Pemerintah Indonesia telah menetapkan target ambisius dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), yakni mendorong rasio pajak atau tax ratio hingga 23% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Target ini diharapkan mampu menopang pembiayaan pembangunan nasional yang semakin kompleks, mulai dari penguatan infrastruktur, pendidikan, hingga perlindungan sosial. Tax ratio yang tinggi juga mencerminkan kemandirian fiskal suatu negara, sebuah cita-cita penting di tengah ketidakpastian ekonomi global.
Namun, realisasi tax ratio Indonesia selama beberapa tahun terakhir masih jauh dari harapan. Data dari Kementerian Keuangan menunjukkan bahwa pada 2023, tax ratio Indonesia baru menyentuh angka sekitar 10,4%, naik dari 9,11% pada 2021, tetapi tetap jauh dari target ideal. Dalam waktu kurang dari dua tahun, Pemerintah harus menggandakan performa penerimaan pajak untuk mendekati target 23%, sebuah tantangan yang tidak ringan.
Pemerintah tidak tinggal diam. Berbagai langkah reformasi fiskal telah dicanangkan, mulai dari implementasi Core Tax Administration System (CTAS), intensifikasi pemungutan pajak, hingga optimalisasi penerimaan negara bukan pajak dan royalti.
Namun, pertanyaannya, seberapa realistis target ini bisa dicapai di tengah tekanan makro ekonomi, seperti pengangguran yang masih tinggi, inflasi yang menggerus daya beli, serta pertumbuhan ekonomi yang belum sepenuhnya stabil?
Realita Pahit di Balik Target Ambisius
Dalam teori ekonomi publik, tax ratio tidak hanya dipengaruhi oleh kemampuan pemerintah dalam memungut pajak, tetapi juga erat kaitannya dengan struktur ekonomi, tingkat kepatuhan wajib pajak, serta efektivitas administrasi perpajakan. Dengan kata lain, tax ratio tidak bisa dipisahkan dari kondisi makro ekonomi nasional.
Saat ini, Indonesia menghadapi beberapa tantangan struktural yang menjadi penghambat utama dalam peningkatan tax ratio. Pertama, basis pajak Indonesia masih sempit. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa mayoritas pelaku ekonomi berada di sektor informal yang sulit dijangkau oleh sistem perpajakan konvensional. Menurut estimasi Bank Dunia, lebih dari 60% tenaga kerja Indonesia berada di sektor informal, yang artinya potensi penerimaan pajak penghasilan orang pribadi dan pajak pertambahan nilai (PPN) dari kelompok ini sangat terbatas.
Kedua, daya beli masyarakat yang belum sepenuhnya pulih pasca pandemi COVID-19 menjadi pertimbangan serius. Inflasi, meski mulai terkendali, tetap memberikan tekanan pada konsumsi rumah tangga. Jika konsumsi menurun, basis pemungutan PPN sebagai salah satu kontributor utama penerimaan negara juga akan terdampak.
Ketiga, meskipun pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2023 mencatat angka sekitar 5,05%, pertumbuhan ini masih sangat bergantung pada konsumsi domestik dan ekspor komoditas, bukan dari ekspansi sektor manufaktur berorientasi nilai tambah yang memiliki potensi pajak lebih besar. Artinya, kenaikan PDB belum tentu berbanding lurus dengan peningkatan penerimaan pajak.
Dari sisi administrasi, pemerintah menaruh harapan besar pada CTAS, sebuah sistem administrasi perpajakan terintegrasi yang dirancang untuk meminimalisir kebocoran dan mempermudah wajib pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakan. Namun, transformasi sistem ini tidak dapat memberikan dampak instan. Pengalaman negara-negara lain menunjukkan bahwa implementasi sistem serupa biasanya memerlukan waktu adaptasi minimal 3–5 tahun sebelum mampu mendongkrak tax ratio secara signifikan.
Selain itu, sejalan dengan teori slippery slope framework yang Kirchler dan kawan-kawan narasikan, kepatuhan pajak wajib sejatinya ditopang oleh kepercayaan publik terhadap pemerintah. Sayangnya, tingkat kepercayaan publik saat ini cenderung turun di tengah isu korupsi, ketidakadilan dalam pengelolaan anggaran, dan lemahnya transparansi pengeluaran negara.
Langkah Nyata, Bukan Sekadar Angka
Dengan mempertimbangkan berbagai faktor di atas, target tax ratio 23% tampaknya lebih bersifat utopis ketimbang realistis, kecuali ada gebrakan strategis dalam reformasi struktural dan administrasi perpajakan. Untuk memperbesar peluang pencapaian target tersebut, Pemerintah perlu menempuh beberapa langkah prioritas.
Pertama, mempercepat proses integrasi data lintas kementerian dan lembaga, termasuk perbankan dan e-commerce, guna memperluas basis data perpajakan. Kedua, mendorong formalisasi sektor informal lewat insentif fiskal dan kemudahan administrasi, sehingga pelaku usaha mikro dan kecil terdorong untuk masuk ke dalam sistem perpajakan.
Ketiga, meningkatkan literasi perpajakan masyarakat dan memperbaiki kualitas layanan Direktorat Jenderal Pajak agar kepatuhan sukarela dapat meningkat.Terakhir, pemerintah juga perlu memperkuat akuntabilitas pengelolaan anggaran negara sehingga publik merasa pajak yang dibayarkan benar-benar kembali dalam bentuk pelayanan publik yang berkualitas.
Sebagai catatan, pertumbuhan tax ratio yang sehat seharusnya dibangun secara berkelanjutan. Oleh karena itu, alih-alih mengejar angka 23%, pemerintah sebaiknya lebih fokus pada perbaikan fondasi perpajakan yang kuat agar sistem fiskal Indonesia lebih tahan banting di masa depan.
Penulis: Fitri Aulia (Mahasiswa Institut Bisnis dan Komunikasi Swadaya/SWINS)