Dalam beberapa dekade terakhir, dampak perubahan iklim terasa semakin nyata. Meningkatnya suhu global, cuaca ekstrem, serta kenaikan permukaan air laut, menandakan bahwa krisis iklim bukanlah isapan jempol belaka. Salah satu penyebab utama fenomena ini adalah emisi gas rumah kaca yang berasal dari aktivitas industri, transportasi, dan pembakaran bahan bakar fosil. Untuk mengatasi permasalahan ini, berbagai negara mulai menerapkan kebijakan yang bertujuan mengurangi emisi, salah satunya melalui pajak karbon.
Pajak karbon pertama kali diterapkan sebagai respons terhadap meningkatnya kekhawatiran global terhadap perubahan iklim akibat emisi gas rumah kaca. Banyak negara mulai mencari cara untuk mengurangi emisi karbon dengan salah satu bentuk kebijakan yang muncul adalah pajak karbon, yang dikenakan pada bahan bakar fosil berdasarkan kandungan karbonnya. Selanjutnya beberapa negara juga memberlakukan kebijakan pemberian insentif bagi pelaku industry atau individu agar dengan tujuan menciptakan efisiensi penggunaan energi.
Bagiamana dengan Indonesia? Meskipun pajak karbon telah diundangkan melalui Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) pada 2021, hingga kini kebijakan tersebut masih mangkrak dan belum diterapkan secara efektif. Janji pemerintah untuk mulai memungut pajak karbon pada tahun 2022 terus mengalami penundaan, menunjukkan adanya ketidaksiapan baik dari sisi regulasi, infrastruktur, maupun komitmen politik.
Padahal, di tengah meningkatnya tekanan global untuk mengurangi emisi karbon, banyak negara telah mulai mengadopsi dan mengoptimalkan pajak karbon sebagai bagian dari strategi transisi energi. Lantas kapan pemerintah akan merealisasikan penerapan pajak karbon, atau malah akan mengalami penundaan secara terus menerus?
Kebijakan yang Mangkrak
Pajak karbon di Indonesia pertama kali dirancang sebagai bagian dari upaya pemerintah untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan memenuhi komitmen iklim global. Konsep pajak ini mulai dibahas secara serius setelah Indonesia meratifikasi Perjanjian Paris pada tahun 2016, yang mengharuskan negara untuk menurunkan emisi karbonnya secara bertahap.
Seiring dengan meningkatnya tekanan global terhadap kebijakan lingkungan, pemerintah mulai mencari instrumen ekonomi yang dapat digunakan untuk mengendalikan polusi, salah satunya dengan mengenakan pajak atas emisi karbon dengan harapan pajak ini dapat mendorong pelaku industri untuk beralih ke energi yang lebih bersih dan berinvestasi dalam teknologi ramah lingkungan.
Penerapan pajak karbon di Indonesia awalnya direncanakan mulai berlaku pada 1 April 2022 sebagai bagian dari implementasi Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang disahkan pada 2021. Pajak ini bertujuan untuk mengurangi emisi karbon dengan memberikan disinsentif bagi industri yang menghasilkan polusi tinggi.
Pada tahap awal, pajak karbon akan dikenakan pada sektor pembangkit listrik tenaga batu bara, dengan tarif sebesar Rp30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) dengan harapan bahwa kebijakan ini mampu mendorong pelaku industri untuk beralih ke teknologi yang lebih ramah lingkungan serta berkontribusi dalam mencapai target net zero emission pada 2060.
Meskipun regulasi dasar telah ditetapkan, faktanya pada April 2022, pajak karbon urung terlaksana dan masih menghadapi berbagai tantangan menemui sejumlah kendala dalam wacana penerapannya. Salah satu kendala utama adalah kesiapan industri dalam menyesuaikan diri dengan kebijakan ini, terutama di tengah pemulihan ekonomi pasca pandemi COVID-19. Banyak pelaku usaha meminta waktu lebih untuk beradaptasi, mengingat dampak potensial terhadap biaya produksi dan daya saing industri. Selain itu, sistem pemantauan dan verifikasi emisi masih perlu disempurnakan agar implementasi pajak karbon berjalan secara efektif dan adil.
Ketika batas waktu penerapan tiba (April 2022), pemerintah akhirnya memutuskan untuk menunda pemberlakuan pajak karbon, dengan alasan perlunya kajian lebih lanjut serta kesiapan infrastruktur regulasi dan teknologi. Penundaan ini juga didorong oleh pertimbangan stabilitas ekonomi nasional, mengingat kenaikan harga energi global yang dapat memperburuk beban industri dan masyarakat. Sejak saat itu, meskipun pajak karbon tetap menjadi bagian dari agenda kebijakan lingkungan Indonesia, implementasinya terus mengalami penundaan dan belum diterapkan secara penuh hingga tahun 2025 ini.
Penerapan Pajak Karbon di Berbagai Negara
Secara konsep pajak karbon berakar pada prinsip ekonomi lingkungan, di mana pihak yang menyebabkan polusi harus membayar biaya atas dampak negatif yang mereka timbulkan. Negara pertama yang menerapkan pajak karbon adalah Finlandia pada tahun 1990, diikuti oleh negara-negara Eropa lainnya seperti Swedia dan Norwegia.
Dalam perkembangannya, berbagai negara mengadopsi kebijakan ini dengan pendekatan yang berbeda-beda. Beberapa negara menerapkan pajak karbon langsung pada bahan bakar fosil, sementara yang lain mengenakan tarif berdasarkan jumlah emisi yang dihasilkan oleh perusahaan atau industri tertentu.
Misalnya, Swedia mengadopsi pajak karbon dengan tarif tinggi, tetapi disertai dengan pemotongan pajak lain untuk mengurangi beban ekonomi masyarakat (Jagers & Hammar, 2009). Sementara itu, Kanada memiliki sistem hibrida yang memungkinkan provinsi dan teritori untuk memilih antara pajak karbon atau sistem perdagangan emisi. Meskipun menghadapi tantangan politik dan ekonomi, penerapan pajak karbon telah terbukti membantu menurunkan tingkat emisi di beberapa negara, sekaligus mendorong investasi dalam energi terbarukan (Hamilton & Cameron, 1994).
Meskipun demikian, masih terdapat perdebatan mengenai efektivitas pajak karbon, terutama terkait dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi dan keadilan sosial. Fremstad & Paul (2019) dalam penelitiannya mengatakan bahwa pajak karbon harus disertai dengan mekanisme kompensasi bagi kelompok rentan agar tidak memperburuk ketimpangan ekonomi. Dengan meningkatnya urgensi untuk menekan emisi global, pajak karbon kemungkinan akan terus berkembang sebagai instrumen utama dalam kebijakan iklim di berbagai negara.
Faktor Penghambat Penerapan
Salah satu tantangan utama terhambatnya penerapan pajak karbon di Indonesia adalah dampanya terhadap perekonomian, terutama bagi industri yang masih bergantung pada energi fosil. Jika pajak ini diterapkan maka dapat berpotensi pada meningkatnya biaya produksi, yang pada akhirnya bisa menyebabkan kenaikan harga barang dan berujung pada inflasi. Dalam situasi ekonomi yang belum sepenuhnya stabil, pemerintah cenderung harus berhati-hati dalam menerapkan kebijakan yang dapat membebani dunia usaha dan masyarakat.
Selain itu, tekanan dari pelaku industri menjadi faktor yang tidak bisa diabaikan. Banyak perusahaan besar, terutama di sektor manufaktur, energi, dan transportasi, menilai pajak karbon sebagai beban tambahan yang dapat menurunkan daya saing mereka. Lobi kuat dari sektor ini sering kali berhasil menunda atau bahkan membatalkan regulasi yang dianggap merugikan bisnis mereka. Jika tidak ada kebijakan insentif yang memadai untuk transisi energi, penolakan terhadap pajak karbon akan semakin kuat.
Kesiapan infrastruktur dan sistem pemantauan emisi juga menjadi kendala besar. Pajak karbon memerlukan mekanisme yang transparan dan akurat untuk mengukur emisi dari setiap sektor. Namun, sistem pemantauan dan pelaporan emisi di Indonesia masih belum optimal, sehingga membuka celah bagi manipulasi data dan penghindaran pajak. Tanpa pengawasan yang ketat, kebijakan ini bisa kehilangan efektivitasnya dan justru menciptakan ketidakadilan bagi perusahaan yang benar-benar berusaha menurunkan emisinya.
Terakhir, tantangan utama yang sering kali diabaikan adalah kurangnya kesadaran dan dukungan publik. Banyak masyarakat yang belum memahami urgensi pajak karbon dan dampaknya terhadap lingkungan. Tanpa tekanan dari masyarakat sipil dan organisasi lingkungan, kebijakan ini bisa dengan mudah tersingkir oleh kepentingan bisnis dan politik jangka pendek. Jika pemerintah tidak mampu membangun narasi yang kuat tentang manfaat jangka panjang dari pajak karbon, maka kemungkinan besar kebijakan ini akan terus tertunda atau bahkan gagal diterapkan.
Penulis: Muhammad Rizqi Mardhi (Magang divisi Pratama Institute)
Editor: Lambang Wiji Imantoro