Siaran Pers
Sabtu, 16 April 2021
Jatuh tempo pelaporan Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan (SPT PPh) badan 2020 bagi sebagian besar perusahaan sebentar lagi akan berakhir di April 2021. Kondisi pandemi COVID-19 akibatkan sebagian perusahaan melakukan perencanaan pajak. Caranya adalah dengan menghindari lebih bayar PPh Badan. Banyak perusahaan tentu ingin menghindari pemeriksaan pajak yang masih menjadi momok bagi mereka. SPT PPh Badan lebih bayar pasti diperiksa oleh kantor pajak.
Menurut Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute, Prianto Budi Saptono, salah satu caranya adalah dengan tidak mengklaim uang muka PPh yang sudah dibayar perusahaan. Dasar acuannya adalah Pasal 20 ayat (3) Undang-undang PPh (UU No. 7/1983 dan perubahannya). Amandemen terakhir dari UU PPh merujuk pada UU No. 11/2021 tentang Cipta Kerja.
“Ada dua jenis uang muka pajak sesuai Pasal 20 UU PPh. Pertama, pajak dipotong/dipungut oleh pihak lain sesuai Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 24 UU PPh. Kedua, pajak dibayar sendiri secara bulanan sesuai Pasal 25 UU PPh”, Prianto menambahkan. Tujuan pengaturan uang muka pajak tersebut adalah agar pelunasan pajak di tahun pajak berjalan mendekati jumlah pajak yang akan terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan.
Meski kantor pajak sudah memiliki catatan penyetoran pajak melalui dua skema di atas, bagi perusahaan, mengklaim uang muka pajak tersebut merupakan hak bukan kewajiban. Namun demikian, menurut Prianto, perusahaan selaku Wajib Pajak perlu ekstra hati-hati terhadap pergeseran prioritas pemeriksaan pajak.
Jika lapor SPT PPh badan 2020 lebih bayar di April 2021 ini, Wajib Pajak harus siap menghadapi pemeriksaan pajak yang berakhir 12 bulan sejak SPT dilapor. Contohnya, ketika lapor SPT-nya tertanggal 30 April 2021, pemeriksaan pajak untuk SPT lebih bayar tersebut harus berakhir di 29 April 2022.
Jika lapor SPT PPh badan 2020 kurang bayar dengan cara tidak mengklaim uang muka pajak, prioritas pemeriksaan pajak akan bergeser ke tahun 2024. Prianto menjelaskanMemang Wajib Pajak badan tersebut tidak akan langsung diperiksa, tapi tidak mustahil pemeriksaannya akan berlangsung setahun sebelum daluwarsa penagihan pajak, yaitu 2024”.
Sebagai konsekuensi dari keputusan perusahaan untuk tidak mengklaim uang muka PPh, kredit pajak tersebut harus dicatat sebagai beban. Selanjutnya, biaya tersebut tidak boleh menjadi pengurang penghasilan bruto (non-deductible expense). “Kalau cara demikian ditempuh, perusahaan tidak perlu mempertimbangkan untung ruginya karena pasti rugi dua kali”, imbuh Prianto.
“Setiap keputusan selalu dibarengi oleh pertimbangan berdasarkan cost-benefit analysis”, kata dosen ilmu administrasi fiskal Universitas Indonesia. Ketika takut diperiksa oleh kantor pajak karena SPT PPh badan lebih bayar, perusahaan harus ikhlas untuk tidak mengklaim pajak yang sudah dibayar ke kas negara.
Ketika tidak mengklaim uang muka PPh, perusahaan perlu cermati penerbitan SP2DK (Surat Permintaan Penjelasan atas Data atau Keterangan). Melalui SP2DK tersebut, petugas pajak (Account Representative) biasanya meminta klarifikasi kepada perusahaan. Menurut Prianto, pertanyaan yang sering muncul di SP2DK tersebut adalah apakah penghasilan dari uang muka PPh yang tidak diklaim tersebut sudah dilaporkan.
Berdasarkan SP2DK di atas, perusahaan harus menyiapkan kertas kerja ekualisasi. Dengan kata lain, perusahaan harus memberi penjelasan tertulis kepada petugas pajak. Pada intinya, uang muka pajak yang tidak diklaim tersebut harus perusahaan cocokkan (data matching) dengan rincian penghasilan yang dilaporkan di SPT PPh badan.
Narasumber:
Dr. Prianto Budi Saptono, Ak., CA, MBA
Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute