Bisnis Indonesia | 13 Mei 2022
Penulis: Ismail Khozen (Senior Policy Analyst Pratama-Kreston Tax Research Institute)
Beragam upaya pembatasan sosial akibat pagebluk Covid sejak 2020 awal menjadi momentum meroketnya ekosistem digital kita. Begitu aktivitas fisik di tempat publik tidak seleluasa sebelumnya, menjadi begitu terasa jika teknologi digital telah menawarkan alternatif penyediaan beragam keperluan masyarakat tanpa harus ke luar rumah.
Laporan e-Conomy SEA yang dirilis Google, Temasek dan Bain & Co di pengujung 2021 mencatat penambahan 21 juta konsumen digital baru sejak awal pandemi. Secara sektoral, pertumbuhan layanan digital didominasi oleh e-commerce yang tumbuh 52 % , disusul media online 48 % , layanan transportasi dan pesan antar makanan 36 % , serta layanan pemesanan tiket perjalanan sebesar 29 %.
Namun di tengah akselerasi ekonomi digital 2021 itu ditaksir senilai US$70 miliar, dampaknya terhadap penerimaan negara tampak tidak cukup signifikan. Menurut catatan Bisnis (24/01/2022), penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) di sepanjang tahun lalu hanya sebesar Rp3,9 triliun. Secara teori, semestinya penerimaan pajak dari suatu sektor lebih berdaya ketika pertumbuhannya meningkat (Stiglitz, 2000).
Di sisi lain, anggaran belanja pemerintah (APBN) sedang berdarah-darah untuk melindungi ekonomi dan kesehatan dari dampak pandemi. Penerimaan pajak sebagai penyumbang porsi terbesar APBN menjadi kian vital dalam membiayai respons ekonomi selama pandemi (Utami & Ilyas, 2021).
Atas dasar itu, pemerintah kemudian merancang perluasan basis pajak di sektor digital. Di antara yang dilirik adalah pengenaan bea materai atas dokumen yang timbul dalam transaksi di e-commerce. Pada tahap awal, bea materai menyasar dokumen kebijakan syarat dan ketentuan atau terms and conditions (T&C), yang biasa muncul kala pengguna membuat akun di platform marketplace.
Seperti diketahui, tarif bea materai dalam rezim UU No. 10/2020 tentang Bea Materai adalah Rp 10.000 yang dikenakan termasuk atas dokumen elektronik. Dengan jumlah konsumen di e-commerce yang menurut data Nielsen Indonesia mencapai 32 juta orang pada 2021, potensi penerimaan bea materai atas T&C pendaftaran akun saja bisa mencapai Rp 320 miliar. Angka tersebut belum memperhitungkan jumlah penjual yang juga terus tumbuh di angka jutaan.
Gelembung harapan penerimaan bea materai kian nyata bila menilik substansi T&C yang terkandung dalam tiap-tiap transaksi di marketplace. Telah diketahui, Pasal 3 UU No. 10/2020 menetapkan pengenaan bea materai atas dokumen kejadian perdata, contohnya surat perjanjian.
Iktikad pemerintah mengenakan bea materai pada e-commerce kian serius dengan diselenggarakannya beberapa kali Diskusi Kelompok Terarah (FGD). Di internal Kementerian Keuangan, FGD diinisiasi oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Badan Kebijakan Fiskal (BKF), dan Komite Pengawas Perpajakan.
Untuk menjembatani kepentingan para stakeholder, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian melalui Koordinasi Kebijakan Pengembangan Ekonomi Digital, Ketenagakerjaan, dan UMKM (Deputi IV) menyelenggarakan FGD antara DJP dan Asosiasi E-commerce Indonesia (idEA).
Sebagai pihak yang akan pertama kali terdampak, idEA paling lantang menyampaikan keberatan. Pada Selasa (19/04/2022), Deputi IV Kemenko Perekonomian secara serempak mempertemukan para stakeholder dimaksud.
Dari sisi legal standing, UU Bea Materai No. 10/2020 memberikan fleksibilitas yang lebih luas dari rezim UU No. 13/1985. Namun, pengenaan bea materai atas T&C masih mungkin menemui kendala karena pengenaan bea materai pada e-commerce belum juga dinyatakan dengan lugas (Paramudhita & Sinaga, 2022).
Jika pemerintah hendak mengenakan bea materai, perlu disiapkan penegasannya dalam payung hukum terkait. Upaya ini terbuka lebar karena Pasal 3 ayat (2) huruf h UU No. 10/2020 mengatur kemungkinan penetapan dokumen lain sebagai objek bea materai melalui Peraturan Pemerintah.
Bagaimanapun bagusnya suatu kebijakan pajak, elemen yang tidak kalah penting adalah bagaimana kebijakan tersebut diadministrasikan (Bird, 2014). Jika T&C menjadi objek bea materai, patut dicermati kembali apakah kebijakan dimaksud memenuhi asas kemudahan administrasi (simplicity).
Pemerintah perlu memperhitungkan biaya kepatuhan (compliance cost) yang ditimbulkan. Pengenaan bea meterai akan berimplikasi pada sumber daya tambahan yang diperlukan e-commerce dalam menyesuaikan dengan kewajiban perpajakan tersebut. Sebagai contoh, mereka mungkin akan perlu meng-upgrade aplikasi mereka sehingga sangat mungkin diperlukan biaya riset dan pengembangan tambahan.
Persoalannya, compliance cost secara empiris berpengaruh negatif terhadap kepatuhan pajak (Musimenta et al., 2019; Musimenta, 2020). Biaya administratif maupun biaya khusus lainnya berimplikasi secara signifikan pada penurunan kepatuhan pajak. Pengenaan bea meterai pada e-commerce yang tidak diikuti oleh dukungan administrasi kebijakan yang memadai akan menghambat lingkungan digital yang sedang berkembang.
Di era globalisasi, kebijakan pajak yang tidak bersahabat dapat membuka ruang bagi pelarian modal (capital flight) ke negara lain yang kebijakan pajaknya lebih longgar (Abiola & Asiweh, 2012). Alih-alih penerimaan bertambah, pertumbuhan ekonomi justru bisa kian susut sehingga basis pemajakan yang terserap secara agregat dari perekonomian menjadi terbatas.
Tampaknya, alasan belum ada negara lain yang mengenakan bea meterai e-commerce adalah karena resistensi yang mungkin ditimbulkan. Patut ditunggu, apakah pemerintah akan cukup berani mengambil risiko penurunan keuntungan kompetitif ekonomi digitalnya demi agar produk e-meterai ‘laku terjual’.
Artikel ini telah tayang di laman koran Bisnis Indonesia pada 13 Mei 2022 dengan tautan https://bisnisindonesia.id/article/opini-jalan-terjal-bea-meterai-ecommerce