Pemerintah resmi memperkenalkan Bullion Bank atau bank emas pada Rabu (26/2/2025). Dibentuknya bank emas merupakan bagian dari upaya pemerintah untuk mengembangkan infrastruktur keuangan yang lebih terdiversifikasi dan mendukung optimalisasi pemanfaatan emas nasional.
Namun, dibentuknya bullion banking ini tentu membawa implikasi besar terhadap kebijakan fiskal, khususnya terkait perpajakan. Kabarnya, pemerintah saat ini tengah meninjau ulang skema pajak yang berlaku atas transaksi emas, termasuk kemungkinan merevisi ketentuan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 atas penjualan emas dari produsen kepada bank bulion.
Pembentukan bank bulion sebenarnya telah diatur melalui Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK). Bila menilik pada UU P2SK, keberadaan bank bulion diharapkan mampu menciptakan ekosistem perdagangan emas yang lebih terstruktur, transparan, dan memiliki kepastian hukum yang lebih baik dibandingkan praktik perdagangan emas yang selama ini berlangsung secara konvensional.
Lantas apakah kehadiran bank bulion akan seideal yang diharapkan? Lalu, apakah tidak akan menimbulkan kompleksitas baru di ranah perpajakan?
Belum Jelasnya Aturan Perpajakan
Dalam pasal 130 UU P2SK menyatakan, bank bulion merupakan kegiatan usaha yang berkaitan dengan emas dalam bentuk simpanan, pembiayaan, perdagangan, penitipan emas, dan/atau kegiatan lainnya yang dilakukan lembaga jasa keuangan (LJK). Lebih lanjut, di Pasal 131 diatur jika lembaga jasa keuangan yang menjalankan usaha bulion wajib memperoleh izin dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Meskipun demikian, regulasi perpajakan bagi bank bulion masih belum jelas. Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 48/2023, yang dianggap menjadi acuan utama dalam penerapan perpajakan terhdap industri emas, rupanya lebih berfokus pada pajak bagi pelaku usaha emas perhiasan dan emas batangan, termasuk pemotongan pajak atas jasa terkait emas. Faktanya, aturan ini belum secara spesifik mengatur transaksi bank bulion, yang berperan sebagai institusi keuangan dalam perdagangan emas dan memiliki model bisnis yang berbeda dari pabrikan maupun pedagang emas.
Dalam aturan tersebut, setiap imbalan yang diterima dari jasa modifikasi, perbaikan, pelapisan, penyepuhan, hingga pembersihan emas dikenakan pajak penghasilan, di mana pihak yang membayar jasa wajib memotong PPh. Jenis pajaknya pun bervariasi tergantung pada siapa penerima penghasilannya. Jika diterima oleh perorangan dikenakan PPh Pasal 21, sedangkan jika diterima badan usaha dikenakan PPh Pasal 23. Selain itu, jasa-jasa terkait emas ini juga dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dengan skema besaran tertentu, yaitu sebesar 1,1% dari nilai penggantian.
Ketentuan perpajakan dalam PMK 48/2023 jelas ditujukan untuk mengatur kewajiban fiskal bagi pelaku usaha emas perhiasan, sehingga masih menyisakan kekosongan peraturan dalam hal pengelolaan emas sebagai instrumen finansial. Ketidakpastian regulasi ini dapat memunculkan pemasalahan dalam penerapan pajak bagi bank bulion di masa depan. Tanpa aturan yang secara khusus mengakomodasi aspek perpajakan dalam operasional bank bulion, potensi perbedaan interpretasi terkait pajak penghasilan, pajak transaksi, maupun PPN atas aktivitas yang mereka lakukan akan jadi keniscayaan.
Urgensi Penyesuaian Regulasi Bank Emas
Selanjutnya, sebagai lembaga yang tidak hanya bertransaksi emas fisik, tetapi juga mengelola emas dalam bentuk simpanan, pembiayaan, dan perdagangan berbasis keuangan, maka aturan perpajakanya perlu disesuaikan. Bank bulion tidak bisa mengikuti PMK 48/2023 yang dibuat untuk bisnis emas tradisional, sehingga diperlukan regulasi yang lebih relevan dengan model operasionalnya.
Jika aturan pajaknya tidak disesuaikan, akan ada potensi tumpang tindih dalam pengenaan pajak yang justru bisa menghambat operasional bank bulion. Sebagai contoh, tanpa penyesuaian aturan pajak, transaksi simpanan emas di bank bulion bisa saja tetap dikenakan PPh Pasal 22 seperti halnya penjualan emas fisik, padahal sifatnya lebih menyerupai produk investasi seperti tabungan.
Hal yang sama bisa terjadi pada pembiayaan emas, yang seharusnya diperlakukan seperti kredit biasa, tetapi malah dikenai pajak transaksi layaknya perdagangan emas. Jika aturan ini tidak diperjelas, akan muncul ketidakpastian bagi industri dan investor yang ingin menggunakan layanan bank bulion sebagai sarana investasi.
Terkait revisi kebijakan pajak ini, terdapat dua pendekatan yang bisa dipertimbangkan pemerintah. Pertama, penerapan PPh Pasal 22 terhadap transaksi emas dengan bank bulion sebagai bentuk penerapan prinsip equal level playing field dengan sektor usaha lainnya.
Kedua, pemberian pengecualian pajak bagi transaksi emas dengan bank bulion sebagai bentuk insentif untuk mendorong perkembangan industri ini. Kedua opsi tersebut memiliki implikasi yang berbeda terhadap daya saing bank bulion, penerimaan pajak negara, serta minat masyarakat dalam menggunakan jasa bullion banking.
Jika pemerintah menerapkan skema pertama, maka aturan ini akan menciptakan persaingan yang lebih adil dengan bisnis emas lainnya. Namun, kebijakan ini bisa membuat bullion banking kurang dilirik oleh investor, akibat biaya transaksi cenderung jadi lebih tinggi.
Di sisi lain, jika pemerintah memberikan pengecualian pajak untuk transaksi di bank bulion atau skema kedua, industri ini bisa berkembang lebih cepat karena menjadi lebih menarik bagi investor. Namun, kebijakan ini juga bisa menimbulkan ketidakadilan pajak dan akan mengurangi potensi penerimaan negara dari sektor ini.
Membangun Kepastian Regulasi
Pemerintah perlu memahami bahwa kebijakan pajak untuk bank bulion tidak boleh hanya berfokus pada insentif fiskal atau berorientasi penerimaan negara semata. Lebih daripada itu, pemerintah harus menciptakan aturan yang jelas dan stabil, sehingga pelaku usaha, investor, dan masyarakat bisa merasa aman dan yakin dalam menggunakan layanan bank bulion.
Tanpa kepastian, minat terhadap bullion banking bisa berkurang sehingga tujuan besar pemerintah untuk menjadikan Indonesia sebagai pusat perdagangan emas yang lebih kompetitif bisa terganggu. Karenanya, pemerintah perlu melakukan kajian mendalam, di antaranya dengan melibatkan asosiasi industri, akademisi, serta pemangku kepentingan lainnya agar skema perpajakan yang diadopsi benar-benar mencerminkan kebutuhan pasar.
Di sisi lain, pemerintah juga harus mempertimbangkan aspek integrasi kebijakan fiskal dengan strategi pengembangan pasar emas secara lebih luas. Salah satu yang perlu diperhatikan adalah bagaimana bank bulion bisa terhubung dengan mekanisme perdagangan emas di dalam maupun luar negeri.
Pada akhirnya, keberhasilan bullion banking sebagai instrumen penguatan pasar emas nasional sangat bergantung pada keberanian pemerintah dalam mengambil keputusan yang strategis dan berorientasi pada tujuan jangka panjang. Jika pemerintah ingin memastikan Indonesia tidak hanya menjadi penghasil emas tetapi juga pemain utama dalam ekosistem perdagangan emas global, maka regulasi yang diterapkan harus progresif, berpihak pada pertumbuhan industri, serta mampu menarik minat investor.
Kebijakan pajak yang tidak sinkron dan setengah hati justru akan menghambat potensi besar yang menanti dan membuat Indonesia kembali tertinggal dibanding negara lain yang lebih berani dalam mengatur sektor emasnya. Pemerintah harus totalitas dalam memimpin pasar bank emas ini.