berwujud maupun tidak berwujud, yang dimiliki di dalam maupun luar negeri, terlepas dari penggunaannya untuk bisnis atau kebutuhan lainnya. Hal ini penting untuk memastikan laporan SPT tahunan WP telah diisi dengan benar, lengkap, dan jelas. Pengungkapan ini juga memberikan peluang bagi WP yang sebelumnya lalai atau mengalami kendala untuk memperbaiki pelaporan aset mereka.
Meskipun kebijakan pengampunan pajak dapat meningkatkan penerimaan pajak dalam jangka pendek, ada risiko bahwa WP akan kembali tidak patuh setelah program berakhir. Menurut Darussalam (2014), stagnasi penerimaan pajak sering menjadi alasan pemerintah untuk melaksanakan pengampunan pajak. Selama program berlangsung, penerimaan pajak memang dapat mengalami lonjakan signifikan.
Namun, untuk memastikan keberlanjutan penerimaan pajak dalam jangka panjang, pemerintah perlu melengkapi kebijakan ini dengan upaya pengawasan serta program edukasi yang mendorong peningkatan kepatuhan pajak secara konsisten
Pengalaman Tax Amnesty di Indonesia
Indonesia memiliki pengalaman dalam menerapkan kebijakan ini. Tax amnesty pertama dilaksanakan pada 18 Juli 2016 hingga 31 Maret 2017 di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo. Program ini menetapkan tarif yang bervariasi antara 2-10 persen, dengan janji bahwa program tersebut hanya akan dilakukan satu kali seumur hidup. Pada saat itu, kebijakan ini dianggap sebagai momentum bagi WP untuk melaporkan hartanya tanpa takut terkena sanksi berat. Namun, realitas menunjukkan bahwa kebutuhan fiskal negara mendorong pelaksanaan tax amnesty jilid II, yang kemudian diberi nama Program Pengungkapan Sukarela (PPS).
PPS dilaksanakan pada 1 Januari hingga 30 Juni 2022 dengan tarif yang lebih tinggi dibandingkan tax amnesty sebelumnya, yaitu 6-11 persen untuk kategori pertama dan 12-18 persen untuk kategori kedua. Kebijakan ini mencakup dua kelompok WP: mereka yang telah mengikuti tax amnesty pertama tetapi masih memiliki aset yang belum dilaporkan, serta mereka yang belum sempat ikut tax amnesty pertama untuk periode aset 2016-2020. Meski berhasil meningkatkan penerimaan pajak dalam jangka pendek, kebijakan ini kembali menyoroti pentingnya keberlanjutan kepatuhan pajak.
Kini, wacana Tax Amnesty Jilid III mulai mengemuka setelah DPR resmi memasukkan RUU terkait ke dalam Prolegnas Prioritas 2025. Tidak seperti sebelumnya, Komisi XI menegaskan bahwa RUU ini bukan sekadar revisi, melainkan rancangan baru yang dirancang dari nol.
Dengan perubahan mendasar yang direncanakan, kebijakan ini diharapkan dapat memberikan dampak yang lebih signifikan bagi penerimaan pajak negara sekaligus memperkuat sistem perpajakan yang lebih adil dan berkelanjutan. Langkah ini menjadi harapan baru dalam menyelesaikan berbagai tantangan perpajakan yang masih dihadapi Indonesia.
Dengan demikian, pengampunan pajak adalah alat yang potensial dalam pengelolaan sistem perpajakan. Namun, efektivitasnya tidak hanya bergantung pada implementasi teknis, tetapi juga pada komitmen pemerintah untuk menciptakan sistem perpajakan yang berkelanjutan dan berkeadilan.