Ditjen Pajak menghimbau para Wajib Pajak Badan untuk segera menyampaikan SPT PPh Badan Tahun Pajak 2024 sebelum tanggal 30 April 2025 sesuai Pasal 175 PMK No. 81 Tahun 2024. Namun, apabila Wajib Pajak Badan membutuhkan waktu tambahan untuk menyelesaikan kewajiban perpajakan, dapat mengajukan perpanjangan pelaporan SPT melalui fitur e-PSPT pada laman DJP Online, sesuai ketentuan Pasal 13 PMK No. 243/PMK.03/2014 yang mengatur pemberitahuan perpanjangan jangka waktu penyampaian SPT Tahunan paling lama dua bulan sejak batas waktu semula.
Sesuai UU KUP dan peraturan turunannya, SPT Tahunan PPh Badan wajib disampaikan paling lama empat bulan setelah akhir tahun pajak, yakni 30 April setiap tahunnya, sehingga Wajib Pajak Badan harus memastikan laporan keuangan dan dokumen pendukung siap sebelum tenggat tersebut untuk menghindari sanksi administratif, salah satu bagian paling penting dalam mengisi SPT PPh Badan adalah penyusunan rekonsiliasi fiskal untuk menentukan penghasilan neto.
Rekonsiliasi fiskal sejatinya bukan sekadar prosedur administrasi belaka, melainkan fondasi utama di mana keadilan dan kepastian hukum dalam perpajakan dibangun. Ketika kita menyebutnya sebagai “data matching” antara biaya yang dikeluarkan perusahaan dan penghasilan yang diperoleh, pada hakikatnya kita menegaskan prinsip dasar bahwa setiap rupiah yang menjadi objek pajak harus dipertanggungjawabkan secara akurat, baik dalam neraca komersial maupun perhitungan fiskal. Sayangnya, perbedaan mendasar antara pendekatan PSAK (Historical Cost Accounting, HCA) yang mendahulukan realisasi transaksi dan pendekatan Fair Value Accounting (FVA) yang mendahulukan nilai wajar pasar membuat rekonsiliasi fiskal kerap menjadi ladang sengketa interpretasi.
Contoh paling gamblang terlihat dalam ketentuan Pasal 4 ayat (1) UU PPh yang telah berlaku sejak 1983 tak pernah bergeser menegaskan bahwa penghasilan adalah “setiap tambahan kemampuan ekonomis … yang dapat dipakai untuk konsumsi atau menambah kekayaan.” Frasa krusial “…diperoleh…” memantik perdebatan: apakah pengakuan penghasilan harus berlandaskan realisasi kas (HCA) seperti yang diamanatkan UU PPh, atau kalkulasi nilai wajar (FVA) ala PSAK/IFRS? Dengan tetap berpegang pada doktrin realisasi, legislator menjaga integrity “ability to pay principle” bahwa pajak hanya berbeban pada penghasilan yang benar-benar terealisasi.
Sekalipun logis, sikap konservatif ini menimbulkan ketidakselarasan dengan laporan keuangan modern. Investor menuntut informasi terkini dan relevan, sehingga PSAK/IFRS memilih FVA demi membantu keputusan ekonomi. Akibatnya, laba komersial dan laba fiskal seringkali “berjalan dua jalur” yang berbeda. Jika tidak dikelola dengan baik, perbedaan timing dan definisi biaya atau pendapatan bisa memicu tax audit berkepanjangan, memperlambat proses bisnis, dan menambah beban psikologis manajemen.
Di sini, konsep “matching principle” muncul sebagai penengah untuk menjelaskan bahwa biaya hanya boleh dikurangkan sepanjang terbukti menghasilkan pendapatan kena pajak. Pasal 6 ayat (1) UU PPh menegaskan allowable deductions sebagai “biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan,” namun sayangnya tidak menguraikan batasannya secara terperinci. Tanpa pedoman teknis yang jelas, interpretasi antara Wajib Pajak dan petugas pajak bisa beragam, pada akhirnya membuka peluang sengketa pajak dikemudian hari.
Pada formulir SPT PPh Badan 1771–II menyediakan kolom terstruktur bagi setiap komponen pengurang penghasilan bruto. Lampiran formulir 1771 II berisi perincian harga pokok penjualan (HPP), biaya usaha secara komersial, dan biaya dari luar usaha. Sehingga, harus memberikan data seperti nominal pembelian bahan atau barang dagangan, biaya transportasi, biaya sewa, persedian awal dan akhir.
Namun, formulir SPT saja tidak cukup, Wajib Pajak sejatinya wajib melakukan data matching internal dengan memastikan setiap jurnal transaksi, bukti potong, dan dokumen pendukung lain sinkron dengan angka pada formulir. Hanya dengan begitu, mekanisme verifikasi oleh petugas pajak dapat berjalan efisien tanpa memunculkan keraguan material.
Pada akhirnya, rekonsiliasi fiskal harus dilihat sebagai instrumen strategis, bukan sekadar kewajiban administrasi. Wajib Pajak Badan yang serius menjalankan data matching sejak awal tidak hanya mengurangi risiko sanksi dan sengketa, tetapi juga menunjukkan komitmen pada good corporate governance. Pemerintah, di pihak lain, perlu melengkapi ketentuan umum dengan pedoman teknis yang terperinci seperti mengurai makna “biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan” agar Wajib Pajak memiliki kepastian lebih besar.