Penulis : Gustofan Mahmud, S.Pd., M.Sc.
Jabatan : Analis Kebijakan Ekonomi di Pratama Institute for Fiscal Policy and Governance Studies
Bicara soal kontribusi sektor pertanian dalam pembangunan ekonomi, pandangan Friedrich List (1789 – 1846) agaknya sudah cukup mewakili. Dalam karyanya yang terkenal, Das Nationale system der politischem oekonomie, der International Handel, Handels politik und der Deutch ollverein (1841), List mengatakan bahwa upaya untuk menyukseskan industrialisasi akan sia-sia tanpa adanya pertanian yang sejahtera. Bagi List, jelas sekali bahwa aktivitas pertanian menduduki posisi strategis dalam proses pembangunan.
Pandangan List di atas didukung oleh proposisi konvensional yang datang belakangan. Menurut Johnston dan Mellor (1961), Ranis et al. (1990), Delgado et al. (1994), dan Timmer (2002), peran sentral pertanian dalam pembangunan dimediasi oleh mekanisme pasar. Hal ini berkaitan dengan (1) penyediaan output pertanian untuk menyuplai peningkatan substansial dalam permintaan makanan, (2) perluasan ekspor produk pertanian untuk meningkatkan perolehan devisa negara, (3) penyediaan bahan baku dan tenaga kerja untuk memperluas pasar bagi hasil industri, (4) pembentukan modal yang diperlukan untuk investasi tambahan dan perluasan aktivitas ekonomi sekunder, dan (5) peningkatan pendapatan bersih pedesaan sebagai stimulus industrialisasi.
Kebanyakan studi empiris memvalidasi pandangan List dan proposisi konvesional di atas. Misalnya, Morioka dan Kondo (2017) menemukan bahwa pertumbuhan produktivitas pertanian secara riil berdampak positif terhadap ketahanan pangan rumah tangga. Sementara itu, ketahanan pangan rumah tangga telah terbukti mampu meningkatkan level pembangunan ekonomi (Crush, 2013). Bukti empiris lainnya menunjukan bahwa investasi pada sub-sektor ekspor pertanian secara statistik memiliki dampak yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi (Dawson, 2005).
Hard-to-Tax Sector
Besarnya kontribusi sektor pertanian dalam perekonomian tentunya memunculkan ekspektasi terkait perannya dalam mendongkrak penerimaan pajak. Sayangnya, ekspektasi ini sepertinya tidak memperoleh dukungan teoritis maupun empiris.
Ekonom pajak paling tersohor seperti Richar M. Bird (1983), misalnya, menilai bahwa pertanian, khususnya di negara-negara berkembang, merupakan sektor yang paling sulit dipajaki (hard-to-tax). Pernyataan Bird ini bahkan telah divalidasi secara empiris oleh Rajaraman (2015) dengan menggunakan data statistik dari 70 negara berkembang. Studi Rajaraman menyimpulkan bahwa setiap kenaikan 1% pada porsi pertanian dalam produk domestik bruto (PDB) akan menurunkan rasio pajak terhadap PDB (tax-to-GDP ratio) sebesar 0,3%.
Lantas, mengapa hal tersebut dapat terjadi? Sebagaimana yang kita ketahui, sebagian besar pertanian di negara-negara berkembang berskala kecil dan berorientasi subsisten. Artinya, kebanyakan petani bercocok tanam semata-mata dalam rangka memenuhi kebutuhan pangan keluarga dan cenderung mengabaikan kebutuhan komersial. Pasokan output pertanian ke pasar hanya dilakukan apabila terdapat surplus dari output produksi, yang terjadi terutama pada puncak musim panen. Oleh karena itu, sektor ini tidak dapat diandalkan dalam menyediakan basis pajak potensial yang memadai.
Selain itu, produktivitas pertanian secara inheren terkait dengan faktor-faktor alamiah seperti suhu, radiasi matahari, karbon dioksida, dan ketersediaan air. Hal ini mengakibatkan sektor pertanian memiliki kerentanan intrinsik terhadap guncangan eksternal (exogenous shock) layaknya perubahan iklim. Oleh karena itu, upaya pemungutan pajak pertanian secara tidak langsung bergantung pada kapasitas negara dalam memitigasi perubahan iklim. Hal ini memaksa pemerintah untuk melakukan upaya ekstra dalam meningkatkan basis pajak pertanian yang berkelanjutan.
Dua persoalaan di atas menjadi lebih kompleks dengan adanya permasalahan fundamental yang biasa dihadapi perekonomian berkembang. Hal ini terkait dengan informalitas sektor pertanian. Kebanyakan para pemilik usaha di sektor ini tidak memiliki pencatatan rekening yang rinci, akurat, terorganisir, serta mengikuti standar akuntansi yang berlaku. Selain itu, praktik pembayaran biasanya dilakukan dalam bentuk tunai atau barang, yang tidak disalurkan melalui bank atau saluran formal lainnya. Mengingat kesenjangan informasi yang diakibatkan dari praktik pembayaran tersebut, sulit bagi otoritas pajak untuk mengestimasi kewajiban pajak perusahaan dalam proses penegakan.
Kesulitan dalam memajaki pertanian mungkin tidak terlalu menjadi perhatian di negara-negara maju, karena sektor ini hanya memiliki porsi minor dalam PDB (kurang dari 4% terhadap PDB, lihat Gambar 1). Namun, hal ini menjadi masalah krusial di negara-negara berkembang, dimana pangsa pertanian terhadap PDB mencapai 13 – 16% (lihat Gambar 2).
Gambar 1. Rata-Rata Kontribusi Sektor Pertanian terhadap PDB di Negara Maju (1995 – 2020)
Sumber: Dihitung oleh Penulis Berdasarkan National Accounts Data
Gambar 2. Rata-Rata Kontribusi Sektor Pertanian terhadap PDB di Negara Berkembang (1995 – 2020)
Sumber: Dihitung oleh Penulis Berdasarkan National Accounts Data
Oleh karena itu, sulitnya memajaki sektor pertanian di negara-negara berkembang bukan sekedar persoalan fiskal belaka. Hal ini dapat mempengaruhi kapasitas negara dalam memasok barang publik vital kepada masyarakat. Di titik ini, pemungutan pajak di sektor pertanian secara lebih efektif menjadi isu sentral dalam pembangunan. Selain meningkatkan pendapatan agregat, yang merupakan hal yang diharapkan, hal ini juga akan menggerakkan perpajakan menuju keseimbangan lintas sektoral yang lebih baik, dan dengan demikian meningkatkan efisiensi sistem perpajakan.
Upaya untuk Memajaki Sektor Pertanian
Sebagai respons dari persoalan di atas, otoritas pajak harus merancang kebijakan pajak yang tepat untuk sektor pertanian. Misalnya, dalam rangka mendorong komersialisasi pertanian skala kecil, insentif perpajakan sepertinya layak untuk dipertimbangkan. Kita dapat belajar dari kasus Georgia di awal 1999. Petani dengan lahan pertanian seluas 1 hektar di Georgia dibebankan pajak pendapatan hingga 56%. Hal ini men-discourace petani untuk memperluas lahan pertanian. Akibatnya, muncul usulan agar pertanian skala kecil dibebaskan dari semua pajak kecuali pajak tanah, yang harus dihitung berdasarkan kualitas tanah dan lokasinya (Kirvalidze, 1998).
Selain itu, mengingat setiap negara memiliki kapasitas alat mitigasi yang berbeda-beda (misalnya penggunaan energi terbarukan, sumber daya manusia, dan kualitas kelembagaan), dapat diasumsikan bahwa dampak perubahan iklim terhadap produktivtias pertanian juga berbeda-beda di tiap negara. Jika demikian, suatu negara mungkin akan berhenti memproduksi jenis tanaman yang hasil panennya menurun dan mengimpornya dari negara lain di mana tanaman tersebut jauh lebih tahan (resilience) terhadap perubahan iklim. Keunggulan komparatif ini harus dimanfaatkan oleh negara untuk meningkatkan frekuensi perdagangan lintas batas (cross-border trade), yang dianggap sebagai cara paling efektif untuk merangsang penerimaan pajak. Hal ini karena lokasi transaksi di perbatasan dapat dengan mudah diidentifikasi, sehingga tingkat penegakan pajak atas barang-barang impor sangat tinggi.
Terakhir, terkait dengan informalitas sektor pertanian, pemerintah dapat menanggulanginya dengan merancang skema perpajakan yang diterapkan di Uni Eropa. Misalnya, petani yang omsetnya melebihi ambang batas tertentu harus terdaftar di otoritas pajak. Hal ini dilakukan untuk menciptakan keadilan vertikal. Selain itu, penjualan hasil pertanian kepada industri pengolahan hasil pertanian (agro-processing industry) harus dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang sama dengan perusahaan manufaktur lainnya. Perlu dilakukan juga upaya penghapusan PPN atas input bagi petani yang tidak terdaftar PPN, sehingga mereka tidak memperhitungkannya sebagai pengeluaran dan tidak meleburnya ke dalam harga output.
Referensi:
Bird, R.M. (1983), “Income tax reform in developing countries: the administrative dimension”, Bulletin for International Fiscal Documentation, Vol. 37(1), pp. 3-4
Crush, J. (2013). Linking food security, migration and development. International Migration, 51(5), 61-75.
Dawson, P. J. (2005). Agricultural exports and economic growth in less developed countries. Agricultural economics, 33(2), 145-152.
Delgado, C. L. (Ed.). (1998). Agricultural growth linkages in sub-Saharan Africa (Vol. 107). Intl Food Policy Res Inst.
Johnston, B. F., & Mellor, J. W. (1961). The role of agriculture in economic development. The American Economic Review, 51(4), 566-593.
Kirvalidze, D. (1998): Taxation on Primary Agricultural Activities in Georgia, Brief Notes for Agricultural Policy Makers, The Fund for Georgian Private Farmers Assistance, Tbilisi.
List, F. (1841). Das nationale System der politischen Oekonomie: Der internationale Handel, die Handelspolitik und der deutsche Zollverein. BoD–Books on Demand.
Morioka, M., & Kondo, T. (2017). Agricultural productivity growth and household food security improvement in Nepal. Review of development economics, 21(4), e220-e240.
Rajaraman, I. (2004). Taxing agriculture in a developing country: A possible approach. Contributions to economic analysis, 268, 245-268.
Ranis, G., Stewart, F., & Reyes, E. A. (1990). Linkages in developing economies: A Philippine study.
Timmer, C. P., “Agriculture and Economic Development,” in B. Gardner, and G. Rausser, eds., Handbook of Agricultural Economics (Elsevier Science: Amsterdam, 2002).