Penerimaan pajak merupakan salah satu sumber utama pendapatan negara yang digunakan untuk membiayai berbagai program pembangunan dan pelayanan publik. Salah satu indikator penting untuk mengukur kinerja sistem perpajakan sebuah negara adalah tax ratio, yang menggambarkan kontribusi pajak terhadap produk domestik bruto (PDB). Salah satu langkah yang dapat diambil untuk meningkatkan tax ratio di Indonesia adalah dengan mengintegrasikan teknologi digital dalam sistem perpajakan, yang dikenal dengan istilah hilirisasi digital.
Di Indonesia, tax ratio masih tergolong rendah dibandingkan dengan negara-negara berkembang lainnya. Menurut data World Bank, Indonesia memiliki tax ratio yang berada di bawah 12% dari PDB, angka yang jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya. Oleh karena itu, penting untuk mencari solusi untuk meningkatkan tax ratio ini, salah satunya melalui pemanfaatan digitalisasi dalam sistem perpajakan.
Digitalisasi Perpajakan
Hilirisasi digital dapat menjadi upaya yang layak diperjuangkan oleh pemerintah dalam mewujudkan sistem yang menghadirkan kemudahan pada setiao kegiatan pencatatan, pelaporan, dan pembayaran pajak, sekaligus digitasilasi juga dapat diharapkan untuk meminimalisir potensi kebocoran dan kesalahan administratif.
Digitalisasi ini tidak hanya akan meningkatkan efisiensi dan efektivitas administrasi perpajakan, tetapi juga dapat memperluas basis pajak dengan mencakup sektor-sektor yang sebelumnya sulit dijangkau, khususnya sektor informal.
Pentingnya hilirisasi digital dalam perpajakan tidak dapat dipandang sebelah mata. Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia telah mengimplementasikan berbagai sistem digital dalam perpajakan, salah satunya adalah e-filing, dan e-billing. Sistem ini dirancang untuk mempermudah wajib pajak dalam melaporkan dan membayar kewajiban perpajakannya secara online.
Seiring dengan kemajuan teknologi, sektor pajak pun bergerak menuju era berbasis data yang memungkinkan penggunaan informasi yang lebih akurat dan terintegrasi. Teknologi ini tidak hanya mendukung pelaporan pajak yang lebih transparan, tetapi juga membuka peluang untuk menggali potensi pajak yang belum tersentuh oleh sistem perpajakan tradisional. Salah satu gebrakan tersebut muncul dalam bentuk Core Tax Administration System (CTAS).
Baca juga: Bagaimana CTAS Mengubah Cara Membayar Pajak?
CTAS sendiri merupakan sistem administrasi pajak yang dirancang oleh pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP), serta merupakan bagian dari upaya pemerintah dalam melakukan reformasi perpajakan. Seperti dikutip dari laman resmi Ditjen Pajak, reformasi perpajakan sendiri terdiri dari lima pilar yakni penyederhanaan organisasi, penyediaan SDM yang berintegritas, teknologi informasi berbasis data, penyederhanaan proses bisnis, dan kepastian hukum melalui penyederhanaan peraturan perpajakan.
Pemerintah Indonesia juga telah mengambil langkah positif dengan meluncurkan sistem e-faktur untuk transaksi pajak Pertambahan Nilai (PPN). Sistem ini memungkinkan setiap transaksi yang melibatkan PPN untuk dilaporkan melalui sistem elektronik, yang langsung terintegrasi dengan Direktorat Jenderal Pajak. Hal ini memungkinkan pemerintah untuk lebih mudah memantau transaksi dan mencegah penghindaran pajak. Namun, untuk mengoptimalkan potensi e-invoice, perlu ada upaya untuk memperluas implementasi sistem ini ke lebih banyak sektor, termasuk sektor informal yang sulit terdeteksi oleh sistem pajak tradisional.
Sistem Berbasis Big Data
Sektor informal di Indonesia, seperti pedagang kaki lima, pengusaha kecil, dan pekerja lepas, menjadi tantangan besar bagi pemerintah dalam mengumpulkan pajak. Meskipun sektor ini memberikan kontribusi besar terhadap ekonomi Indonesia, mereka seringkali tidak terdaftar sebagai wajib pajak, atau bahkan tidak memiliki kewajiban pajak sama sekali. Hal ini berkontribusi pada rendahnya tax ratio di Indonesia. Salah satu solusi untuk menjangkau sektor informal adalah dengan menggunakan sistem pajak berbasis data.
Untuk dapat menjadring potensi penerimaan dari sektor Informal, pemerintah perlu mengupayakan istem pajak berbasis data, atau dikenal juga dengan istilah big data, yang memungkinkan pemerintah untuk mengumpulkan dan menganalisis data dari berbagai sumber tak terkecuali dari sektor informal, untuk mengidentifikasi potensi pajak yang belum terealisasi.
Pemerintah juga dapat menggunakan data transaksi digital yang tercatat dalam aplikasi pembayaran atau e-commerce untuk memetakan aktivitas ekonomi di sektor informal. Dengan cara ini, pemerintah dapat menyusun kebijakan pajak yang lebih tepat sasaran dan memperluas basis pajak dengan lebih efektif.
Di Indonesia, platform e-commerce seperti Tokopedia, Bukalapak, dan Shopee telah berkembang pesat dalam beberapa tahun terakhir. Banyak pengusaha kecil yang kini beralih ke platform-platform ini untuk melakukan transaksi jual beli. Melalui sistem digital ini, pemerintah dapat mengakses data transaksi yang terjadi di platform tersebut, yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi wajib pajak potensial.
Dengan pemanfaatan teknologi seperti ini, pajak dari sektor informal dapat diperoleh tanpa perlu menggantungkan pada sistem tradisional yang sering kali sulit menjangkau seluruh aspek sektor ini.
Selain itu, penggunaan teknologi blockchain juga dapat menjadi solusi untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas dalam sistem perpajakan. Teknologi ini dapat digunakan untuk mencatat setiap transaksi secara aman dan transparan, sehingga mengurangi potensi penghindaran pajak. Dengan mengintegrasikan blockchain dalam sistem perpajakan, pemerintah dapat memastikan bahwa setiap transaksi yang tercatat memang valid dan sesuai dengan ketentuan pajak yang berlaku.
Hilirisasi Digital Sebagai Senjata Melawan Tax Evasion
Digitalisasi perpajakan juga dapat mendukung upaya pemberantasan praktik penghindaran pajak dan penggelapan pajak. Dengan adanya sistem yang terintegrasi dan berbasis data, pemerintah dapat memantau aktivitas ekonomi dengan lebih cermat, mengidentifikasi potensi penghindaran pajak, dan menindak pelaku yang melakukan manipulasi data atau pelaporan pajak yang tidak sesuai. Hal ini tentu saja akan meningkatkan kepatuhan wajib pajak dan mendorong terciptanya sistem perpajakan yang lebih adil dan merata.
Namun, untuk mewujudkan transformasi digital dalam perpajakan ini, pemerintah perlu melakukan beberapa langkah penting. Pertama, perlu ada peningkatan infrastruktur teknologi informasi di seluruh Indonesia, termasuk di daerah-daerah terpencil yang masih kesulitan mengakses internet.
Kedua, sosialisasi kepada masyarakat tentang pentingnya kewajiban pajak dan manfaat dari digitalisasi perpajakan juga harus dilakukan dengan lebih gencar. Terakhir, pengembangan sistem yang lebih user-friendly dan dapat diakses oleh semua lapisan masyarakat perlu terus dilakukan agar digitalisasi ini tidak hanya dinikmati oleh kalangan tertentu saja.
Kesimpulannya, untuk meningkatkan tax ratio di Indonesia, digitalisasi dalam perpajakan adalah solusi yang sangat potensial. Melalui penggunaan teknologi seperti e-invoice, pajak berbasis data, dan blockchain, pemerintah dapat memperluas basis pajak dengan mencakup sektor informal yang selama ini sulit dijangkau.
Selain itu, digitalisasi juga dapat meningkatkan transparansi, akuntabilitas, dan kepatuhan wajib pajak, yang pada gilirannya akan meningkatkan penerimaan pajak negara. Oleh karena itu, hilirisasi digital dalam sistem perpajakan harus menjadi prioritas dalam upaya pemerintah meningkatkan tax ratio dan memperkuat perekonomian Indonesia.