Ringkasan Jawaban
Pembahasan Lengkap
Terima kasih Bapak Suryadi atas pertanyaan yang disampaikan. Sejatinya, hibah bukan merupakan objek pengenaan pajak. Hal ini diatur di dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a angka 2 UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan s.t.d.t.d. UU No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (“UU PPh”) yang berbunyi:
“(3) Yang dikecualikan dari objek pajak adalah:
a.
1. bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima zakat yang berhak atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima sumbangan yang berhak, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah; dan
2.harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan
sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan;”
(Pasal 4 ayat (3) huruf a UU PPh)
Hibah yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, pada kasus ini hibah toko usaha dari orang tua kepada anaknya, dikecualikan sebagai objek pajak sepanjang tidak ada hubungan usaha antara orang tua dengan anak.
Lalu, apa yang dimaksud dengan hubungan usaha?
Dalam Penjelasan Pasal 4 ayat (3) huruf a Alinea ke 2, disebutkan bahwa hubungan usaha antara pihak yang memberi dan yang menerima dapat terjadi. Misalnya PT A sebagai produsen suatu jenis barang yang bahan baku utamanya diproduksi oleh PT B. Apabila PT B memberikan sumbangan bahan baku kepada PT A, sumbangan bahan baku yang diterima oleh PT A merupakan objek pajak.
Definisi hubungan usaha diperjelas dalam Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 s Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2019 tentang Perhitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan (PP 94/2010 jo PP 45/2019).
“(1) Hubungan di antara pihak-pihak yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan dapat terjadi karena ketergantungan atau keterikatan satu dengan yang lain secara langsung atau tidak langsung berkenaan dengan:
1. usaha;
2. pekerjaan; atau
3. kepemilikan atau penguasaan.
(2) Hubungan di antara pihak-pihak yang bersangkutan berkenaan dengan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a antara Wajib Pajak pemberi dengan Wajib Pajak penerima, dapat terjadi apabila terdapat transaksi yang bersifat rutin antara kedua belah pihak.”
(Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2) PP 94/2010 jo PP 45/2019)
Dari ketentuan di atas, dapat diketahui bahwa adanya hubungan usaha ditandai dengan adanya pemberian dari Wajib Pajak pemberi sumbangan/hibah ke Wajib Pajak penerima sumbangan/hibah, dalam hal pemberian ini yang bersifat rutin. Sementara itu, merujuk pada kasus Bapak Suryadi, hibah toko usaha dilakukan oleh orang tua kepada anak, tanpa adanya pemberian yang bersifat rutin. Artinya hibah ini dilakukan tanpa adanya hubungan usaha antara orang tua dan anak.
Dengan demikian, penyerahan toko usaha dari orang tua kepada anak ini dapat dikecualikan sebagai objek PPh Final Pasal 4 ayat (2) karena termasuk hibah yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat dan tanpa adanya hubungan usaha. Akan tetapi, tentu saja dapat terjadi perbedaan penafsiran peraturan antara Wajib Pajak dengan Fiskus sehingga diperlukan bukti yang kuat untuk dapat membuktikan bahwa hibah tersebut dilakukan tanpa adanya hubungan usaha, pekerjaan, maupun kepemilikan.