Kota Sukabumi tengah menjadi sorotan setelah pemerintah kotanya berencana memberlakukan Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) sebesar 5 persen terhadap kedai kopi yang menyediakan layanan konsumsi di tempat. Kebijakan ini termasuk dalam penerapan PBJT atas makanan dan/atau minuman, yang merupakan kewenangan pemerintah daerah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU HKPD). Tujuannya jelas: meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) guna membiayai pembangunan infrastruktur dan layanan publik.
Wakil Wali Kota Sukabumi, Bobby Maulana, menegaskan bahwa kebijakan Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) sebesar 5 persen yang akan dikenakan kepada konsumen di kedai kopi dan tempat makan bukanlah bentuk pungutan yang membebani, melainkan langkah konkret untuk membiayai pembangunan di daerah. Ia menjelaskan bahwa PBJT merupakan pajak yang dititipkan oleh konsumen kepada pedagang, dan dana yang diperoleh dari pajak ini akan disetorkan ke kas daerah untuk dimanfaatkan langsung bagi kepentingan masyarakat Sukabumi.
Pernyataan ini disampaikan Bobby saat ditemui wartawan pada Rabu, 7 Mei 2025. Ia juga menyampaikan bahwa para pemilik kedai kopi dan tempat makan tidak menolak penerapan pajak ini karena sistem yang disiapkan cukup transparan. Penyetoran PBJT akan dilakukan melalui aplikasi Pajak Online Kota Sukabumi (PANTAS), yang terhubung langsung dengan Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Kota Sukabumi. Sistem ini diklaim dapat memudahkan pelaku usaha sekaligus menjamin akuntabilitas.
Bobby juga mengakui bahwa karakteristik Kota Sukabumi sebagai kota transit membuat pelanggan kedai kopi cenderung berasal dari kelompok yang sama. Namun, ia optimistis penerapan PBJT tetap akan memberikan kontribusi positif bagi Pendapatan Asli Daerah (PAD), apalagi dengan harapan bertambahnya jumlah wisatawan jika pembangunan Tol Bocimi Sesi 3 rampung.
Fenomena ini muncul di tengah maraknya tren konsumsi kopi di kalangan masyarakat perkotaan, terutama generasi muda. Kedai kopi bukan lagi sekadar tempat untuk menikmati secangkir kopi hitam, melainkan telah menjadi simbol gaya hidup dan ruang sosial baru. Di Sukabumi sendiri, kedai kopi tumbuh subur dengan beragam konsep, dari yang berorientasi alam, berdesain industrial modern, hingga yang mengusung nilai-nilai lokal dan keberlanjutan.
Beberapa kedai kopi ternama di Sukabumi seperti Like Earth Coffee, The Uluwatu Galdery, dan Kopi Nako telah menjadi tempat favorit masyarakat untuk nongkrong, bekerja, belajar, atau sekadar bersantai. Fasilitas seperti Wi-Fi gratis, interior estetik, serta menu yang beragam membuat kedai kopi menjadi magnet yang kuat, bahkan lebih dari sekadar tempat makan dan minum. Inilah mengapa pemerintah daerah menilai sektor ini sebagai potensi sumber pajak yang belum tergarap optimal.
Menakar Kebijakan Pajak Nongkrong di Daerah lainnya
Jika menengok ke daerah lain, kebijakan serupa sudah lebih dulu diterapkan. DKI Jakarta misalnya, sejak awal 2024 telah menggantikan pajak restoran dengan PBJT atas makanan dan minuman sebesar 10 persen. Kota-kota lain seperti Pontianak, Cimahi, dan Surakarta juga telah menjalankan PBJT dengan tarif serupa. Menariknya, beberapa dari mereka menetapkan batas omzet sebagai syarat pengenaan pajak, untuk melindungi usaha kecil. Di Surakarta dan Yogyakarta, misalnya, usaha dengan omzet bulanan di bawah Rp7 juta hingga Rp10 juta dibebaskan dari kewajiban ini.
Namun demikian, hingga saat ini, belum ada kejelasan dari Pemkot Sukabumi apakah akan ada ketentuan serupa terkait batas omzet. Hal ini penting mengingat tidak semua kedai kopi memiliki kapasitas dan skala usaha yang besar. Banyak usaha kopi lokal yang dijalankan oleh pelaku UMKM dengan margin keuntungan yang masih tipis. Jika kebijakan ini diterapkan secara menyeluruh tanpa klasifikasi, dikhawatirkan bisa menjadi beban tambahan yang justru melemahkan sektor yang sedang tumbuh ini.
Sementara itu, tren kedai kopi di Sukabumi terus berkembang. Masyarakat, khususnya kalangan muda, semakin gemar menikmati kopi dalam suasana yang nyaman dan “Instagramable”. Beberapa kedai bahkan menyuguhkan konsep yang unik dan menyatu dengan alam. Contohnya, Kopi Bumi di Kadudampit menyajikan kopi dari kebun sendiri dengan latar pemandangan pegunungan. Kedai ini tidak hanya menjual minuman, tetapi juga menjual pengalaman, yang menjadi salah satu nilai jual utama di tengah persaingan ketat industri F&B saat ini.
Di sisi lain, kehadiran kedai kopi juga menciptakan dampak ekonomi positif, dari penciptaan lapangan kerja, peningkatan penjualan produk lokal seperti kopi Sukabumi, hingga memicu tumbuhnya sektor lain seperti logistik, periklanan digital, dan desain interior. Oleh karena itu, meskipun kebijakan pajak diperlukan untuk meningkatkan PAD, implementasinya harus mempertimbangkan aspek keberlanjutan dan keberpihakan terhadap pelaku UMKM.
Melalui PBJT ini, pemerintah daerah ingin menegaskan bahwa sektor jasa konsumsi sudah saatnya berkontribusi lebih terhadap pembangunan daerah. Namun, di tengah dinamika dan kompleksitas ekonomi lokal, keberhasilan kebijakan ini tidak hanya bergantung pada regulasi, tetapi juga pada komunikasi yang terbuka, kejelasan batasan, serta dukungan terhadap pelaku usaha kecil agar mereka tetap tumbuh dan berkontribusi.
Dengan tren kedai kopi yang terus berkembang, tantangannya bukan hanya menarik pajak, tetapi juga menjaga agar ruang-ruang sosial ini tetap hidup dan mampu bertahan. Pajak bisa menjadi alat pembangunan, tetapi jika tidak dikelola dengan bijak, bisa pula menjadi beban yang menahan laju pertumbuhan ekonomi kreatif lokal. Pemerintah Kota Sukabumi kini berada di persimpangan penting: antara memaksimalkan potensi fiskal dan menjaga ekosistem usaha yang sedang bertunas.
Penulis: Muhammad Rizki Mardhi
Editor: Lambang Wiji Imantoro