Kementerian Keuangan mengumumkan bahwa hingga akhir Maret 2025, penerimaan perpajakan telah mencapai Rp400,1 triliun, atau setara 16,1% dari target APBN tahun ini. Angka tersebut menandai perubahan penting: terjadi pembalikan tren dari yang sebelumnya kontraksi menjadi kembali tumbuh positif, terutama berkat lonjakan penerimaan pajak di bulan Maret yang mencapai Rp134,8 triliun.
Fenomena pembalikan tren ini tidak muncul tiba-tiba. Sejak awal tahun, penerimaan pajak Indonesia sebenarnya mengalami tekanan. Pada Januari dan Februari 2025, realisasi penerimaan mencatat kontraksi dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Namun, memasuki bulan Maret, pola itu berubah drastis. Apa penyebabnya?
Salah satu faktor utama adalah momentum pelaporan dan pembayaran SPT Tahunan untuk Wajib Pajak Orang Pribadi. Sesuai ketentuan, batas waktu pelaporan SPT adalah 31 Maret. Di bulan ini, ribuan wajib pajak pribadi melunasi kewajiban mereka, sehingga mendorong penerimaan dalam jumlah signifikan. Selain itu, sejumlah korporasi juga menyesuaikan angsuran PPh 25 mereka berdasarkan proyeksi kinerja tahun berjalan, meningkatkan setoran pajak dari sektor badan usaha.
Khusus untuk jenis pajak tertentu, beberapa indikator menunjukkan penguatan yang menarik. Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21, yang berasal dari pemotongan atas gaji karyawan, mengalami kenaikan substansial. Kenaikan ini didorong oleh dua hal: meningkatnya upah minimum provinsi hingga 6,5% pada 2025, serta pemulihan sektor ketenagakerjaan di berbagai wilayah. Sebagai catatan, pemerintah memang menargetkan penerimaan PPh 21 naik 46% dibandingkan tahun lalu, sehingga kontribusi sektor ini menjadi sangat penting dalam menjaga momentum pertumbuhan penerimaan.
Di sisi lain, meskipun penerimaan dari PPh Badan secara tahunan masih menunjukkan tren penurunan—sejalan dengan target 2025 yang memang lebih rendah—aktivitas pembayaran di bulan Maret tetap relatif kuat. Hal ini menunjukkan bahwa pelaku usaha mulai menyesuaikan kewajiban perpajakannya di tengah proyeksi bisnis yang membaik.
Adapun dari sisi Pajak Pertambahan Nilai (PPN), lonjakan penerimaan pada bulan Maret juga menjadi penopang penting. Setelah mengalami tekanan besar pada Januari akibat transisi sistem administrasi ke Coretax, penerimaan PPN mulai stabil. Ini tidak terlepas dari relaksasi administrasi yang diberikan pemerintah hingga 10 Maret 2025, serta membaiknya konsumsi masyarakat setelah awal tahun yang relatif lesu.
Secara umum, ada empat faktor kunci yang mendasari pembalikan tren penerimaan pajak di Maret 2025:
-
Momentum pembayaran dan pelaporan SPT Tahunan Wajib Pajak Orang Pribadi,
-
Pemulihan konsumsi domestik dan sektor ketenagakerjaan,
-
Implementasi sistem administrasi perpajakan berbasis Coretax yang mulai efektif,
-
Efek perbandingan dari basis penerimaan rendah pada periode yang sama tahun sebelumnya (low base effect).
Meski demikian, penting dicatat bahwa secara kumulatif, penerimaan pajak nasional masih tertinggal dibandingkan kuartal pertama 2024. Ini menandakan bahwa kerja keras untuk mencapai target APBN 2025 belum selesai, dan strategi penguatan basis pajak serta pengawasan kepatuhan tetap harus menjadi prioritas di bulan-bulan berikutnya.
Dengan perkembangan ini, pemerintah setidaknya memperoleh harapan bahwa dinamika penerimaan sepanjang 2025 akan lebih stabil dibandingkan awal tahun. Namun di sisi lain, tantangan global seperti ketidakpastian ekonomi dan volatilitas harga komoditas tetap menjadi faktor eksternal yang perlu diwaspadai.