Pada 1 April 2022 lalu, pemerintah telah menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 11%. Kenaikan ini merupakan upaya pemerintah dalam mencapai target penerimaan pajak sebesar Rp1.510 trilliun di 2022 lalu guna percepatan pemulihan ekonomi nasional pasca Pandemi Covid-19.
Kenaikan PPN rupanya tidak berhenti di 11%. Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan pemerintah akan menaikkkan tarif PPN menjadi 12% pada 2025 mendatang. Asumsinya, pemerintah ingin menaikkan tarif berdasarkan Pasal 7 Ayat 1 Undang-Undang HPP. Tarif PPN yang sebelumnya sebesar 10 persen diubah menjadi 11 persen, dan mulai berlaku pada 1 April 2022. Pemerintah berencana kembali menaikkan tarif menjadi 12 persen paling lambat pada 1 januari 2025.
Mengingat kontribusinya yang begitu besar terhadap penerimaan pajak, maka wajar bagi pemerintah menjadikan PPN sebagai komponen penerimaan pajak yang perlu untuk dioptimalkan. Sepanjang masa Pandemi Covid-19 tepatnya pada 2021, kinerja PPN terus mengalami peningkatan. Pada saat itu pemerintah tengah mengupayakan pemulihan ekonomi nasional pasca Pandemi Covid-19. Oleh karena itu, PPN menjadi salah satu tumpuan yang diharapkan dari kenaikan tarif yang berpengaruh positif pada penerimaan pajak. Menteri Keuangan, Sri Mulyani, mengatakan bahwa penerimaan PPN sepanjang 2021 mencapai Rp551,0 trilliun yang setara 106,3% dari target awal Rp518,55 trilliun. Sedangkan saat ini (2023) penerimaan PPN telah terkerek hingga mencapai Rp764 triliun.
Meski menaikkan tarif PPN tentu akan menaikkan penerimaan pajak, pasalnya tidak mungkin masyarakat tidak bertransaksi. Kenaikan PPN tentu punya efek lain, dan yang paling niscaya adalah naiknya harga barang konsumsi dan jasa.
Tanggapan dan Realita di Masyarakat
Setidaknya rilis hasil survey dari Centre for Indonesia Strategic Actions (CISA) pada 2022 lalu terkait kenaikan, dengan 800 responden di 40 provinsi, menyatakan jika 77,37% responden menolak kenaikan tarif PPN 11%. Masyarakat beranggapan kenaikan tarif PPN dapat menghambat pemulihan ekonomi yang berakibat pada peningkatan angka kemiskinan dan menurunnya angka kesejahteraan.
Menilik ragam persolan yang tengah terjadi, rasanya menaikkan tarif PPN di saat pemulihan ekonomi belum maksimal tentu akan berpotensi memperburuk keadaan. Sektor akar rumput yang dihuni masyarakat golongan ekonomi menengah ke bawah yang paling merasakan dampaknya. Efek dominonya angka kemiskinan bertambah, berujung pada semakin melebarnya jurang disparitas dan kesenjangan ekonomi.
Rilis angka kemiskinan nasional 2021 oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukan terdapat tren penurunan angka kemiskinan dibanding tahun-tahun sebelumnya. Untuk 2021, persentase penduduk miskinnya sebesar 9,71%. Meskipun demikian, apakah rilis data BPS tersebut dapat dibenarkan? Secara sederhana definisi miskin versi BPS ialah mereka yang hanya mencatatkan pengeluaran bulanan sebesar Rp486.168 atau dengan rata-rata pengeluaran harian Rp16.250. Artinya mereka yang pengeluarannya di atas Rp16.250 tidak dapat digolongkan dalam kategori miskin.
Bila pemerintah selalu merujuk pada standar internasional dalam menerapkan kebijakan ekonomi, maka pemeritah wajib menetapkan standar kemiskinan sesuai standar World Bank, dengan acuan pengeluaran minimum perhari masyarakat harus mencapai $1,90USD sekitar Rp28.000. Maka dari itu, sekitar 40% populasi masyarakat Indonesia tergolong dalam golongan miskin.
Lantas apa hubungannya? Naiknya tarif PPN tentu berdampak pada naiknya pengeluaran harian masyarakat. Mengingat sifat PPN yang pembebanannya langsung ditanggung dan dibayar oleh konsumen akhir, sehingga berimbas pada tertekannya daya beli masyarakat. Kesenjangan ekonomi tak terelakan. Masyarakat kelas bawah tak punya pilihan selain terus hidup dalam jerat kemiskinan, imbasnya akses mobilitas sosial mereka semakin tertutup akibat fokus pada pemenuhan kebutuhan pangan yang harganya semakin melambung.
Inflasi jadi keniscayaan yang paling nyata. Ketika kenaikan PPN berdampak pada naiknya harga bahan baku produksi, ongkos produksi juga akan naik. Sektor industri dan jasa juga terdampak. Agar tetap beroperasi maka sector industri dan jasa harus mampu menyesuaikan harga. Di satu sisi, nilai uang juga akan turun dari dampak yang ditimbulkan oleh naiknya harga kebutuhan dan jasa imbas kenaikan tarif PPN.
PPN Naik, Apakah Tepat?
Jepang pernah merasakan dampak negatif dari menaikan tarif PPN yang berimbas pada terkontraksinya konsumsi rumah tangga masyarakanya. Pada medio 1997, Jepang menaikan tarif PPN dari 3% menjadi 5%. Setahun berselang konsumsi rumah tangganya terkontraksi -0,76%. Kemudian pada 2014, tarif PPN Kembali dinaikan menjadi 8% dan Oktober 2015 naik jadi 10%, meskipun tarif PPN untuk barang kebutuhan sehari-hari tetap rendah, nyatanya konsumsi rumah tangganya tetap terkontraksi sebasar -0,93%.
Kenaikan tarif PPN saat ini juga dirasa mencoreng spirit keadilan pajak akibat kenaikannya yang tak pandang bulu dan menyasar seluruh kalangan. Akar rumputlah yang lagi-lagi jadi korban kebijakan. Asumsinya mereka yang sehari-hari mengkonsumsi nasi dan garam didalam gubuk sederhana beralas kardus harus membayar PPN dengan persentase tarif yang sama dengan mereka yang mengkonsumsi kaviar dalam rumah mewah nan megah.
Pemeritah dapat belajar dari beberapa negara yang lebih dulu menerapkan skema tarif PPN yang tinggi, namun masih mengedepankan konsep keadilan. Hunggaria, Maroko, Uruguay, dan Selendia Baru merupakan deretan negara dengan tarif PPN tertinggi, dengan menerapkan sistem multitarif untuk barang dan jasa tertentu. Hungaria menerapkan skema PPN multitarif dengan reduced rate 5% untuk beberapa makanan pokok dan obat-obatan, dan reduced rate 18% untuk layanan internet, restoran dan produk katering, produk susu dan roti, serta hotel.
Pemerintah juga dapat memaksimalkan penerimaan dari sector cukai, dimana ekstensifikasi cukai dapat jadi alternatif penerimaan. Alternatif lainnya pemerintah juga dapat belajar dari Norwegia yang sukses besar dalam menerapkan wealth tax kepada 1% populasi orang kaya yang terbukti efektif menambah penerimaan negara serta mampu memangkas ketimpangan sosial.
PPN Tinggi, Bebani Masyarakat Pra Sejahtera?
Menjadi miskin memakan biaya lebih mahal dari orang kaya nampaknya bukan isapan jempol belaka. Mereka yang kaya ketika dihadapakan dalam kondisi sulit dapat mengajukan kredit pada jasa perbankan dengan segala keringanan yang ditawarkan. Sementara buat golongan pra sejahtera akibat harga kebutuhan pangan yang terus naik, mereka tak punya pilihan selain menunggu bantuan atau meminjam pada pinjol-pinjol dan para rentenir yang menawarkan pinjaman ilegal dengan bunga yang mencekik.
Selama berbentuk uang dan dapat dibelanjakan dengan dalih keperluan pembangunan infrastruktur, negara seolah akan berupaya mati-matian untuk mengeruk potensi penerimaan sekecil apapun. Nyatanya infrastruktur yang hadir tak berbanding lurus dengan kesejahteraan masyarakatnya. Lagi-lagi kesejahteraan hidup hanya jadi utopia bagi kaum papa, yang mendorongnya terjerembab dalam jurang kesengsaraan.
Banyak cara yang dapat dilakukan pemerintah dalam upaya memangkas defisit anggaran hingga menunaikan target ambisius penerimaan negara tanpa harus mengorbankan masyarakat pra sejahtera yang populasinya mencapai 40% dari keseluruhan penduduk negeri.