Wacana pembentukan Badan Penerimaan Negara (BPN) sudah dimulai sejak 2014 ketika kajian kelembagaan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dirilis oleh AIPEG (Australia Indonesia Partnership for Economic Governance) (Kementerian Keuangan, 2016). Kajian AIPEG tersebut menggunakan kerangka teori ekonomi kelembagaan. Hasil kajiannya adalah bahwa DJP mempunyai masalah tata kelola dan wewenangnya di bidang organisasi, anggaran, dan keuangan terbatas. Sebagai rekomendasi AIPEG, Direktoran Jenderal Pajak (DJP) perlu membuat peta jalan untuk mentransformasi kelembagaannya menjadi sebuah semi-autonomous body yang dipisahkan dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
Di era baru kepemerintahan periode 2024–2029, pemerintah berencana akan segera membentuk BPN. Yang masih menjadi pertanyaan, apakah dengan adanya BPN akan otomatis berdampak pada pendapatan pajak yang berimbas pada peningkatan tax ratio? Apa keuntungan dan kerugian dari pendirian badan baru tersebut?
Pembentukan BPN yang menggabungkan DJP dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai pada umumnya tidak bisa menjamin peningkatan tax ratio. Pengalaman empiris di banyak negara melalui artikel riset terpublikasi pun menunjukkan hasil yang beragam. Tanpa BPN pun, pemerintah sudah dapat meningkatkan penerimaan pajak, bahkan di tiga tahun terakhir terjadi hattrick pelampauan target penerimaan pajak. Meskipun demikian, faktanya tax ratio tak kunjung meningkat.
Dari sisi perumusan kebijakan, pilihan pembentukan BPN dapat menjadi pilihan rasional. Pemerintah juga sudah mencoba berbagai pilihan kebijakan, seperti tax amnesty & PPS, sunset policy, automatic exchange of information (AEoI), serta amandemen UU Pajak. Akan tetapi, faktanya tax ratio masih menunjukkan angka yang stagnan.
Ada satu pilihan yang belum dicoba oleh pemerintah, yaitu pemisahan otoritas pajak dari Kemenkeu sesuai konsep SARA (Semi-autonomous Revenue Agency). Meskipun demikian, konsep SARA tersebut sudah pernah diusulkan di RUU KUP 2016. Namun, usulan tersebut ditarik kembali oleh pemerintah ketika menteri keuangan pada saat itu berganti.
Berikut ini merupakan aspek positif atau keuntungan pembentukan BPN yang menggunakan model SARA. Beberapa aspek tersebut dirangkum di bawah ini.
- Pembentukan BPN yang lebih otonom dari intervensi politik kekuasaan seharusnya dapat lebih meningkatkan kepatuhan pajak dan penerimaan pajak jika dibandingkan dengan kelembagaan otoritas pajak yang masih konvensional.
- Pembentukan BPN diharapkan dapat menanggulangi masalah korupsi pegawai otoritas pajak yang masih menggunakan model tradisional di bawah Kemenkeu.
- Pembentukan BPN diharapkan dapat meningkatkan pelayanan kepada Wajib Pajak dan menanggulangi praktik penghindaran pajak (tax evasion).
- Pembentukan BPN dengan desain yang baik dapat meningkatkan sistem administrasi pajak di negara-negara berkembang secara cepat dan komprehensif.
- Pembentukan BPN dapat mempertahankan pegawai yang lebih profesional karena remunerasinya lebih baik, mengelola pegawainya secara lebih fleksibel, mengintegrasikan proses bisnis administrasi pajak, dan mengelola anggaran secara lebih fleksibel.
Sebuah rencana kebijakan apa pun pasti membutuhkan biaya (cost) agar dapat diperoleh manfaat (benefit). Dengan demikian, rencana pembentukan BPN dalam pendekatan biaya (kerugian) dirangkum di bawah ini.
- Pembentukan BPN yang terpisah dari Kemenkeu membutuhkan dukungan dan komitmen pemerintah, khususnya Menteri Keuangan.
- Pembentukan BPN dapat mengakibatkan beberapa undang-undang harus diamendemen atau bahkan diganti, yaitu: a) UU Keuangan Negara (UU No. 17/2003) yang mengatur tugas, fungsi, dan kewenangan Kemenkeu,
b) UU KUP (UU No. 6/1983; UU No. 7/2021) yang mengatur kelembagaan Ditjen Pajak sebagai otoritas pajak,
c) UU Aparatur Sipil Negara (UU No. 20/2023) yang berkaitan dengan ASN di Ditjen Pajak karena ada pengalihan ASN dari Ditjen Pajak ke BPN dan pengaturan khusus tentang pegawai BPN (jika ada). - Pembentukan BPN dapat mengakibatkan perubahan budaya kerja ASN yang sebelumnya bekerja di DJP (UU No. 20/2023) dan berpindah ke BPN.
- Pembentukan BPN mengubah sistem akuntansi yang diterapkan oleh BPN jika berbeda dari DJP.
- Pembentukan BPN juga dapat memunculkan “abuse of power” sehingga diperlukan lembaga eksternal yang mengawasi BPN.
Berdasarkan aspek biaya yang diproyeksikan muncul, seharusnya dapat dimitigasi secara dini ketika pemerintahan baru di Indonesia benar-benar akan membentuk BPN. Selain itu, aspek manfaat yang telah diidentifikasi dapat dioptimalkan sehingga terwujud.
Pembentukan BPN berpotensi memperbaiki tata kelola dan efisiensi pajak melalui otonomi yang lebih besar, peningkatan pelayanan, dan pengurangan korupsi. Namun demikian, pembentukan BPN memunculkan tantangan atas perubahan regulasi, pergeseran budaya kerja, dan risiko penyalahgunaan kekuasaan. Meskipun pembentukan BPN dapat membawa sejumlah manfaat, tidak ada jaminan peningkatan tax ratio secara otomatis, sehingga implementasi harus didukung dengan komitmen kuat dari pemerintah.