Isu pembentukan Badan Penerimaan Negara (BPN) telah menjadi perbincangan hangat sejak akhir 2010-an. Pemerintah kini menetapkan pendirian BPN dan target peningkatan rasio penerimaan negara ke 23% dalam RPJMN 2024-2029 sebagai prioritas nasional. Pemerintah kerap mengusung argumen bahwa lembaga otonom ini adalah solusi untuk mengoptimalkan pengumpulan pajak dan memperbaiki rasio pajak. Namun, apakah benar bahwa dengan membentuk BPN angka penerimaan pajak otomatis akan meningkat? Apakah pemerintah sudah menyadari bahwa tanpa reformasi mendasar, pembentukan BPN hanya akan menjadi upaya kosmetik yang tidak mampu mengatasi permasalahan struktural dalam sistem perpajakan?
BPN dan Rasio Pajak
Sejak awal pembahasan, pemerintah dan para ahli perpajakan telah berdebat tentang sejauh mana lembaga otonom ini dapat mengubah wajah administrasi pajak. Pemerintah berpendapat bahwa dengan memberikan keleluasaan penuh dan membebaskan BPN dari intervensi politik, lembaga ini dapat menyederhanakan proses pengumpulan pajak dan meminimalkan kebocoran penerimaan. Mekanisme yang diusulkan meliputi pemisahan fungsi antara perumusan kebijakan dan pelaksanaan pengumpulan pajak, sehingga BPN dapat fokus pada optimalisasi prosedur, penggunaan teknologi informasi yang canggih, dan penegakan hukum yang lebih tegas.
Dengan demikian, BPN diharapkan dapat mendeteksi serta menindak praktik penghindaran pajak secara lebih efektif melalui sistem audit berbasis data dan kolaborasi dengan lembaga pengawas independen. Langkah ini diyakini akan mendorong peningkatan kepatuhan wajib pajak dan mengurangi praktik penghindaran, yang pada gilirannya berkontribusi pada peningkatan rasio penerimaan pajak.
Namun, muncul pertanyaan kritis: apakah pemerintah benar-benar akan memberikan ruang bagi BPN untuk menindak praktik penghindaran pajak secara efektif? Apakah reformasi yang diusung tidak sekadar retorika, sementara faktor-faktor mendasar seperti pertumbuhan ekonomi dan basis kepatuhan wajib pajak tetap menjadi tantangan serius?
Data dari Laporan Realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2023 oleh Kementerian Keuangan RI menunjukkan bahwa meskipun ada upaya reformasi, implementasi di lapangan masih jauh dari ideal. Sebagai contoh, di beberapa negara seperti Malaysia, reformasi perpajakan melalui lembaga independen telah berhasil menaikkan rasio pajak hingga sekitar 16% terhadap PDB—namun pencapaian tersebut memerlukan transformasi menyeluruh yang juga mencakup peningkatan kualitas SDM dan penguatan sistem pengawasan.
Peningkatan rasio pajak seharusnya membawa manfaat langsung bagi masyarakat, terutama dalam bentuk peningkatan infrastruktur dan layanan publik seperti pendidikan, kesehatan, dan transportasi. Namun, berbagai kasus penyalahgunaan anggaran, penyaluran bantuan sosial yang tidak tepat sasaran, dan proyek infrastruktur yang stagnan menimbulkan keraguan apakah peningkatan pajak benar-benar akan memberikan manfaat nyata bagi publik.
Data dari Laporan Realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2023 mengungkapkan bahwa sekitar 40% dari bantuan sosial dan 35% belanja infrastruktur belum mencapai sasaran yang diharapkan, sehingga menimbulkan pertanyaan apakah setiap rupiah yang terkumpul akan digunakan secara efisien. Tanpa transparansi dan akuntabilitas yang ketat, peningkatan rasio pajak bisa berakhir sebagai janji kosong yang semakin menurunkan kepercayaan publik terhadap pemerintah.
Rekomendasi untuk Implementasi yang Efektif
Agar BPN dapat berkontribusi nyata terhadap peningkatan rasio pajak bagi publik, beberapa langkah konkret perlu diterapkan. Pertama, pemerintah harus memastikan bahwa setiap rupiah yang dikumpulkan digunakan secara efisien dengan meningkatkan transparansi dalam alokasi dan pengelolaan pajak serta memperkuat pengawasan oleh lembaga independen.
Kedua, keberhasilan BPN akan sangat bergantung pada kualitas sumber daya manusia yang kompeten dan penggunaan teknologi canggih dalam pengelolaan pajak. Investasi dalam pelatihan pegawai pajak dan pengembangan sistem digital yang terintegrasi harus menjadi prioritas. Ketiga, efektivitas BPN akan terganggu jika masih terbelit oleh birokrasi yang lambat dan tumpang tindihnya wewenang dengan lembaga lain. Oleh karena itu, pemisahan fungsi perumusan kebijakan dan pelaksanaan harus berjalan dengan jelas dan tidak membuka celah konflik kepentingan.
Keempat, selain sanksi bagi penghindar pajak, pemerintah juga perlu mendorong insentif bagi wajib pajak patuh, seperti pengurangan pajak bagi UMKM yang patuh atau kemudahan akses ke fasilitas keuangan bagi perusahaan yang taat pajak. Kelima, studi terhadap negara-negara yang telah berhasil menerapkan sistem perpajakan yang lebih efektif, seperti Malaysia dan Korea Selatan, dapat menjadi referensi dalam menyusun strategi implementasi yang sesuai dengan kondisi di Indonesia.
Kausalitas antara pembentukan BPN dengan peningkatan rasio pajak bagi publik masih menjadi perdebatan. Pemerintah menyatakan bahwa BPN dapat meningkatkan rasio pajak melalui perbaikan efisiensi administrasi dan penegakan hukum yang lebih tegas. Namun, jika pengelolaan dana tidak disertai dengan transparansi dan akuntabilitas yang memadai, dampak positifnya bagi masyarakat masih patut dipertanyakan. Reformasi perpajakan harus lebih dari sekadar retorika; komitmen nyata diperlukan agar setiap rupiah pajak diinvestasikan tepat guna untuk pembangunan infrastruktur dan peningkatan layanan publik.
Belajar dari pengalaman negara lain—seperti Malaysia, di mana reformasi lembaga perpajakan telah meningkatkan kepercayaan masyarakat—pemerintah harus segera mengatasi tantangan struktural dan meningkatkan kualitas SDM serta sistem pengawasan.
Apakah reformasi ini hanya permainan angka di atas kertas, atau benar-benar menjawab tuntutan rakyat? Inilah tantangan besar yang harus segera diatasi agar kepercayaan masyarakat terhadap sistem perpajakan tidak semakin terkikis dan manfaat pajak dapat dirasakan secara luas