Pertama-tama, beragam provinsi di Indonesia kini menerapkan kebijakan pemutihan pajak kendaraan bermotor (PKB) pada periode 2025. Mulai dari Jawa Barat, Jawa Tengah, Banten, Aceh, hingga Kalimantan Selatan, sebab mereka menghadapi defisit anggaran dan menumpuknya tunggakan yang mengganggu perencanaan fiskal. Sementara itu, DKI Jakarta justru memilih untuk tidak menggelar program serupa, dengan logika bahwa basis wajib pajak di ibu kota didominasi pemilik kendaraan lebih dari satu yang secara finansial mampu, sehingga subsidi semacam itu dinilai tidak tepat sasaran.
Selanjutnya, di provinsi lain seperti Jawa Barat, pelaksanaan pemutihas yang sedang berlangsung saat ini dimulai pada 20 Maret sampai dengan hari terakhir 6 Juni 2025 berhasil memungut tunggakan dengan cepat. Pada hari pertama, realisasi pembayaran mencapai Rp 44 miliar hanya dalam 1,5 jam pertama pembukaan layanan. Lonjakan penerimaan ini logis dipilih sebagai upaya memulihkan kas daerah yang terdampak pandemi dan backlog administrasi, serta menunjukkan bahwa pemutihan denda dapat secara signifikan meningkatkan penerimaan jangka pendek dan mendorong penunggak lama untuk melunasi kewajibannya
Meski demikian, skema pemutihan juga membawa risiko moral hazard. Ketika wajib pajak terbiasa menunggu program pemutihan untuk membayar tunggakan, kebiasaan menunda bayar semakin mengakar, mereka semakin yakin denda akan dihapus pada periode berikutnya. Kondisi ini menunjukkan bahwa pemutihan, meski populer, dapat merusak kedisiplinan fiskal jangka panjang .
Selain itu, jika dilihat dari sisi keadilan distributif, Pemerintah daerah Jakarta memprioritaskan penghargaan kepada wajib pajak yang taat membayar tepat waktu dengan tidak menghapus denda. Pemprov Jakarta menegaskan bahwa setiap orang wajib memenuhi kewajiban perpajakan tanpa pengecualian, sehingga tidak ada “ketidakadilan” subsidi silang dari penunggak kepada pembayar tertib. Pernyataan tersebut terdengar logis untuk menjaga kepercayaan dan mendukung prinsip bahwa tidak ada yang diberi keuntungan lebih tanpa kontribusi setara.
Lebih lanjut, Gubernur Pramono Anung menjelaskan bahwa sebagian besar penunggak pajak kendaraan di Jakarta merupakan pemilik mobil kedua, ketiga, atau bahkan lebih. Hal ini menunjukkan bahwa mereka tergolong mampu secara finansial dan tidak layak menerima keringanan pajak. Oleh karena itu, Pemprov DKI memilih untuk mengejar penunggak pajak ini daripada memberikan pemutihan.
Dibandingkan penerapan pemutihan, Pemprov DKI Jakarta memfokuskan bantuan kepada masyarakat yang benar-benar membutuhkan. Contohnya, program pemutihan ijazah dan penghapusan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) untuk rumah dengan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) tertentu. Pemutihan pajak kendaraan dianggap tidak tepat sasaran karena lebih banyak menguntungkan kelompok masyarakat yang mampu .
Namun demikian, berdasarkan perspektif keadilan horizontal, kebijakan berbeda di setiap daerah menimbulkan inkonsistensi perlakuan. Penunggak pajak di daerah lain bisa terbebas dari denda, sementara penunggak dengan KTP Jakarta harus membayar penuh. Kebijakan ini menciptakan ketidaksetaraan semata-mata berdasarkan domisili, sehingga menunjukkan kebijakan fiskal antar-daerah perlu harmonisasi agar tidak menimbulkan kesan diskriminatif.
Namun demikian, ketidakseragaman kebijakan ini juga menimbulkan kegelisahan di kalangan warga. Misalnya, dalam wawancara dengan Kompas pada 28 April 2025, Agus Santoso, pengendara roda dua di Jakarta Utara, mengaku “Saya heran, kok di Bekasi ada pemutihan hingga akhir Juni, sementara KTP saya Jakarta Utara tidak kebagian sama sekali. Padahal saya cuma menunggak satu tahun.” Bahkan sebuah survei daring oleh Lembaga Kajian Publik (terbit 25 April 2025) menunjukkan 62 % responden DKI merasa ‘kurang adil’ dibandingkan tetangga yang mendapatkan amnesti.
Dengan demikian, perbedaan kebijakan antardaerah tak hanya soal angka, tapi juga berdampak nyata pada kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan daerah. Situasi ini menegaskan bahwa di balik pemutihan terdapat pertimbangan popularitas politik dan goodwill demografis yang diperebutkan kepala daerah.
Sebagai penutup, meski program pemutihan pajak kendaraan telah terbukti menyuntikkan arus kas instan dan meringankan beban denda bagi warga berpenghasilan rendah, kebijakan ini juga memunculkan risiko moral hazard dan ketimpangan perlakuan antar-daerah yang dapat meruntuhkan disiplin fiskal dan kepercayaan publik. Secara agregat, dampak negatif termasuk ketidakadilan horizontal dan fluktuasi pendapatan cenderung mengungguli manfaat jangka pendek jika amnesti diterapkan tanpa kriteria tegas.
Oleh karena itu, Pemerintah Daerah sebaiknya mengadopsi skema pemutihan terbatas dengan sasaran jelas (misalnya nontunggakan di bawah plafon tertentu atau bagi golongan berpenghasilan rendah), sambil memperkuat edukasi pajak dan sanksi tegas bagi penunggak berulang, agar keseimbangan antara keadilan, kepatuhan, dan stabilitas fiskal tercapai