Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung, menandatangani Peraturan Gubernur yang menurunkan tarif Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB). Mulai saat itu, kendaraan pribadi di Jakarta hanya dikenai tarif 5 %, turun dari sebelumnya dikenai tarif sebear 10 %. Sedangkan kendaraan umum dikenakan tarif ebesar 2%. Keputusan ini diambil di tengah lonjakan harga BBM nasional, memanfaatkan diskresi yang diberikan oleh UU No. 1/2022 dan PP No. 35/2023, serta didukung Perda DKI Jakarta No. 1/2024. Langkah ini tidak hanya meringankan beban masyarakat, tetapi juga menegaskan bagaimana daerah dapat menyesuaikan kebijakan fiskal sesuai kebutuhan lokal.
Di balik kebijakan tersebut, PBBKB sesungguhnya adalah pajak daerah yang dipungut setiap kali produsen atau importir menyerahkan bahan bakar cair maupun gas, seperti premium, pertalite, solar, atau LPG untuk alat berat, kepada konsumen. Dengan demikian, objek pajak mencakup seluruh liter BBM yang beredar di wilayah provinsi, dan penyedia BBM,baik lokal maupun importer berstatus sebagai wajib pungut. Pemungutan diwajibkan untuk setiap transaksi penyaluran, sehingga pungutan terjadi tepat pada titik penjualan.
Kerangka hukum PBBKB berakar pada UU No. 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, yang kemudian disempurnakan melalui UU No. 28 Tahun 2009. Untuk aturan teknis, termasuk prosedur pendaftaran, penetapan terutang, pelaporan, penyetoran, hingga sanksi administratif yang diatur lebih lanjut dalam PP No. 35/2023. Dengan demikian, setiap tahap pemungutan dan penyetoran PBBKB mengikuti tata kelola yang telah terstandarisasi, meski tetap memberi ruang bagi kebijakan tarif yang adaptif pada level provinsi.
Secara umum, undang-undang memberi batasan tarif antara 5 % hingga 10 % dari nilai jual BBM sebelum dikenakan PPN, dengan ketentuan minimum 50 % dari tarif kendaraan pribadi untuk kendaraan umum. Kebijakan terbaru di Jakarta menurunkan batas atas tersebut menjadi 5 % untuk kendaraan pribadi dan 2 % untuk umum, sebagai respons langsung terhadap kebutuhan masyarakat perkotaan yang mengandalkan BBM sebagai sarana transportasi utama. Penyesuaian tarif ini sekaligus memacu kepatuhan wajib pungut dalam menghitung dan menyetorkan pajak sesuai besaran yang berlaku.
Mekanisme Pemungutan dan Penyetoran PBBKB
Mekanisme pemungutan dan penyetoran PBBKB relatif sederhana: masa pajaknya satu bulan kalender, di mana penyedia BBM menghitung jumlah pajak terutang berdasarkan volume penjualan dan tarif yang berlaku, lalu menyetorkannya ke kas daerah paling lambat akhir bulan berikutnya. Untuk mempermudah proses, Pemprov DKI Jakarta menyediakan kanal elektronik bagi wajib pungut dalam mengisi Surat Pemberitahuan Pajak Daerah dan melakukan pembayaran melalui sistem online, mengurangi antrean dan risiko kelalaian administratif.
Pemungutan PBBKB dimulai sejak penyedia BBM (produsen atau importir) mendaftarkan diri sebagai Wajib Pungut ke Pemda DKI Jakarta. Setelah terdaftar, setiap penyerahan BBM kepada konsumen akhir menimbulkan kewajiban pajak. Dalam praktiknya, masa pajak PBBKB ditetapkan satu bulan kalender (tanggal 1 s.d akhir bulan), sehingga setiap transaksi penjualan BBM dalam periode tersebut harus dicatat dan dihitung dalam satu laporan pajak .
Pada akhir masa pajak, Wajib Pungut menghitung jumlah PBBKB terutang dengan mengalikan volume BBM yang diserahkan (dalam liter) dengan tarif berlaku 5 % untuk kendaraan pribadi dan 2 % untuk kendaraan umum di DKI Jakarta. Hasil perhitungan ini kemudian dituangkan dalam Surat Pemberitahuan Pajak Daerah (SPTPD) yang wajib diajukan melalui kanal elektronik e-SPTPD atau disampaikan ke Kantor Pajak Daerah setempat .
Setelah SPTPD disampaikan, Wajib Pungut melakukan penyetoran PBBKB menggunakan Surat Setoran Pajak Daerah (SSPD). Pemda DKI Jakarta telah menyediakan sistem online untuk pengisian SSPD, sehingga penyetoran dapat dilakukan melalui internet banking bank persepsi yang bekerja sama dengan Pemprov. Pembayaran harus diterima kas daerah paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya, menghitung masa pajak sebelumnya.
Di sisi lain, wajib pungut yang terlambat menyampaikan laporan atau menyetor pajak terancam sanksi administratif berupa denda yang dapat mencapai 2 % per bulan dari pokok pajak terutang, hingga maksimal 24 bulan sesuai peraturan daerah. Denda akan dihitung sejak jatuh tempo hingga tanggal pembayaran lunas.
Selanjutnya, penerimaan PBBKB menjadi sumber PAD, serta dialokasikan sebagai Dana Bagi Hasil (DBH) sesuai UU No. 1/2022. Sekitar 70 % dari DBH PBBKB dibagikan kepada kabupaten/kota yang menaungi wilayah penyaluran BBM sesuai dengan proporsi jumlah kendaraan terdaftar, sedangkan sisanya sebesar 30% dialokasikan untuk provinsi dan biaya pemungutan. Skema alokasi ini memastikan adanya pemerataan fiskal, sekaligus mendanai pembangunan infrastruktur transportasi di daerah penghasil pajak.
Dengan demikian, PBBKB menjadi salah satu instrumen penting untuk memperkuat penerimaan daerah, membantu masyarakat, dan mendukung pertumbuhan ekonomi lokal. Sebagai informasi tambahan, pemungutan PBBKB yang telah dilakukan oleh produsen/importir saat penyerahan ke lembaga penyalur membuat harga yang Anda bayarkan ketika membeli bahan bakar di SPBU sudah termasuk PBBKB.