Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI) Prianto Budi Saptono mengungkapkan, rencana Tax Amnesty (TA) jilid 2 ternyata mirip dengan program Sunset Policy (SP) yang pernah “sukses” di 2008. Namum, TA jilid 2 kemingkinan tidak akan semenarik TA jilid 1.
Hal tersebut mengacu pada dokumen Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang beredar di masyarakat. Meskipun demikian, rencana kebijakan pajak tersebut masih berkaitan dengan program TA jilid 1 yang telah berlangsung di periode Juli 2016-Maret 2017.
Yang jelas, apapun nama kebijakan pajak yang tengah ramai diperbincangkan tersebut, secara konseptual, beleid TA jilid 2 atau SP sama-sama menggunakan model “sunset clause” atau “sunset provision”. Pasalnya, kebijakan pajak tersebut hanya bersifat sementara dan memunculkan klausul peraturan dengan batas pemberlakuan. Ibarat matahari terbenam (sunset), prosesnya tidak lama dan hanya beberapa menit.
Program TA jilid 2, ataupun SP, yang sudah diusulkan pemerintah ke DPR tersebut tertuang di RUU KUP (Rancangan Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan). Menurut Prianto, “Paling tidak, ada dua Program Utama dari rencana kebijakan pajak yang bertujuan untuk mengatasi shortfall pajak akibat pandemi COVID-19 tersebut”.
Program Utama I adalah untuk peserta TA jilid 1 yang ternyata belum ungkapkan semua aset per 31/12/2015 sesuai SKPP (Surat Keterangan Pengampunan Pajak). Program Utama II adalah untuk Wajib Pajak orang pribadi (WPOP) dengan tiga kriteria kumulatif berikut. Pertama, WPOP memperoleh aset di periode 2016-2019. Kedua, WPOP tersebut masih memiliki aset perolehan 2016-2019 tersebut hingga 31/12/2019. Ketiga, aset perolehan 2016-2019 tersebut belum dilaporkan di SPT PPh OP (Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan Orang Pribadi) 2019.
Untuk Program Utama I, pengungkapan aset per 31/12/2015 yang masih belum dilaporkan di TA jilid 1 akan dikenai PPh final sebesar 15% dari nilai aset. Namun, jika aset tersebut diinvestasikan ke SBN (Surat Berharga Negara) yang Pemerintah tentukan, tarif pajak finalnya sebesar 12,5% dari Nilai Aset.
Kedua tarif di atas, menurut Prianto, masih lebih rendah dari tarif PPh final sesuai skema PAS Final (Pengungkapan Aset Sukarela dengan Tarif PPh final) yang diatur di Peraturan Menkeu (PMK) No. 118/PMK.03/2016 dan perubahannya. Sampai saat ini, PMK tersebut sudah direvisi dua kali dan revisi terakhir mengacu pada PMK No. 165/PMK.03/2017.
Bagi peserta Program Utama I, baik badan maupun orang pribadi, Pemerintah akan berikan fasilitas penghapusan sanksi. Akan tetapi, jika program TA Jilid 2 sudah selesai dan ternyata kantor pajak masih temukan aset yang belum dilaporkan, kantor pajak akan kenakan sanksi 200% sesuai UU No. 11/2016 tentang Pengampunan Pajak.
Dokumen Kemenkeu di atas tidak menyebutkan sanksi yang dihapus secara lebih spesifik. Namun demikian, menurut Prianto, “Jika dirujuk UU No. 11/2016, sanksi pidana telah dihapus berdasarkan SKPP di TA jilid 1. Jadi, sanksi yang dihapus menurut TA jilid 2 fokus pada sanksi administrasi berupa kenaikan 200%”.
Bagi peserta Program Utama II, aset perolehan 2016-2019 yang memenuhi tiga kriteria f 20% dari deklarasi aset sepanjang aset tersebut diinvestasikan ke SBN yang Pemerintah tentukan.
Tarif 30% di atas sama dengan tarif tertinggi di UU PPh. Jika tarif ini disepakati oleh DPR dan ditetapkan, menurut Prianto, program TA jilid 2 kemungkinan tidak akan menarik. Pasalnya, tarif 30% tersebut jauh lebih tinggi dari tarif TA jilid 1.
Selain itu, tambahan harta sesuai data AEoI 2018 tidak selalu berasal dari tambahan kemampuan ekonomis yang menjadi objek PPh. Data AEoI 2018 dapat juga bersumber dari mutasi rekening dari institusi keuangan di suatu negara yang tidak menandatangani kesepakatan AEoI. Dengan demikian, tidak ada tambahan kemampuan ekonomis dan Wajib Pajak cukup melakukan pembetulan SPT PPh OP.
Bagi WPOP yang sudah mengikuti TA jilid 2, pemerintah menjanjikan fasilitas penghapusan sanksi. “Untuk hal ini, tidak disebutkan lebih rinci, apakah hanya sanksi administrasi atau termasuk sanksi pidana. Agar memberikan daya tarik, penghapusan sanksi tersebut harus mencakup sanksi administrasi dan sanksi pidana untuk periode 2016-2019,” katanya.
WPOP yang sudah ikut TA jilid 2, tapi ternyata masih memiliki aset per 31/12/2019 yang belum dilaporkan, pemerintah akan mengenakan PPh final 30% dari nilai aset plus sanksi bunga per bulan. Prianto menambahkan. Sanksi bunga ini lebih rendah dari risiko sanksi sesuai TA jilid 1 yang berupa sanksi kenaikan 200%.
“Informasi di atas tentu saja masih sangat summir (jauh dari lengkap). Namun demikian, informasi tersebut dapat memberikan pencerahan bagi masyarakat luas terkait isu hangat tentang rencana TA jilid 2,” ujar Prianto.
Pada akhirnya, kata Prianto, apapun jenis kebijakan pajaknya, ungkapan terkenal ‘taxation without representation is robbery’ menjadi sangat relevan bagi semua Wajib Pajak”. Dengan kata lain, perpajakan itu identik dengan “perampokan” yang seringkali bersifat memaksa. Istilah “perampokan” menjadi hilang ketika sudah ada persetujuan dari perwakilan rakyat di DPR, meski sifat memaksanya masih ada.
Prianto mengungkapkan, hal di atas sejalan dengan bunyi Pasal 23A UUD 1945. Konstitusi kita menyatakan, pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.
Narasumber:
Dr. Prianto Budi Saptono, Ak., CA, MBA
Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute