Mutual Agreement Procedure secara Global
Mutual Agreement Procedure (MAP) merupakan alternatif bagi Wajib Pajak untuk menyelesaikan sengketa yang menimbulkan pemajakan berganda (double taxation). MAP sebagaimana diatur dalam Pasal 25 OECD Model Tax Convention (OECD Model) maupun United Nations Model Double Taxation Convention (UN Model) memberikan win-win solution bagi Wajib Pajak di kedua negara atau yurisdiksi perpajakan karena adanya mekanisme corresponding adjustment. Dengan mekanisme ini, otoritas pajak akan memberi penyesuaian kepada Wajib Pajak sesuai dengan hasil MAP untuk mengeliminasi double taxation.
Merujuk pada Pasal 25 Ayat (1) OECD Model, pelaksanaan MAP tidak dimaksudkan untuk mencabut hak Wajib Pajak pada penyelesaian sengketa domestik. Pengajuan MAP diajukan oleh subjek pajak di negara tempat subjek pajak tersebut terdaftar sebagai Subjek Pajak Dalam Negeri (SPDN). Pengajuan MAP dilakukan dalam kurun waktu 3 tahun sejak pemberitahuan pertama (first notification) yang menghasilkan sengketa. Di Indonesia, first notification dapat berupa Surat Ketetapan Pajak (SKP) atau Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (SPHP).
Jumlah permohonan MAP meningkat di berbagai negara, akan tetapi angka tersebut tidak seimbang dengan tingkat permohonan MAP yang dapat diselesaikan. Perbandingan antara jumlah permohonan MAP yang belum atau sedang dalam proses penyelesaian tidak sebanding dengan jumlah permohonan MAP yang berhasil diselesaikan. Hal ini bisa dilihat dari The 2020 Mutual Agreement Procedure Statistics yang dirangkum oleh OECD baik secara agregat maupun data setiap yurisdiksi. Misalnya, sengketa pajak yang ditangani dalam prosedur MAP di Indonesia dapat ditinjau dari The 2020 Mutual Agreement Procedure Statistics Indonesia.
Statistik MAP di Indonesia
Berdasarkan The 2020 Mutual Agreement Procedure Statistics Indonesia, total inventaris sengketa yang terjadi adalah 51 kasus dan total yang telah berhasil diselesaikan adalah 12 kasus, sebagaimana dirangkum pada tabel di bawah ini:
Tabel 1 Statistik MAP Tahun 2020 di Indonesia
Kasus yang terjadi sejak 1 Januari 2016 | Inventaris Kasus Tahun 2020 | Kasus yang Dimulai Tahun 2020 | Kasus Diselesaikan Tahun 2020 | Inventaris Kasus pada Akhir Tahun 2020 |
---|---|---|---|---|
Kasus Transfer Pricing | 29 | 5 | 10 | 24 |
Kasus Lainnya | 10 | 7 | 2 | 15 |
Sesuai data pada tabel di atas, kasus sengketa yang diselesaikan melalui prosedur MAP terbagi menjadi dua jenis kasus, yaitu: (1) kasus Transfer Pricing dengan total kasus per akhir tahun 2020 sebanyak 34 kasus dan jumlah yang telah diselesaikan sejumlah 10 kasus; serta (2) kasus lainnya dengan total kasus hingga akhir tahun 2020 sejumlah 17 kasus dan jumlah yang telah diselesaikan sejumlah 2 kasus. Dengan demikian, jumlah sengketa yang telah diselesaikan melalui MAP pada tahun 2020 adalah sebanyak 12 kasus sehingga masih terdapat 39 kasus yang belum diselesaikan pada akhir tahun 2020.
Jika dibandingkan dengan inventaris kasus yang diselesaikan melalui MAP tahun 2019, peningkatan kasus Transfer Pricing meningkat sebanyak 2 kasus, sedangkan kasus lainnya meningkat sebanyak 3 kasus. Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat keinginan kuat dari otoritas pajak di negara-negara anggota OECD untuk menyelesaikan sengketa pajak internasional melalui MAP.
Lebih lanjut berdasarkan The 2020 Mutual Agreement Procedure Statistics Indonesia, proses MAP memerlukan waktu yang cukup panjang. Proses MAP di Indonesia yang diselesaikan pada tahun 2020 menunjukkan bahwa rata-rata kasus Transfer Pricing yang dimulai sebelum tahun 2016 memakan waktu sekitar 63,54 bulan. Sementara itu, kasus lainnya yang dimulai sebelum tahun 2016 memakan waktu sekitar 103,96 bulan.
Walaupun demikian, MAP tidak mengharuskan pihak yang bersengketa untuk mencapai suatu hasil kesepakatan sebagaimana dinyatakan dalam Paragraf 37 Commentary Pasal 25 OECD Model, meskipun berdasarkan Paragraf 2 Commentary Pasal 25 OECD Model menyatakan bahwa panduan OECD Model menghendaki otoritas berwenang untuk mencapai kesepakatan bersama dalam menyelesaikan sengketa Wajib Pajak sehubungan dengan pemajakan yang tidak sesuai dengan ketentuan dalam konvensi.
UU HPP: Harapan Terlaksananya Keadilan Prosedur MAP
Dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan s.t.d.t.d. Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (“UU KUP”) yang disahkan pada Oktober 2021, tepatnya dalam Pasal 27C UU KUP mengatur apabila pelaksanaan MAP belum menghasilkan persetujuan bersama sampai dengan Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali diucapkan, Direktur Jenderal Pajak tetap melanjutkan perundingan, dalam hal materi sengketa yang diputus dalam Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali bukan merupakan materi yang diajukan prosedur persetujuan bersama atau menggunakan Putusan Banding atau Peninjauan Kembali saat melakukan perundingan atau menghentikan perundingan atas materi yang diajukan prosedur persetujuan bersama.
Ketentuan dalam Pasal 27C UU KUP perihal MAP dalam UU HPP merupakan yang pertama kali diatur dalam UU perpajakan Indonesia. Dalam UU KUP terdahulu belum diatur ketentuan ini (seperti dalam UU Cipta Kerja, UU No. 16/2009, UU No. 28/2007, UU No. 16/2000, dan UU No. 9/1994), walaupun terdapat peraturan pelaksana yang mengatur tentang MAP, seperti Peraturan Menteri Keuangan No. 49/PMK.03/2019 (“PMK-49/2019”), Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. 16/PJ/2020 (“PER-16/2020”), dan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak No. 49/PJ/2021 (“SE-49/2021”) mengenai petunjuk teknis terkait tata cara pelaksanaan MAP. Dalam ketiga peraturan turunan tersebut tidak diatur mengenai fleksibilitas MAP serta pelaksanaan MAP ‘ketika’ MAP tersebut belum menghasilkan pesetujuan bersama sebagaimana yang diatur dalam UU KUP.
Ketentuan MAP yang memberikan fleksibilitas diatur dalam Pasal 27C ayat (3) UU KUP, yaitu pemberian opsi bagi Wajib Pajak untuk memilih kasus-kasus sengketa yang diselesaikan dengan MAP atau di bawah penyelesaian domestik, bahkan jika kasus-kasus tersebut berada dalam SKP yang sama. Akan tetapi, pedoman baru yang diperbaharui dalam UU HPP dapat membingungkan Wajib Pajak yang permohonan MAP-nya masih diproses karena peraturan pelaksana yang terbit sebelum UU HPP masih belum dicabut atau diperbaharui secara hukum. Mengingat PMK-49/2019 memberikan pedoman yang bertentangan pada beberapa persyaratan prosedural dengan ketentuan yang diatur dalam UU KUP tentang MAP. Meskipun demikian, belum ada klarifikasi resmi dari Dirjen Pajak mengenai hal ini hingga saat ini.
Melihat peraturan pelaksana sebelum UU KUP diamandemen dengan UU HPP, proses MAP dihentikan saat terdapat putusan Pengadilan Pajak (PP) atau Mahkamah Agung (MA) sehingga Wajib Pajak akan kehilangan hak dalam memperoleh keadilan atas sengketa double taxation atas isu yang bukan sengketa di PP atau MA. Hal ini tidak sejalan dengan pelaksanaan MAP yang sesuai dengan international best practice sehingga penambahan Pasal 27C UU KUP menjadi solusi atas permasalahan tersebut dan memberikan keadilan kepada Wajib Pajak dalam pengajuan MAP.
Berdasarkan pedoman terbaru MAP dalam UU KUP, Wajib Pajak dapat memilih prosedur penyelesaian sengketa yang ditempuh untuk setiap materi koreksi. Ketentuan ini akan memberikan kepastian bagi Wajib Pajak bahwa MAP dapat berjalan efektif sehingga dapat mengeliminasi double taxation sehubungan dengan koreksi pemeriksa yang diajukan MAP. Oleh karena itu, ketentuan MAP dalam Pasal 27C UU KUP merupakan alternatif penyelesaian sengketa sehingga kedudukan MAP sama atau setara dengan penyelesaian sengketa domestik seperti keberatan dan banding. Dengan demikian, proses MAP dan keberatan atau banding dapat berjalan beriringan.