Indonesia dalam beberapa tahun terakhir semakin aktif menunjukkan minat menjadi tuan rumah berbagai ajang olahraga dan budaya berskala internasional. Ambisi ini tidak hanya didasari oleh keinginan untuk meningkatkan prestasi nasional, tetapi juga oleh potensi ekonomi dan diplomasi “soft power” yang besar bagi Indonesia. pajak
Namun, satu aspek krusial yang kerap terabaikan dalam perencanaan penyelenggaraan acara internasional adalah kebijakan perpajakan. Di sinilah pentingnya melihat dari pengalaman negara-negara lain dalam menyusun insentif fiskal strategis, sebagaimana yang saat ini tengah dinegosiasikan dalam penyelenggaraan FIFA Club World Cup 2025 di Amerika Serikat.
Dilansir dari The Guardian, Club World Cup 2025 merupakan pertama kalinya FIFA memperluas format piala dunia antar-klub ini menjadi ajang turnamen dengan jumlah sebanyak 32 klub, mirip Piala Dunia negara. Dengan total hadiah mencapai 1 miliar dolar AS dan partisipasi klub-klub raksasa seperti Chelsea, Real Madrid, dan Palmeiras. Potensi ekonomi dari ajang ini luar biasa besar, namun muncul persoalan signifikan yaitu belum adanya kesepakatan terkait pengecualian pajak bagi klub-klub peserta atas pendapatan yang diperoleh selama turnamen berlangsung di Amerika Serikat.
Berbeda dengan Piala Dunia FIFA 2026 yang akan dilaksanakan di AS, Kanada, dan Meksiko yang seluruhnya telah menyepakati insentif pajak komprehensif, Club World Cup ini menghadapi risiko beban pajak berganda. Klub-klub bisa saja terkena pajak penghasilan federal dan negara bagian AS, sekaligus tetap dikenai pajak di negara asal mereka, karena belum tentu semua negara bagian AS mengakui perjanjian pajak bilateral (tax treaty) yang telah ditandatangani oleh pemerintah federal.
Sebagai contoh, klub seperti Paris Saint-Germain dijadwalkan bertanding di California, yang memiliki tarif pajak penghasilan negara bagian hingga 7%. Sebaliknya, klub yang bermain di Florida, seperti Real Madrid, akan terbebas dari pajak penghasilan negara bagian karena Florida tidak memungutnya.
Dari sinilah FIFA berupaya melakukan negosiasi langsung dengan pemerintah AS agar diberlakukan kebijakan pembebasan pajak atau insentif pajak tertentu, demi menjaga keadilan antar peserta dan menjamin kelangsungan finansial turnamen. Hal ini penting karena meskipun klub-klub besar menerima partisipasi bonus lebih dari 38 juta dolar AS, tanpa pengecualian pajak yang jelas, sebagian besar keuntungan tersebut bisa tergerus kewajiban pajak yang rumit dan tidak merata.
Aspek Pajak yang Dapat Dipelajari
Indonesia perlu menyadari bahwa daya tarik menjadi tuan rumah tidak hanya ditentukan oleh kesiapan infrastruktur atau fasilitas olahraga, tetapi juga oleh kepastian hukum dan fiskal. Negara-negara yang sukses menjadi tuan rumah ajang besar seperti Brasil (Olimpiade 2016), Rusia (Piala Dunia 2018), dan Qatar (Piala Dunia 2022) seluruhnya memberikan pengecualian pajak khusus bagi panitia, sponsor, penyiar, dan peserta. Kebijakan ini bukan semata-mata bentuk pengorbanan fiskal, melainkan bagian dari strategi jangka panjang untuk menarik investasi, meningkatkan pariwisata, dan membangun reputasi global.
Insentif pajak bukan berarti kehilangan penerimaan negara. Dalam banyak kasus, nilai ekonomi yang dihasilkan dari masuknya turis, peningkatan konsumsi domestik, serta eksposur media internasional, jauh melampaui potensi pajak langsung dari peserta. Sebagai contoh, meskipun banyak mitra Komite Olimpiade Internasional (IOC) tidak dikenakan pajak selama acara berlangsung, tetapi Brasil mencatatkan dampak ekonomi sebesar lebih dari USD 13 miliar dari Olimpiade Rio 2016. Ini menunjukkan bahwa strategi fiskal yang adaptif dapat memperkuat posisi fiskal jangka panjang bagi negara tuan rumah.
Selain itu, berdasarkan laporan OECD (2019) yang berjudul Taxation and the Sports Sector, penerapan kebijakan pajak yang efektif dalam sektor olahraga terutama bagi event internasional, membutuhkan pendekatan yang holistik dan strategis. Salah satu implikasi utama yang perlu diperhatikan Indonesia adalah bagaimana kebijakan pajak dapat mempengaruhi tidak hanya negara tuan rumah, tetapi juga negara asal peserta, sponsor, dan media yang terlibat.
Jika tidak dikelola dengan baik, pajak yang tidak adil atau tumpang tindih dapat menurunkan daya tarik Indonesia sebagai tuan rumah ajang olahraga internasional. Oleh karena itu, kebijakan pajak harus dirancang agar tidak menghalangi aliran investasi asing, terutama dalam hal sponsor dan pendapatan dari hak siar. OECD menyoroti pentingnya memiliki peraturan yang mengurangi pajak berganda (double taxation) untuk memfasilitasi pertumbuhan industri olahraga dan hiburan yang menguntungkan kedua belah pihak, yakni negara tuan rumah dan peserta.
Lebih lanjut, OECD (2019) juga menggarisbawahi pentingnya kerjasama antara otoritas pajak internasional untuk menyusun kebijakan pajak yang adaptif terhadap tren global. Negara tuan rumah harus menciptakan aturan yang dapat beradaptasi dengan pengaruh globalisasi dan digitalisasi dalam sektor olahraga. Oleh karena itu, Indonesia perlu memperhatikan dampak global revenue sharing, yang melibatkan hak siar internasional, sponsornya, dan produk-produk yang terintegrasi dengan acara besar.
Hilangnya Potensi Penerimaan
Tanpa kebijakan yang mencakup aspek ini, Indonesia berisiko kehilangan potensi penerimaan yang signifikan yang dapat diperoleh dari transaksi internasional. Keterbukaan Indonesia terhadap pajak yang lebih fleksibel, serta kemudahan administrasi untuk para peserta dan sponsor internasional, akan memberikan kesempatan lebih besar bagi Indonesia untuk memaksimalkan manfaat ekonomi dari penyelenggaraan ajang global.
Menjadi tuan rumah ajang internasional bukan hanya soal menggelar panggung, tetapi tentang menunjukkan kematangan sistem tata kelola, termasuk di bidang pajak. Jika Indonesia ingin menjadi pusat acara global di masa depan, baik olahraga, budaya, maupun teknologi. Maka sudah saatnya mulai membangun sistem fiskal yang strategis, kompetitif, dan inklusif.
Penulis: Muhammad Rizqi Mardhi
Editor: Lambang Wiji Imantoro