Pemerintah di penghujung tahun kembali melakukan kejutan terkait penerbitan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) di bidang perpajakan. Sebelumnya, di tanggal 29 Desember 2023 terbit PMK-168/2023 yang mensimplifikasi pelaksanaan pemotongan PPh Pasal 21 dengan skema Tarif Efektif Rata-Rata (TER).
Setahun berselang, tepatnya 31 Desember 2024 diterbitkan PMK-131/2024. Aturan tersebut merupakan tindak lanjut dari penyesuaian ketentuan PPN yang berlaku untuk tahun 2025.
Sesuai amanat Pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-Undang PPN, pemerintah diharuskan untuk menaikkan tarif PPN menjadi 12% terhitung mulai 1 Januari 2025. Di sisi lain, pemerintah juga dihadapkan dengan kritikan dari berbagai pihak yang menyatakan bahwa kebijakan tersebut akan menekan daya beli masyarakat sehingga dapat berimbas terhadap pertumbuhan ekonomi.
Sebagai solusi dari situasi tersebut, pemerintah akhirnya menerbitkan PMK-131/2024 yang mengatur tentang pengenaan “tarif efektif” PPN. Lalu apa yang dimaksud dengan “tarif efektif” PPN?
Tarif PPN
Pasal 8A ayat (1) Undang-Undang PPN menyebutkan bahwa PPN terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dengan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) meliputi Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor, Nilai Ekspor, atau nilai lain.
Masih dalam beleid yang sama, Pasal 16G huruf a menyebutkan bahwa ketentuan Pasal 8A ayat (1) akan diatur lebih lanjut dalam PMK, yang di antaranya adalah PMK-131/2024. Secara ringkas, Pasal 3 beleid tersebut menjelaskan bahwa atas transaksi selain yang berhubungan dengan Barang Kena Pajak (BKP) tergolong mewah, PPN terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif PPN 12% dengan DPP berupa nilai lain sebesar 11/12 dari nilai transaksi.
Mengacu pada perhitungan tersebut, beban PPN yang ditanggung oleh Wajib Pajak sebenarnya adalah sebesar 11%. Oleh karena itu, meskipun terdapat kenaikan tarif PPN berdasarkan Undang-Undang, namun tarif atas beban PPN (tarif efektif PPN) yang harus disetorkan oleh Wajib Pajak tidak mengalami perubahan sama sekali. Kemudian, transaksi apa yang sebenarnya terdampak dengan kenaikan tarif PPN?
Transaksi Kena PPN
Terdapat 2 jenis transaksi, pertama adalah transaksi impor dan penyerahan BKP tergolong mewah, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 PMK-131/2024. Khusus atas transaksi penyerahan kepada konsumen akhir, ketentuan Pasal 2 baru berlaku mulai 1 Februari 2025, sebagaimana dijelaskan lebih lanjut dalam Pasal 5 beleid yang sama.
Terkait ketentuan BKP tergolong mewah, merujuknya pada PMK-141/2021 s.t.d.t.d PMK-42/2022 tentang penetapan jenis BKP kendaraan bermotor yang dikenai PPnBM serta PMK-96/2021 s.t.d.t.d PMK-15/2023 tentang penetapan jenis BKP selain kendaraan bermotor yang dikenai PPnBM.
Kedua adalah transaksi yang ketentuan perpajakannya telah diatur dengan PMK tersendiri, yaitu pengenaan PPN atas transaksi penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) dan BKP yang dihitung berdasarkan DPP nilai lain dan PPN besaran tertentu, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 PMK-131/2024.
Terkait ketentuan DPP nilai lain dapat merujuk di antaranya ke PMK-121/2015 tentang nilai lain sebagai DPP untuk transaksi seperti pemakaian sendiri serta pemberian cuma-cuma BKP/JKP. Sementara itu, sehubungan dengan ketentuan PPN besaran tertentu, aturannya merujuk di antaranya ke PMK-61/2022 tentang PPN atas kegiatan membangun sendiri.
Transasksi PPN dengan Kode Baru
Dengan sejumlah perubahan signifikan, dapat dikatakan bahwa ke depannya mayoritas transaksi PPN akan menggunakan kode transaksi faktur pajak 04 karena penambahan ketentuan terkait skema DPP nilai lain, sebagaimana yang terbaru diatur dalam PMK-131/2024.
Namun perlu diketahui, transaksi penyerahan berdasarkan DPP nilai lain sebenarnya berada di urutan ke-4 prioritas penggunaan kode faktur pajak, sesuai penjelasan lampiran Peraturan Dirjen Pajak No. 11 tahun 2022 (PER-11/2022) tentang format dan tata cara penggunaan kode dan nomor seri faktur pajak. Secara ringkas, aturan tersebut disajikan dalam bagan berikut.

Selama Wajib Pajak melakukan penyerahan yang tidak terkait dengan Barang Kena Pajak (BKP) mewah maka perhitungan PPN terutang tetap mengacu pada skema DPP nilai lain berdasarkan PMK-131/2024. Termasuk terkait dengan penyerahan yang mendapatkan fasilitas PPN tidak dipungut atau ditanggung pemerintah (kode 07), fasilitas PPN dibebaskan (kode 08), serta penyerahan kepada pihak pemungut PPN instansi pemerintah (kode 02) maupun pemungut PPN selain instansi pemerintah (kode 03).
Lebih lanjut, petunjuk teknis penerbitan faktur pajak dalam rangka pelaksanaan PMK-131/2024 dapat merujuk ke PER-1/2025. Secara umum, penjelasan terpenting dalam beleid tersebut adalah mengenai ketentuan faktur pajak dalam masa transisi.
Dalam hal ini, Dirjen Pajak tidak akan menerapkan sanksi denda sebesar 1% dari DPP sesuai ketentuan Pasal 14 ayat (4) Undang-Undang KUP, apabila terjadi kesalahan dalam penulisan tarif PPN terutang pada faktur pajak yang diterbitkan dari tanggal 1 Januari sampai dengan 31 Maret 2025.