Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 172 Tahun 2023 yang mulai berlaku sejak 29 Desember 2023, mempertegas ketentuan bagi setiap Wajib Pajak yang melakukan transaksi afiliasi untuk menyusun dan menyimpan dokumentasi harga transfer atau Transfer Pricing Documentation (TP Doc). Kebijakan ini menjadi tonggak penting dalam upaya meningkatkan transparansi dan akuntabilitas perpajakan di Indonesia, terutama di tengah dinamika globalisasi usaha yang terus berkembang.
Dokumentasi TP Doc sendiri terbagi ke dalam tiga komponen utama. Pertama, Master File atau dokumen induk menyajikan gambaran umum (general overview) mengenai struktur grup usaha, model bisnis, kebijakan keuangan dan pajak, serta profil operasional seluruh entitas dalam grup. Informasi yang komprehensif ini berfungsi sebagai landasan bagi otoritas pajak untuk memahami kerangka besar strategi transfer pricing yang diterapkan oleh korporasi multinasional.
Kedua, Local File atau dokumen lokal fokus pada rincian transaksi afiliasi di tingkat perusahaan domestik. Local File memuat analisis kesebandingan (comparability analysis) yang membandingkan transaksi-per-transaksi afiliasi dengan transaksi sejenis dalam pasar terbuka, guna memastikan bahwa harga yang diterapkan telah sesuai dengan prinsip kewajaran (arm’s length principle). Dokumen ini meliputi penelaahan fungsi, risiko, dan aset yang terlibat, serta metode penentuan harga yang dipilih dan alasan konsistensinya dengan praktik pasar.
Ketiga, Country-by-Country Report (CbC Report) berperan sebagai alat pemantau global yang menunjukkan distribusi pendapatan, laba, dan beban pajak di seluruh yurisdiksi tempat entitas grup beroperasi. CbC Report dirancang untuk mengungkap potensi praktik penghindaran pajak berskala internasional dengan menyoroti konsentrasi laba di wilayah berkenaan dengan tarif pajak relatif rendah.
Sepanjang tahun pajak 2024 dan seterusnya, Master File dan Local File wajib tersedia paling lambat empat bulan setelah akhir tahun pajak. Dengan tahun pajak yang berakhir pada 31 Desember 2024, maka kedua dokumen tersebut harus telah terselesaikan dan siap disajikan kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP) paling lambat pada 30 April 2025. Keterlambatan dalam penyusunan berpotensi menimbulkan sanksi administratif, bahkan pada tahap pemeriksaan dapat memicu penetapan penghasilan kena pajak secara jabatan apabila dokumen tidak lengkap atau tidak tepat waktu.
Sementara itu, CbC Report memiliki tenggat waktu yang lebih panjang, yakni dua belas bulan setelah akhir tahun pajak. Artinya, laporan ini harus disusun dan dapat diakses otoritas pajak selambat-lambatnya pada 31 Desember 2025 untuk tahun pajak 2024. Ketentuan ini memberi ruang bagi perusahaan untuk mengintegrasikan data konsolidasi global yang kerap memerlukan validasi dan rekonsiliasi lintas entitas sebelum laporan final diserahkan.
Meskipun TP Doc tidak dilaporkan secara otomatis bersamaan dengan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan, DJP memiliki wewenang meminta dokumen tersebut dalam proses pemeriksaan atau pengawasan kepatuhan. Setelah menerima permintaan tertulis, Wajib Pajak memiliki jangka waktu satu bulan untuk menyerahkan Master File dan Local File yang diminta. Ketentuan ini menegaskan pentingnya kesiapsediaan dokumen secara proaktif, karena kegagalan memenuhi permintaan dalam periode tersebut dapat berujung pada perhitungan penghasilan kena pajak secara jabatan.
Dalam praktiknya, Pemenuhan kewajiban TP Doc menuntut kolaborasi lintas fungsi: divisi keuangan harus menyiapkan data laporan keuangan yang akurat, unit operasional perlu menyediakan informasi kegiatan bisnis, sementara tim pajak bertanggung jawab melakukan analisis dan penyusunan dokumentasi sesuai pedoman PMK 172/2023. Disarankan pula bagi perusahaan untuk menjalin kerja sama dengan konsultan atau ahli pajak bersertifikat agar seluruh komponen TP Doc tidak hanya lengkap tetapi juga berkualitas tinggi, sehingga ketika diajukan ke DJP dapat memperkuat posisi perusahaan dalam menghadapi tinjauan transfer pricing.
Dengan memahami ruang lingkup dan tenggat waktu TP Doc secara mendetail, perusahaan dapat mengelola risiko kepatuhan perpajakan dengan lebih efektif, memastikan bahwa setiap transaksi afiliasi tercatat dan dianalisis sesuai standar internasional, sekaligus menjaga reputasi dan integritas perpajakan di mata otoritas.
Studi Kasus Penyusunan TP Doc
PT A dimiliki oleh Tuan X (99% saham) dan PT B dimiliki oleh Tuan Y (anak kandung Tuan X). Semua pemegang saham minoritas, dewan direksi, dan dewan komisaris merupakan pihak ketiga yang independen dan tidak saling terafiliasi. PT A menjual produk elektronik senilai Rp 500 juta ke PT B di tahun 2024, apakah transaksi PT A dan PT B merupakan transaksi afiliasi?
Berdasarkan data kasus, Tuan A tidak memegang saham di PT Y, demikian pula Tuan B tidak memiliki porsi kepemilikan di PT X. Dengan demikian, entitas yang secara langsung bertransaksi adalah PT X dan PT Y, bukan individu Tuan A dan Tuan B.
Meskipun secara garis keturunan Tuan A dan Tuan B termasuk pihak afiliasi, tidak serta-merta setiap afiliasi melakukan transaksi afiliasi. Dalam konteks perpajakan, yang memicu kewajiban dokumentasi transfer pricing adalah keterlibatan langsung pihak yang memiliki hubungan istimewa dalam suatu transaksi. Karena Tuan A dan Tuan B tidak berperan aktif mengadakan kontrak atau pengalihan aset antar–perusahaan, maka belum terpenuhi unsur “transaksi afiliasi” meski mereka berafiliasi secara personal.
Selanjutnya perlu dikaji susunan pimpinan, baik dalam Board of Directors (BOD) maupun Board of Commissioners (BOC). Informasi menyebutkan tidak ada tumpang-tindih nama antara jajaran manajemen PT X dan PT Y. Ketiadaan anggota dewan yang sama mengurangi indikasi adanya kendali langsung melalui posisi jabatan, sehingga keduanya dapat dianggap mandiri secara struktural.
Faktor paling krusial adalah pembuktian “control” atas kebijakan keuangan atau operasional perusahaan lain. Walau Tuan A dan Tuan B dapat berpotensi memengaruhi imbal hasil, misalnya dengan memberi arahan atau menyetujui transaksi. Oleh karena itu, jika tidak ada bukti dokumenter seperti notulen rapat dewan, surat keputusan, atau persetujuan tertulis dari Tuan A atas transaksi PT Y (dan sebaliknya dari Tuan B atas transaksi PT X), maka tidak bisa mengonfirmasi adanya kontrol yang sah. Dengan kata lain, tuan A dan tuan B dapat memengaruhi imbal hasil dan kebijakan di perusahaan lainnya, namun hal ini membutuhkan bukti materiil.