Dhanika Purnasari
Tax Consulting & Advisory
Perjanjian Pranikah
Belakangan ini banyak public figure yang melakukan perceraian, dari kalangan artis papan atas, musisi, dan yang lainnya. Ternyata sebagian dari mereka ada yang membuat perjanjian pranikah yang dikenal dengan prenuptial agreement, ada juga yang tidak. Pembuatan perjanjian pranikah masih terbilang asing di tengah masyarakat karena bagi sebagian orang, perjanjian ini memiliki kesan tabu dan menunjukan keegoisan dari salah satu pihak. Padahal, sejatinya, perjanjian ini melindungi kedua pasangan bilamana terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, seperti perceraian atau kematian.
Soetojo Prawirohamidjojo (2012) menjelaskan bahwa perjanjian pra-nikah atau perjanjian perkawinan adalah persetujuan yang dibuat oleh calon suami istri sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan untuk mengatur akibat-akibat perkawinan terhadap harta kekayaan mereka. Merujuk pada Pasal 29 Ayat 1 UU No. 1 Tahun 1974 (UU Perkawinan), Sebelum atau saat pelaksanaan perkawinan, kedua pihak dapat membuat perjanjian tertulis yang akan disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan.
Faktanya, perjanjian pra-nikah bagi seorang Wajib Pajak (WP) berpengaruh kepada status perpajakannya. Hal ini disebabkan karena perjanjian pra nikah berfungsi sebagai kontrak bersama untuk melindungi asset atau harta bawaan dalam jumlah besar yang dimiliki oleh masing-masing pihak (Soetojo Prawirohamidjojo, 2012). Jika ditinjau dari sisi pajak, apakah bagi seorang wajib pajak lebih menguntungkan memiliki perjanjian pranikah atau justru sebaliknya?
Status Kewajiban Perpajakan Suami-Istri
Sistem pengenaan pajak di Indonesia menempatkan keluarga sebagai sebuah kesatuan (single entity). Namun meskipun begitu, suami-istri diberikan kebebasan untuk memilih status perpajakannya masing-masing. Sementara itu, status perpajakan suami dan istri dibedakan menjadi 4 jenis sebagai berikut:
1. Kepala Keluarga (KK)
Status WP dengan suami-istri yang tidak menghendaki untuk melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan secara terpisah. Istri dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya menggunakan NPWP suami atau kepala keluarga.
2. Pisah Harta (PH)
Status WP dengan penghasilan suami-istri dikenai pajak secara terpisah karena dikehendaki secara tertulis oleh suami-istri berdasarkan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan atau yang biasa disebut perjanjian pranikah.
3. Memilih Terpisah (MT)
Status WP dengan penghasilan suami-istri dikenai pajak secara terpisah karena dikehendaki oleh istri yang memilih untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri
4. Hidup Berpisah (HB)
Status WP dengan penghasilan suami-istri dikenai pajak secara terpisah karena suami-istri telah hidup berpisah berdasarkan putusan hakim
Studi Kasus Kewajiban Perpajakan Pisah Harta
Nah, apabila Sobat Pratama memutuskan untuk memiliki perjanjian pra-nikah, status kewajiban perpajakan Sobat Pratama menjadi Pisah Harta, yaitu dikenai pajak secara terpisah. Bagaimana konsekuensi dari status tersebut?
Sebetulnya, Wajib Pajak dengan status PH, berpotensi menimbulkan kewajiban pajak yang lebih besar, loh. Mari simak ilustrasi berikut ini:
Tuan A dan Nyonya B menikah dan belum memiliki anak. Tuan A dan Nyonya B memilih untuk menggabung kewajiban perpajakannya dengan status Kepala Keluarga atau KK. Tuan A memiliki penghasilan neto setahun sebesar Rp 200.000.000 dan Nyonya B memiliki penghasilan neto setahun dari 1 pemberi kerja sebesar Rp 100.000.000. Dalam hal ini, penghasilan Nyonya B dianggap sebagai penghasilan final, sehingga perhitungan pajak tahunan Tuan A menjadi sebagai berikut:
Penghasilan neto setahun | Rp 200.000.000 | |
PTKP (K/0) | ||
– WP Sendiri | Rp 54.000.000 | |
– status kawin | Rp 4.500.000 | |
Total PTKP | Rp 58. 500.000 | |
Penghasilan Kena Pajak | Rp 141.500.000 | |
PPh Pasal 17 | ||
– Rp 0 s.d Rp 60 juta | 5% | Rp 3.000.000 |
– Rp 60 juta s.d Rp 250 juta | 15% | Rp 12.225.000 |
PPh Terutang | Rp 15.225.000 |
Penghasilan neto setahun Tuan A Rp 200.000.000 terlebih dahulu dikurangkan dengan total PTKP bagi WP dengan status kawin sebesar Rp 58.500.000. Dengan demikian, penghasilan kena pajak adalah sebesar Rp 141.500.000. Selanjutnya penghasilan kena pajak dikalikan dengan tarif progresif Pasal 17 UU PPh dengan lapisan 5% dan 15%, sehingga menghasilkan PPh terutang sebesar Rp 15.225.000.
Sementara itu, jika Tuan A dan Nyonya B memilih untuk memiliki perjanjian pranikah Pisah Harta, ilustrasi perhitungan PPh tahunannya menjadi sebagai berikut:
Penghasilan Neto Tuan A | Rp 200.000.000 | |
Penghasilan Neto Ny. B | Rp 100.000.000 | |
Penghasilan Neto Gabungan | Rp 300.000.000 | |
PTKP (K/I/0) | ||
- WP sendiri | Rp 54.000.000 | |
- Status kawin | Rp 4.500.000 | |
- Istri | Rp 54.000.000 | |
Total PTKP | Rp 112.500.000 | |
Penghasilan Kena Pajak | Rp 187.500.000 | |
PPh Pasal 17 | ||
Rp 0 s.d Rp 60 Juta | 5% | Rp 3.000.000 |
Rp 60 Juta s.d Rp 250 Juta | 15% | Rp 19.125.000 |
PPh Terutang | Rp 22.125.000 |
Total penghasilan gabungan Tuan A dan Nyonya B sebesar Rp 300.000.000. Total PTKP untuk Tuan A, istri, dan status kawin adalah sebesar Rp 112.500.000. Dengan demikian penghasilan neto gabungan dikurangi total PTKP merupakan penghasilan kena pajak sebesar Rp 187.500.000. Selanjutnya penghasilan kena pajak dikalikan dengan tarif progresif Pasal 17 UU PPh dengan lapisan 5% dan 15%, sehingga menghasilkan PPh terutang sebesar Rp 22.125.000. Dengan masing-masing proporsi PPh terutang Tuan A sebesar Rp 14.750.000 dan Nyonya B sebesar Rp 7.375.000.
Berdasarkan ilustrasi sebelumnya, PPh terutang Tuan A dan Nyonya B dalam 1 tahun pajak jika digabung (KK) adalah sebesar Rp 15.225.000, sementara itu, jika memilih untuk PH, menjadi Rp 22.125.000. Dalam hal ini, pajak yang harus dibayarkan oleh WP dengan status PH akan menjadi lebih besar dibandingkan dengan WP dengan status KK.
Dengan demikian, perjanjian pra-nikah yang menjadikan status WP menjadi PH, dapat mempengaruhi perhitungan kewajiban pajak. Fenomena yang terjadi di masyarakat, perjanjian pra nikah umumnya bertujuan untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan seperti perceraian, perselisihan, serta menjamin kesejahteraan finansial sekaligus mengatur tanggung jawab masing-masing individu selama berumah tangga.