Pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan No. 15 Tahun 2025 (PMK-15/2025) tentang pemerikssaan pajak pada tanggal 10 Februari 2025 dan mulai berlaku pada tanggal 14 Ferbuari 2024. Penerbitan PMK-15/2025 dilatarbelakangi dengan tiga dasar pertimbangan yaitu, kepastian hukum, simplifikasi, dan pengaturan kembali atas ketentuan mengenai pemeriksaan pajak yang diatur dalam PMK-256/2014 dan PMK-17/2023 s.t.d.t.d PMK-18/2021. Secara lebih spesifik, kedua PMK tersebut belum mengatur penyesuaian mengenai pemeriksaan pajak dalam PP-50/2022, serta belum mengakomodir implementasi Coretax Administration System (CTAS). Selain itu, PMK-15/2025 juga merupakan peraturan pelaksana dari beberapa pasal di UU KUP dan Pasal 23 UU PBB.
Selanjutnya, Dr. Prianto memaparkan konsep dasar penalaran dari kepatuhan pajak, pemeriksaan, dan data matching sebagai pengantar sebelum memahami implementasi pengaturan pemeriksaan pajak yang diatur dalam PMK-15/2025. Wajib pajak memiliki kewajiban untuk menghitung dan melaporkan kewajiban perpajakannya menggunakan dua pendekatan yaitu official assessment (pajak terutang dihitung oleh otoritas pajak) dan self-assessment (pajak terutang dihitung oleh wajib pajak). Dikarenakan otoritas pajak memiliki keterbatasan SDM aparatur pajak, sehingga mayoritas seluruh negara menerapkan self assessment sebagai basis utamanya.
Oleh karena pajak terutang dihitung oleh wajib pajak, maka otoritas pajak melakukan pemeriksaan sebagai alat untuk menguji kepatuhan. Pemeriksaan pajak tidak hanya berlaku pada self-assessment tetapi juga diterapkan pada official assessment. Pada fase tersebut kemudian menjadi titik awal sebuah sengketa pajak karena wajib pajak dan otoritas pajak memiliki pandangan dan argumentasi masing-masing dalam menentukan pajak terutang yang harus dipenuhi oleh wajib pajak.
Pemeriksaan Sebagai Titik Awal Sengketa Pajak
Sengketa pajak merupakan salah satu konsekuensi dari perbedaan interpretasi antara wajib pajak dan otoritas pajak dalam menerapkan regulasi perpajakan. Menurut Prof. Dr. H.M. Hatta Ali, S.H., M.H., sebagaimana dikutip dalam buku Problematik Sengketa Pajak Dalam Mekanisme Peradilan Pajak di Indonesia (Djatmiko, 2016), sengketa pajak, yang mencakup Banding Pajak dan Gugatan Pajak di Pengadilan Pajak, merupakan ultimum remedium atau langkah terakhir bagi wajib pajak dalam mencari keadilan. Artinya, proses penyelesaian sengketa pajak melalui jalur hukum hanya dilakukan jika upaya administratif tidak lagi memberikan solusi yang memadai.
Sengketa perpajakan umumnya terjadi akibat perbedaan perspektif antara wajib pajak dan otoritas pajak dalam menginterpretasikan aspek hukum, akuntansi, dan ekonomi dalam suatu pemeriksaan. Salah satu contoh yang sering menjadi sumber perselisihan adalah perbedaan dalam menentukan konsep penghasilan dan biaya dalam perhitungan Penghasilan Kena Pajak (PhKP). Dalam praktiknya, wajib pajak sering kali memiliki pendekatan yang berbeda dengan yang diterapkan oleh otoritas pajak, terutama dalam mengklasifikasikan suatu pengeluaran sebagai biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.
Permulaan dari sengketa pajak juga tidak terlepas dari praktik data matching yang diatur dalam Pasal 35A UU KUP. Data matching merupakan metode yang digunakan otoritas pajak untuk mencocokkan informasi yang dilaporkan oleh wajib pajak dengan data pihak ketiga, seperti laporan keuangan, transaksi perbankan, atau data dari instansi lain. Jika terdapat ketidaksesuaian dalam data yang dilaporkan, hal ini dapat menimbulkan temuan dalam pemeriksaan yang berujung pada koreksi pajak dan berpotensi menimbulkan sengketa. Oleh karena itu, sengketa pajak tidak hanya sekadar perbedaan pendapat hukum, tetapi juga mencerminkan ketidaksepahaman dalam penerapan norma perpajakan dalam konteks ekonomi dan akuntansi.
Baca juga : Apakah WP Dapat Melakukan Pembetulan SPT Setelah Terbitnya Surat Perintah Pemeriksaan ?
Lebih lanjut, data matching dalam sistem perpajakan tidak hanya diterapkan dalam pengawasan kepatuhan pajak melalui penerbitan “surat cinta” berupa SP2DK (Surat Permintaan Penjelasan atas Data/Keterangan), tetapi juga menjadi instrumen utama dalam pemeriksaan pajak. Proses ini berfungsi sebagai dasar pengujian kepatuhan wajib pajak dengan memanfaatkan data dari berbagai sumber, termasuk laporan transaksi keuangan dan data perbankan. Pemeriksaan pajak yang dilakukan dengan pendekatan data matching didukung oleh regulasi yang komprehensif, sehingga dapat digunakan untuk mengidentifikasi potensi ketidaksesuaian antara penghasilan yang dilaporkan dengan transaksi yang sebenarnya terjadi.
Selain dalam pemeriksaan pajak, data matching juga memiliki peran penting dalam pemeriksaan bukti permulaan dan penyidikan pajak. Dalam ranah ini, data matching berfungsi sebagai alat utama untuk mengidentifikasi indikasi pelanggaran perpajakan yang lebih serius, seperti penghindaran pajak (tax avoidance) atau penggelapan pajak (tax evasion). Dengan demikian, data matching tidak hanya berperan dalam mendeteksi potensi pelanggaran administratif, tetapi juga dalam mendukung proses penegakan hukum perpajakan. Oleh karena itu, ketidaksesuaian dalam data yang ditemukan melalui metode ini sering kali menjadi pemicu utama sengketa pajak yang berujung pada proses hukum di Pengadilan Pajak.
Perbedaan Interpretasi Aturan Pajak
Pemahaman terhadap aturan pajak tidak terlepas dari dua aspek utama: pertama, interpretasi terhadap aturan pajak itu sendiri, dan kedua, interpretasi terhadap fakta hukum berdasarkan transaksi yang disepakati oleh para pihak. Dalam praktiknya, ketika terjadi sengketa pajak dan berujung pada proses litigasi, argumentasi hukum—baik dalam perspektif hukum pajak maupun hukum perjanjian—menjadi alat utama yang digunakan oleh masing-masing pihak yang bersengketa.
Dari sisi hukum pajak, argumentasi yang diajukan berasal dari interpretasi atas peraturan perpajakan yang berlaku, yang sering kali memunculkan perbedaan persepsi terhadap penerapan aturan. Sementara itu, dari sisi hukum perjanjian, perbedaan interpretasi dapat timbul dari dokumen transaksi yang dibuat berdasarkan kesepakatan para pihak. Oleh karena itu, ketidakpahaman atau perbedaan sudut pandang terhadap aturan dan dokumen transaksi ini menjadi salah satu pemicu utama sengketa pajak di Indonesia.
Dalam pemeriksaan pajak, perbedaan interpretasi sering kali dikaji menggunakan teori bounded rationality. Teori ini menyatakan bahwa individu tidak selalu bersikap rasional sempurna sebagaimana diasumsikan dalam teori ekonomi klasik yang berbasis rational choice theory. Salah satu aspek utama dari bounded rationality adalah bahwa dalam pengambilan keputusan, individu cenderung memilih hasil yang cukup memadai dan realistis (satisficing), bukan hasil yang paling optimal yang sebenarnya bisa diraih (optimal utility). Dalam konteks perpajakan, konsep ini menjelaskan bagaimana pemeriksa pajak dan wajib pajak mungkin memiliki pendekatan yang berbeda dalam menginterpretasikan suatu aturan, karena masing-masing pihak memiliki keterbatasan dalam akses informasi, perspektif, serta tujuan yang ingin dicapai.
Baca juga : Tips Menghadapi Pemeriksaan Pajak
Untuk menyelesaikan sengketa pajak yang kompleks, diperlukan pemahaman terhadap tiga aspek utama dalam konsep segitiga transaksi. Konsep ini menggambarkan bahwa setiap transaksi yang dilakukan oleh wajib pajak memiliki keterkaitan dengan hukum perjanjian, standar akuntansi, dan aspek perpajakan.
Setiap transaksi pajak lahir dari kesepakatan antara para pihak yang menjadi subjek hukum. Kesepakatan ini mengikat dan menjadi dasar hukum yang sah dalam menentukan hak dan kewajiban para pihak dalam transaksi tersebut. Selanjutnya transaksi yang telah disepakati kemudian dicatat dalam pembukuan berdasarkan prinsip akuntansi yang berlaku umum. Standar Akuntansi Keuangan (SAK) digunakan sebagai pedoman untuk memastikan bahwa pencatatan transaksi dilakukan secara transparan dan sesuai dengan aturan keuangan yang berlaku. Setiap transaksi yang terjadi memiliki implikasi perpajakan, baik dalam Pajak Penghasilan (PPh) maupun Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Oleh karena itu, interpretasi hukum perpajakan dan akuntansi menjadi sangat penting agar perlakuan pajaknya dapat diterapkan secara tepat dan akurat.
Dengan memahami hubungan antara ketiga aspek dalam segitiga transaksi, diharapkan baik wajib pajak maupun pemeriksa pajak dapat memiliki pemahaman yang lebih holistik dalam menangani sengketa pajak. Pemahaman yang lebih komprehensif ini juga dapat membantu dalam merumuskan kebijakan perpajakan yang lebih adil, transparan, dan sesuai dengan prinsip kepastian hukum.