Dalam rangka merealisasikan proyek integrasi NIK-NPWP, Kemenkeu sudah mempersiapkan segala hal mengenai teknis pelaksanaan yang membutuhkan dukungan teknologi informasi dan sumber daya manusia yang mumpuni dari institusi lain. Bermodalkan core tax system bernama Pembaruan Sistem Inti Administrasi Perpajakan bekerja sama dengan Kementerian Dalam Negeri, diharapkan penelusuran data wajib pajak (WP) dapat lebih tepat sehingga kinerja Direktorat Jenderal Pajak (DJP) akan lebih efisien.
Rencana pembenahan administrasi perpajakan ini sejalan dengan rencana pemerintah menerapkan Single Identity Number sebagai Big Data di Indonesia. Wacana pemerintah melakukan integrasi NIK-NPWP segera direalisasikan per 1 Juli 2024, setelah sebelumnya sempat ditunda dari rencana pemberlakuan yaitu 1 januari 2024. Hal ini merupakan tindak lanjut dari UU No. 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan yang disahkan 29 Oktober 2021.
Saat ini, Indonesia tengah berada pada Reformasi Perpajakan III (2018-2024) melalui Pembaruan Sistem Administrasi Perpajakan. Tujuan utama dari reformasi perpajakan ini adalah terwujudnya voluntary tax compliance (kepatuhan pajak sukarela) dalam rangka optimalisasi penerimaan pajak melalui pembenahan administrasi perpajakan. Walaupun pemerintah sudah berhasil mencapai penerimaan pajak 108,8% dari target pada 2023 atau sebesar Rp1.869,2 triliun, tampaknya optimalisasi pendapatan negara melalui integrasi NIK-NPWP akan menjadi bagian dari agenda besar target penerimaan negara. Dengan demikian, pembenahan administrasi perpajakan pun diharapkan segera teralisasi sehingga penerimaan pajak pun semakin optimal.
Minimnya Kesadaran Masyarakat akan Pajak
Walaupun masyarakat Indonesia sudah hidup dalam era informasi digital dengan aksesibilitas informasi yang sangat cepat, kepatuhan wajib pajak masih dalam tahap ‘terpaksa’. Tak jarang WP sengaja menghindari pajak dengan cara hanya membayar pajak yang dihitung oleh pihak ketiga (withholding assessment system), sementara pendapatan lainnya tidak dilaporkan. Dalam beberapa kasus yang terjadi di masyarakat, WP sengaja mengatasnamakan kepemilikan hartanya dengan memanfaatkan nama orang lain yang belum memenuhi kriteria WP. Akibatnya, WP tersebut tidak perlu melaporkan hartanya pada SPT Tahunan Orang Pribadi. Pendek kata, WP orang pribadi dengan self assessment system (inisiatif WP) masih belum ‘menyadari’ bahwa tujuan dari membayar pajak adalah untuk membangun negara.
Masih ada saja masyarakat yang cenderung berpikir bahwa membayar pajak tidak akan mendapat keuntungan nyata secara langsung bahkan menganggap bahwa pajak hanya akan memperkaya oknum petinggi negara saja. Pada akhirnya, timbul stereotipe di masyarakat bahwa negara tidak akan mengoptimalkan hasil pungutan pajak untuk sebenar-benarnya membangun negara.
Kondisi yang terjadi saat ini, fenomena kepatuhan pajak sukarela masih jauh dari harapan. Hal ini dapat terlihat dari rasio pajak Indonesia yang merupakan salah satu indikator penilaian kinerja penerimaan pajak dalam jangka panjang. Selama tahun 2015 s.d. 2019, rasio pajak Indonesia masih relatif rendah dibanding negara tetangga ASEAN, menempati posisi kedua terendah setelah Myanmar. Dalam kurun waktu tersebut, rasio pajak Indonesia belum memiliki tren kenaikan dan masih cenderung fluktuatif. Berbeda dengan beberapa negara tetangga seperti Kamboja dan Filipina dengan rasio pajak yang cenderung naik. Data terbaru dari Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu, rasio pajak Indonesia tahun 2020 sebesar 8,33%, 2021 sebesar 9,11%, 2022 sebesar 10,39%, namun turun kembali pada 2023 yaitu sebesar 10,21%.
Harapan atas Integrasi NIK dan NPWP
Setidaknya terdapat 3 faktor yang memengaruhi rendahnya kepatuhan WP. Pertama, WP belum sepenuhnya taat pajak dan cenderung menghindari pajak. Kedua, sistem administrasi dan regulasi perpajakan yang relatif rumit serta belum tersosialisasi dengan baik. Ketiga, jumlah fiskus pajak dibandingkan dengan WP yang masih kurang seimbang.
Dengan Saat kedua identitas ini disatukan, WP akan semakin mudah menjalankan hak dan melaksanakan kewajiban perpajakannya sehingga risiko faktor pertama pun semakin minimal. Pun demikian dengan faktor ketiga, dengan menyederhanakan proses administrasi, diharapkan sistem dapat bekerja lebih efisien. Akibatnya, DJP tidak harus menambah jumlah fiskus pajak untuk mengelola proses administrasi perpajakan. Hal ini terkait erat dengan data matching yang selama ini membutuhkan banyak waktu untuk melakukan konfirmasi terhadap hasil pelaporan WP dengan data yang diterima DJP.
Upaya pemerintah dalam mendorong optimalisasi pajak melalui kebijakan ini mulanya membuat WP akan merasa ‘terpaksa’. Terpaksa mengakui status sebagai WP yang wajib membayar pajak sesuai porsinya. Akan tetapi dalam jangka panjang, jika integrasi NIK-NPWP terus diterapkan secara konsisten dengan dukungan infrastruktur teknologi informasi yang mumpuni, kemandirian pajak akan terjadi secara sistemik. Hal ini lambat laun membuat kesadaran masyarakat untuk membayar pajak tumbuh secara perlahan. Manfaat langsung pun akan dirasakan oleh masyarakat akibat dari penerimaan pajak yang semakin optimal. Dengan demikian, faktor pertama pada akhirnya dapat terselesaikan dengan baik.
Kebijakan Publik yang Memberikan Tambahan Manfaat Lain
Tidak hanya kemandirian pajak, dengan adanya integrasi dua identitas penting ini, DJP petugas instansi yang berwenang dapat lebih mudah melakukan penelusuran data terkait adanya kasus tindak pidana pencucian uang (money laundering) atau korupsi (bribery). Dengan demikian, kasus yang meresahkan tersebut dapat segera ditindak karena adanya kemudahan penelusuran data keuangan terkait, termasuk NIK yang pastinya terintegrasi dengan nomor akun bank/rekening).
Pemerintah memang perlu dikritik dalam rangka menciptakan kontrol terhadap kebijakan. Akan tetapi, masyarakat pun harus membantu pemerintah dalam proses pembuatan kebijakan publik untuk menghindari dampak negatif yang tidak diinginkan. Lahirnya kebijakan integrasi NIK-NPWP ini merupakan hasil dari tanggapan pemerintah atas permasalahan masyarakat terkait administrasi perpajakan yang selama ini dinilai kurang tertata, kurang terkontrol, kurang praktis, dan kurang efisien. Biar bagaimanapun, dalam membuat kebijakan ini pemerintah memiliki keterbatasan baik dari sudut pandang maupun cara berpikir. Pada akhirnya, kebijakan publik yang sudah melalui berbagai proses ini lahir dan harus disambut baik oleh masyarakat dengan cara memberikan dukungan sebaik-baiknya.