Praktik greenwashing pada ESG menjadi semakin luas selama beberapa dekade terakhir. Berdasarkan data Earth.org sejumlah entitas besar dunia belum sepenuhnya memenuhi kriteria ramah lingkungan. Akan tetapi, entitas tersebut telah membuat klaim bahwa produknya berkelanjutan dan berstatus hijau. Jika sebuah entitas menghasilkan polusi tinggi dan tidak ramah lingkungan, biasanya cenderung ingin meningkatkan citra perusahaan. Akan tetapi, upaya “hijau” yang dilakukan sering kali hanya sekadar window dressing, sehingga tidak menghasilkan perubahan yang nyata terhadap lingkungan.
Greenwashing adalah istilah yang terkait dengan pengungkapan Environmental, Social, dan Governance (ESG). Pengungkapan ESG yang tepat membantu para pemangku kepentingan untuk memahami bagaimana perusahaan mengelola risiko dan peluang ESG. Sedangkan pengungkapan ESG yang salah atau menyesatkan akan mengarah pada praktik greenwashing. Istilah greenwashing pertama kali digunakan pada tahun 1986 oleh seorang ahli lingkungan yang bernama Jay Westervelt. Ia menerbitkan tulisan yang mengkritik sistem manajemen handuk di banyak hotel. Industri hotel secara keliru mempromosikan penggunaan kembali handuk sebagai bagian dari strategi lingkungan yang lebih luas, padahal sebenarnya tindakan tersebut dirancang sebagai tindakan penghematan biaya (Orange dan Cohen 2010). Kebijakan hotel terkait penggunaan kembali handuk untuk menyelamatkan lingkungan, kenyataannya hanyalah kebijakan yang ditujukan untuk mengurangi biaya laundry.
Greenwashing vs Window Dressing
Greenwashing berarti membuat klaim yang salah, tidak jelas, menyesatkan, atau tidak berdasar mengenai keberlanjutan. Praktik greenwashing mungkin disebabkan oleh tindakan ceroboh dari pihak manajemen, yang tidak memahami tingkat kesulitan atau tingkat keseriusan pengungkapan ESG. Akan tetapi, besar kemungkinan juga beberapa perusahaan dengan sengaja memasukkan klaim palsu dalam laporan tahunan mereka. Hal ini berkenaan dengan inisiatif perusahaan terhadap keberlanjutan agar terlihat seolah terlibat dalam analisis dan pengungkapan ESG yang tepat. Greenwashing akan terjadi ketika manajemen suatu perusahaan ingin agar pengungkapannya memberikan kesan bahwa mereka telah terlibat dalam analisis dan pelaporan ESG yang tepat. Namun pada kenyataannya mereka belum melakukannya.
Seperti disebutkan sebelumnya, hal ini mungkin disengaja atau tidak disengaja. Di sinilah letak persamaan antara greenwashing dan window dressing dalam laporan keuangan. Dalam konsep window dressing, manajemen sebuah perusahaan menggunakan cara-cara yang tidak adil untuk memperbaiki tampilan laporan keuangannya sebelum dirilis ke publik. Hal tersebut merupakan praktik ilegal yang harus dihindari dengan cara apapun. Hal yang sama juga berlaku pada greenwashing. Memahami praktik greenwashing adalah hal yang penting, karena jika tidak maka konsumen yang mempunyai niat baik dapat disesatkan justru percaya bahwa mereka membuat pilihan yang sadar lingkungan.
Greenwashing dalam Sustainability Reporting
Dalam pelaporan keberlanjutan (sustainability reporting), greenwashing mengacu pada praktik pembuatan klaim yang salah atau berlebihan tentang kinerja atau praktik lingkungan perusahaan. Hal ini dilakukan untuk menggambarkan perusahaan yang bertanggung jawab atau berkelanjutan terhadap lingkungan. Praktik greenwashing menyampaikan gagasan bahwa produknya lebih ramah lingkungan, sehingga terdapat kekhawatiran yang semakin besar bahwa beberapa perusahaan membuat klaim palsu atau berlebihan mengenai praktik lingkungan (Yu et al., 2020). Beberapa contoh klaim greenwashing yang banyak ditemui adalah eco-friendly, all natural, guilt-free, dan green energy. Greenwashing merupakan sebuah taktik pemasaran yang menipu yang digunakan oleh perusahaan untuk melebih-lebihkan, atau praktik yang salah menggambarkan kinerja lingkungan, sehingga menimbulkan rasa tanggung jawab perusahaan yang salah (He et al., 2019; Wu et al., 2023).
Greenwashing dapat menimbulkan konsekuensi serius bagi perusahaan dan pemangku kepentingan. Bagi perusahaan, greenwashing dapat merusak reputasinya dan berujung pada menurunnya kepercayaan dari pemangku kepentingan. Bagi pemangku kepentingan, greenwashing dapat menimbulkan rasa tanggung jawab perusahaan yang salah, sehingga mengakibatkan kurangnya tindakan untuk menguasai masalah lingkungan (Sharma & Choubey, 2022).
Penulis: Intan Pratiwi (Accounting Policy Analyst di Pratama Institute for Fiscal Policy & Governance Studies)